MH. AINUN NAJIB : KEKUASAANKU HANYALAH SECANGKIR KOPI DIPAGI HARI


 

Ketika MH Ainun Najib, Cak Nun, berbicara tentang dirinya, maka dia menyebut "aku ini apa. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan kyai, bukan da'i, bukan ulama, apalagi pejabat, Aku tidak memiliki kekuasaan apapun. Bahkan urusan rumah tangga, kekuasaanku hanyalah secangkir kopi dipagi hari" (dikutip dari Dhoho TV "Acara Bang-Bang Wetan").

Cak Nun, sebenarnya dikalangan sastrawan dan budayawan, bukanlah orang kemarin, ia merupakan salah satu generasi sastrawan diera 70 - 80-an yang sangat berpengaruh. Sajak-Sajak "Lautan Jilbab" merupakan salah satu sajak religius - sosial Cak Nun, yang mengkritisi kepemimpinan Soeharto dan selalu berurusan dengan pihak berwajib jika dipentaskan. Orang-orang seperti Cak Nun, WS. Rendra, adalah sosok seniman yang paling banyak dikutit intel pada era rezim Orde Baru. Salah satu temannya, Wiji Tukul, penyair yang masih muda dari Yogyakarta, sampai sekarang tak tentu rimbanya bahkan mungkin telah dihapus (seperti dalam film "Eraser") dan dilenyapkan.

Pemikiran keagamaannya sering nyleneh dimata kyai tradisional maupun dimata orang-orang Muhamadiyah. Maka pengakuannya bahwa ia bukan NU, bukan Muhamadiyah, bukan Persis, mengingatkan saya pada seorang intelektual islam dari Madura, Abdul Wahab, seorang intelektual muslim yang mati muda dan sejajar dengan Soe Hoek Gie dari Jakarta. Baik dari pemikiran maupun cara matinya. Sama-sama mati muda. Satu terlindas kendaraan di Jakarta, satunya tercekik gas beracun di gunung Mahameru Jawa Timur. Salah satu ketaklaziman pemikiran Cak Nun seperti "Kalau saya sudah jengkel. Saya pingin sekali-kali mau memberi kutbah jum'at. Meskipun saya tidak pernah mau sebelumnya untuk memberi kutbah Jum'at. Saya akan pakai salib sambil membawakan kutbah jum'at atau berpakaian seperti Bikhu. Dasar mana yang menyebutkan bahwa pakaian merupakan identitas keagamaan?".

Sejarah yang diukir MH. Ainun Najib bersama Alm. Nur Cholis Madjid untuk bangsa ini adalah mediasi Soeharto dengan kelompok anti Soeharto yang pada akhirnya mampu memaksa Soeharto turun dari Jabatan sebagai Presiden ditahun 1998. Satu kalimat Cak Nun, barangkali yang paling terkenal ketika memaksa lengser Soeharto, yang kemudian Soeharto sendiri mengutipnya, adalah "Ora dadi Presiden ora pathek'en". Sebuah ungkapan kekesalan, keputusasaan, kekecewaan orang jawa timur khususnya, ketika berada dititik paling kritis dalam hidupnya. Sebuah ungkapan lugas ketika kita tidak mampu berbuat apa-apa selain menyerah pada keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Sebagai seorang Sastrawan, MH. Ainun Najib tahu betul kekuatan sebuah kata untuk mempengaruhi seseorang.

Nama Cak Nun sudah meredup, mungkin telah dilupakan kebanyakan orang, seiring dengan gegap gempitanya persoalan bangsa yang tak henti-henti mendera negeri kita. Tapi ia tidak tenggelam. Di usia yang telah senja Ia masih telaten ngopeni berbagai komunitas pengajiannya yang tersebar dari Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berbagai persoalan bangsa ia bantu pecahkan jika diminta.

Meski sekarang Cak Nun dan Kyai Kanjengnya tidak laku lagi di TV Nasional, Salah satu acara favorit saya, dihari rabu malam adalah nonton TV lokal kediri "Dhoho TV", biasanya direcord dari acara di Menturo Jombang "Padhang Mbulan" atau juga "Bang-bang Wetan" sebuah komunitas maiyah di Surabaya yang dipandegani Suko Waluyo, dosen Unair Surabaya. itu yang mengobati kerinduan ungkapan-ungkapan lugas, khas jombang dan jawa timur, kenakalan pemikirannya, "thok slorok yen ngomong" (berbicara sesukanya), guyonan khas jawa timuran, semangatnya yang masih menggebu-gebu.

