KETIKA PSSI TIDAK DISUKAI SUPORTER BOLA

"Aku pusing mikirnya, Ini negaranya FIFA atau milik kita ?. Lebih baik PSSI sekarang dibubarkan saja, bentuk lagi dan ndaftar lagi ke FIFA sebagai anggota organisasi sepakbola internasional tersebut. Bereslah urusannya" kira-kira seperti itu ungkapan lugas dari monolog Dedy Miswar di Metro TV menanggapi tuntutan Revolusi PSSI.

Hari-hari ini, tuntutan perubahan ditubuh PSSI menggema diseluruh pelosok Indonesia. Anehnya tuntutan itu bukan dari Pengda/Pencab (Pengurus Daerah/Pengurus Cabang) PSSI yang tersebar diwilayah Indonesia dan memiliki hak suara dalam bursa pemilihan ketua Umum PSSI, melainkan malah dari para supporter, para pecinta bola, yang marah terhadap akal-akalan Nurdin Halid cs. Tapi Nurdin Halid tetaplah Nurdin Halid ; licin, penuh intriks, dan penuh percaya diri. Bahkan ketika pemerintah dalam hal ini Andy Malarangeng, Menegpora, menegur PSSI atas akal-akalan dalam menentukan calon ketua umum PSSI yang lolos dan mencoret nama-nama calon yang berseberangan dengan pengurus PSSI sekarang, Nurdin Halid malah menuding balik bahwa pemerintah intervensi terhadap sepakbola. Pertanyaan saya "Lha…. Buat apa ada Negara kalau organisasi hanya sekelas PSSI saja, mbalelo, nggak bisa diatur, seenaknya sendiri, selalu berlindung dibawah ketiak FIFA. Maka benar kata Dedy Miswar bubarkan saja PSSI, bereslah urusannya…..". Tak kurang Riedl, pelatih Timnas, sempat bingung memahami kisruh PSSI. Kata Riedl "Sesuatu yang tak lazim dinegara lain, dan belum pernah saya temui dinegara manapun, dimana para supporter bola, para pecinta bola, menuntut ketua umum Federasi sepakbola mundur".

Maka ketika Komisi Banding PSSI, menolak seluruh hasil seleksi calon ketua/wakil ketua umum PSSI, dan Cipta Lesmana, ketua komisi banding PSSI mengatakan bahwa mendapat tekanan dari segala arah termasuk pemerintah dalam mengambil keputusan, agaknya lengkap sudah kekisruhan di tubuh PSSI. Sumber persoalannya adalah sederhana, para supporter dan pecinta bola, mungkin juga pemerintah, sudah tidak suka pada Nurdin Halid, terutama memuncak saat piala AFF berlangsung kemarin dimana nuansa politisasi sangat kental didalamnya. Anehnya, nurdin masih ngeyel ingin menduduki jabatan ketua umum PSSI untuk periode berikutnya. Maka tidak heran, para supporter yang notebene tidak memiliki sama sekali hak suara dalam konggres di PSSI, melampiaskan dalam bentuk demontrasi dijalanan.

Maka saya kira, lebih baik apa yang dikatakan oleh Dedi Miswar itu yang kita pakai, bubarkan PSSI bentuk PSSI baru lalu mendaftar lagi sebagai anggota FIFA. Bereslah urusannya……


ORMAS ISLAM PELAKU PENYERANGAN AHMADIYAH: " MERASA BENAR DIJALAN YANG SESAT"

(Artikel ini saya buat sesaat setelah terjadi peristiwa Penyerangan Ormas Islam terhadap Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan Jawa Barat Bulan Juli 2010, baru saya postingkan di bulan Februari 2011 ini karena terjadi "pembantaian" terhadap 3 orang pengikut Ahmadiyah di Cikuesik Pandeglang Banten)

Organisasi massa yang membubarkan sebuah kegiatan dan memaksakan nilai-nilainya sendiri, menurut Syafii Ma'arif (mantan ketua Umum Muhammadiyah) sebagai "kelompok orang yang merasa benar dijalan yang sesat". itu diungkap Syafi'i dalam dialog dengan Andy F. Noya dalam acara Kick Andy di Metro TV. Saya jadi teringat akan sepak terjang beberapa ormas Islam – yang semua orang tahu ormas apa itu- selama ini yang membuat saya geleng-geleng kepala. Heran dengan cara-cara syiar agama yang tidak dikenal di pondok-pondok pesantren di desa saya, sekalipun.

Saya sendiri bukanlah pengikut Ahmadiyah apalagi FPI. Di desa saya, memang tidak dikenal Ahmadiyah apalagi FPI. Basis organisasi keagamaan terbesar adalah NU (Nahdhatul Ulama') beserta tariqoh Qodiriyah-Naqhsabandiyah disusul Muhammadiyah dan sedikit kelompok Darul Hadist (LDII) serta orang yang berjubah, orang-orang menyebut "jahullah", saya sendiri tidak begitu kenal dengan organisasi yang terkhir ini karena eksklusifisme dalam penerapan ajaran islam. Saya cari di Ensiklopedi Islam Nusantara juga tidak ada. Bahkan didesa saya tidak ada agama lain yang bisa masuk selama puluhan tahun selain Islam. Sejauh ini tidak pernah ada sedikitpun gesekan ideologi maupun perdebatan terhadap tata cara beribadah. Mereka hidup rukun tanpa pernah mempermasalahkan apa perlu Qunut atau tidak, apa boleh Tahlilan atau tidak, nyekar ke kuburan boleh atau tidak. Semua berjalan dalam tata cara mereka sendiri. Hubungan kemasyarakatan dan kekerabatan dijaga sedemikian harmonis. Ketika kelompok muhammadiyah membangun panti asuhan dilingkungan sebagian besar pengikut organisasi NU, mereka - orang-orang dari NU- menjadi penyumbang terbesar baik dana maupun tenaga. Ketika orang NU mengadakan tahlilan, untuk menghargai tetangga yang Muhammadiyah, untuk menghormati keyakinan orang-orang muhammadiyah, biasanya tidak diundang tetapi tetap dikirimi berkat/makanan. Bahkan ketika kelompok berjenggot dan bersorban "Jahulah" mengeklusifkan diri mereka, masyarakat tidak pernah mengusik mereka sama sekali. Mereka biasanya dibulan Ramadhan berdakwah dengan meminjam musholla milik muhammadiyah, meski mereka memiliki musholla sendiri, ya tetap diberi. Menggunakan musholla NU ya monggo kerso. Tetap saja mereka tidak mampu menarik simpati kelompok Islam tradisional. Barangkali, masyarakat desa lebih paham betul tentang makna "Lakum dinukum waliadiin" – bagimu agamamu bagiku agamaku - ketimbang orang-orang kota.

Maka ketika FPI (Front Pembela Islam) yang merupakan organisasi massa yang lahir dari berkah reformasi tahun 1998, sering berseberangan dan berhadap-hadapan dengan kelompok Ahmadiyah, para pedagang minuman keras, para Waria, pengelola hiburan malam di Jakarta. Saya menjadi heran, ketika FPI merusak dan bertindak brutal terhadap kelompok yang dipandang sesat menurut ukuran-ukuran mereka. Seingat saya, Kelompok ini pernah sekali akan berhadap-hadapan dengan Banser (Bantuan Serbaguna sebuah organisasi paramiliter NU) di Jawa Timur saat ketua FPI, Habib Riziq menghina Gus Dur, sebagai simbol NU, dan ketegangan itu mereda ketika FPI di Surabaya membubarkan diri, disusul dengan pembekuan FPI dibeberapa daerah di Jawa Timur. Kelompok ini memang memiliki cara yang berbeda dalam menerapkan sebagian ajaran islam. Sebuah model penegakan syariah islam yang tidak simpatik dan barangkali tidak pernah dikenal dalam sejarah penyebaran agama islam di Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia dengan metode jalan dakwah, mengakulturasi budaya setempat, menghargai perbedaan-perbedaan pandangan. Sebaliknya, ketika orang berbicara FPI maka yang terbayang adalah sorban, pentungan, kebencian,menolak nilai-nilai diluar dirinya, amarah dan dendam. Kalau anda seorang Konselor atau Psikolog, cobalah anda gunakan tes psikologi "asosiasi bebas" pada sembarang orang, tanyakan tentang FPI maka saya yakin jawaban spontan dan ungkapan bawah sadar akan seperti ini ; sorban, pentungan, islam militan, amarah, kebencian, Habib Riziq.