Sekarang dimanakah MH. Ainun Najib ?. Ketika Gus Dur meninggal dunia dan para politisi, pejabat mulai menteri sampai Presiden, malah Cak Imin – Muhaimin Iskandar ketua PKB yang mengusir Gus Dur dari PKB - ikut berbondong-bondong ke Cukir Jombang untuk ta'ziah, MH. Ainun Najib, yang malamnya ada di Menturo Jombang mengisi acara rutin Cak Nun ditempat kelahirannya "Padhang Mbulan", paginya malah pergi ke Makasar. Jombang menjadi lautan manusia, Cak Nun pergi ke Makasar. Padahal semua orang tahu, Gus Dur adalah salah satu teman dekatnya. Satu-satunya teman yang menghibur Gus Dur ketika ditelanjangi DPR dan dibuang ke keranjang sampah adalah Cak Nun. Baru di hari ketujuh dalam acara tahlil di pondok tebu ireng, Cak Nun menampakkan diri.

Setelah ikut berperan melengserkan Soeharto, Cak Nun, kembali seperti biasa. Ngopeni Kyai kanjeng dan umatnya yang tersebar dalam berbagai jamaah pengajian. Ia tidak berada dilingkaran kekuasaan, betapapun Gus Dur, sahabat dekatnya, menjadi presiden sekalipun, ia tetap berada diluar kekuasaan. Ini mengingatkan saya pada kisah-kisah heroik para pejuang kemerdekaan disekitar rumah saya, yang setelah selesai berperang dan Indonesia bebas dari penjajah, mereka kembali seperti biasa, yang petani menjadi petani yang kyai menjadi kyai yang kuli menjadi kuli. Tidak ada hasrat meraih kekuasaan apapun. Apalagi ngemis meminta jabatan atau kedudukan. Karena mereka melihat membela negara adalah tugas luhur yang diperintahkan agama. Jihad fi sabillillah. Satu bentuk ketulusan yang paling tinggi dalam hidup seseorang ketika ia memperjuangkan sesuatu bukan untuk mendapatkan apapun melainkan karena keyakinan yang kuat bahwa hal itu patut diperjuangkan.

Posisinya yang berada diluar kekuasaan, memudahkan Cak Nun menjadi jembatan antara rakyat kecil dengan penguasa. Berbagai persoalan besar di Jawa Timur misalnya, tak lepas dari posisi Cak Nun yang berada ditengah-tengah konflik kepentingan. Seperti kasus Lapindo Brantas. Adalah MH. Ainun Najib yang ngeyel dan membujuk rakyat yang kena dampak lumpur lapindo, untuk menerima ganti rugi dari anak perusahaannya Bakrie itu ketimbang memproses ke pengadilan. Sebab, dengan perangkat hukum yang ada sekarang (banyak polisi, jaksa dan hakim korup) hasilnya pasti bisa ditebak. Rakyat pasti akan terkalahkan justru sebelum sidang dimulai. Maka kalau itu terjadi, rakyat tidak akan dapat apa-apa, selain tangisan dan air mata yang barangkali telah mengering. Cak Nun tahu betul bahwa sistem peradilan di Indonesia yang korup tidak memungkinkan rakyat kecil, korban lapindo brantas, menang melawan gurita sekelas Bakrie group. Maka yang dilakukan adalah negosiasi, piye carane rakyat kecil dapat ganti rugi atas lahan mereka yang terkena dampak. Dan meski alot akhirnya berhasil juga. Belum lagi upaya ngrayu Walikota Surabaya dan Wakil Gubernur Jatim untuk kasus penggusuran rumah di sekitar stren kali Jagir Wonokromo. Yang terakhir bersama Dik Doang adalah upaya mediasi perseteruan antara suporter Persebaya "Bonek" dengan Suporter Arema Malang "Aremania", untuk akur dan saling bersahabat.

Ketulusan dan kecintaan pada rakyat kecil, rakyat yang selalu terkalahkan, rakyat yang selalu jadi korban karena diadu sesama, membuat saya menuliskan artikel ini. Kecintaan yang tulus pada rakyat kecil yang terpinggirkan tanpa pernah mengharapkan apapun adalah sesuatu yang sangat langka dinegeri ini. Kebanyakan hanya muncul untuk sekedar mencari popularitas atau menjadi pahlawan kesiangan atas berbagai persoalan yang justru ketika rakyat telah menjadi korban, seperti kasus makam mbah priok, yang memunculkan orang seperti Habib Rizieq, ketua FPI, yang biasanya berpenampilan garang, menggebu-gebu, penuh kemarahan tiba-tiba berubah menjadi lembut dan penuh kearifan.

Meskipun Cak Nun tidak memiliki kekuasaan apapun, ia tetap dicintai rakyat paling tidak dikalangan komunitasnya dan Orang-orang yang pernah ditolongnya seperti rakyat yang menjadi korban jebolnya situ gintung di tangerang, orang-orang yang menjadi korban lapindo brantas, orang-orang disekitar stren kali jagir wonokromo dsb. Meskipun kekuasaannya hanyalah "secangkir kopi dipagi hari".................


 

 

0 comments:

Post a Comment