Maka, adalah mengherankan ketika Fauzi Bowo, Gubernur DKI, menggandeng FPI untuk ikut mengawasi pelaksanaan Perda tentang pelarangan beroperasi diskotik dan tempat hiburan malam di jakarta selama bulan ramadhan. Apa karena penyumbang suara terbanyak Fauzi Bowo waktu pemilihan gubernur DKI berasal dari FPI ?. sehingga sangat akomodatif terhadap organisasi yang banyak melanggar norma sosial dan tatanan bermasayarakat dan berorganisasi.

AHMADIYAH ANTARA KEMASYARAKATAN DAN KEAGAMAAN

Ketika konflik di Manis Lor akhir bulan Juli 2010 terjadi, GP (Gerakan Pemuda) Ansor sebuah organisasi kepemudaan NU akan pasang badan dengan rencana mengerahkan 150 ribu anggotanya untuk melindungi kelompok minoritas Ahmadiyah. Kalau ini benar terjadi maka konflik horisontal antar pemeluk Islam tidak terhindarkan lagi. Sejarah GP Ansor yang pernah berhadap-hadapan dengan kelompok Komunis di Jawa Timur tahun 60-an dengan korban mencapai ratusan ribu nyawa melayang membuat saya merinding bila pemerintah tidak secara tegas menyelesaikan persoalan ini. Ranah organisasi apakah itu FPI, LPPI, NU, Banser, Muhamadiyah, Ahmadiyah atau yang lain harus dibawah kendali pemerintah. Pemerintah yang lemah dan penuh keragu-raguan akan menjadi bulan-bulanan kelompok anak baru kemarin.

Saya yakin bahwa orang-orang NU, para pemuda Anshor tidak pernah setuju dengan aqidah Ahmadiyah tetapi mereka tahu bahwa tidak mungkin membunuh sekalipun seseorang untuk mengubah keyakinannya. Tetapi mereka tidak rela jika organisasi ini, yang lahirnya hampir bersamaan dengan NU dan Muhammadiyah di Indonesia, mendapat perlakuan kasar dan berdarah-darah seperti yang pernah terjadi di Pakistan diawal penyebarannya dan terakhir bulan Februari 2011 di Pandeglang Banten. Dalam hubungan kemasyarakatan NU – Ahmadiyah telah terjalin saling pengertian sejak berdiri ditahun 1924. Meski dalam hal aqidah tentu berseberangan.

Karena Ahmadiyah dikucilkan umat Islam dan tidak diakui sebagai bagian dari Islam, maka Ahmadiyah cenderung atau dirongrong menjadi komunitas tertutup. Namun, komunitas Ahmadiyah juga dikenal sebagai komunitas yang damai, karena doktrinnya mengajarkan perdamaian. Dakwah Ahmadiyah tidak pernah menyinggung, apalagi menyerang mazhab-mazhab Islam lain. Ahmadiyah juga tidak melakukan serangan balik atas para pengritiknya. Dakwah Ahmadiyah didukung program-program kemanusiaan, yang terkenal adalah program "Humanity Firs" yang menolong masyarakat tanpa pandang kepercayaan (Dawam Raharja, artikel : Problem Kebebasan Beragama).

SEKILAS SEJARAH AHMADIYAH DIDUNIA DAN MASUKNYA KE INDONESIA

Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad ( 1835 – 1908) dari Punjab India. Mulanya digunakan untuk menentang kegiatan misionari Kristen dan pada tahun 1882 Mirza G. Ahmad menyatakan diri sebagai Mujadid (Pembaharu). Ia mengecam umat Kristen Barat lantaran penindasan ekonomi, politik dan agama. Dan menuduh mereka sebagai perwujudan Dajjal. Mirza menentang barat karena penguasaan mereka terhadap wilayah muslim oleh karena itu ia tampil memimpin perjuangan melawan kekuatan penjajah. Mirza juga mengklaim dirinya sebagai Al Mahdi untuk melawan dajjal yang telah menjelma dalam kekuatan kristen barat. Jadi pada dasarnya , berdirinya Ahmadiyah yang dipimpin Mirza Ghulam Ahmad, dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolonialisme Inggris di benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang. Dan ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionaris.

Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia, Ahmadiyah terpecah menjadi dua cabang yaitu Ahmadiyah Qadiyani dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qadiyani dinamakan Jami'iyyah al-Ahmadiyah yang menegakkan doktrin pokok antara lain memandang Mirza sebagai nabi. Kalangan sunni menolak doktrin tersebut dengan mengeluarkan pernyataan resmi peradilan agama yang menetapkan bahwa pengikut Qadiyani bukanlah tergolong muslim. Kalangan Qadiyani melancarkan tangkisan bahwa sekalipun Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi, namun ia tidak membawa syariat islam yang baru (ghairu tasyri'). Bahkan mereka menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi bayangan (Zhilli al-nabi) atau sebagai perwujudan nabi (buruz al-Nabi).
Karena ditentang di Pakistan, para pengikut Ahmadiyah mengalami banyak penganiayaan. Mereka dikucilkan, tidak boleh menjadi makmum dalam salat ja'maah atau salat Jum'at, masjid-masjidnya dirusak dan dibakar, bahkan mengalami pembunuhan sangat kejam dari umat Islam fanatik di Pakistan. Karena itu, gerakan Ahmadiyah hijrah ke Inggris dan menyebar ke negara-negara Eropa Barat. Orang-orang Inggris dan Eropa tertarik pada Ahmadiyah karena ajaran spiritualnya memang menyerupai Kristen, tetapi rasional.

Ahmadiyah cabang Lahore justru sebaliknya, memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujadid saja atau pembaharu islam yang sangat prihatin terhadap solideritas negara-negara muslim, Awalnya cabang ini dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali. Muhammad Ali berhasil menterjemahkan Al Qur'an waktu itu kedalam bahasa Inggris (The Holy Qur'an) dan menulis sebuah buku berjudul The Religion Of Islam. Meskipun kedua cabang ini menentang kaum misionari kristen, mereka dipandang mengambil juga teknik-teknik Misionari Kristen Protestan yakni melalui pendirian masjid-masjid diluar negeri, mempublikasikan propaganda khususnya dengan menggunakan bahasa Inggris. Jauh sebelum kalangan Sunni mengambil cara-cara ini. Hasilnya waktu itu ahmadiyah berkembang pesat di Eropa, Amerika, Afrika Barat dan salah satunya ke Indonesia. Perlawanan mereka terhadap umat kristen disebabkan karena dasar-dasar kepercayaan kristen tidak dapat lagi dikatakan sebagai Ahl Al-Kitab dan karena mereka merupakan kekuatan kafir terbesar didunia.

Setelah pembagian wilayah negara India dan Pakistan tahun 1947, cabang Qadiyani berpindah ke Pakistan dan sekte ini dipimpin oleh seorang yang bergelar Khalifah al-Masih. Kelompok Qadiyani ini secara tiba-tiba kemudian memisahkan diri dari agama Islam dan membuat agama sendiri. sedangkan Ahmadiyah cabang Lahore tetap berada di agama islam, namun kelompok ini dipandang sebagai kelompok ekstrem oleh kalangan sunni karena sikap mereka menafsirkan doktrin islam diluar keterangan hadist, juga mengadakan upacara peresmian agama (layaknya pembaptisan dikalangan Katolik). ( Catatan : meskipun pola pembai'atan bukan hanya monopoli Ahmadiyah, beberapa kelompok toriqoh/tasawuf sunni menggunakan model ini)

Dalam perkembangannya Ahmadiyah menyebar ke Eropa, Afrika, Amerika dan Indonesia. Gerakan ini mulai muncul di Indonesia tahun 1924. Ahmadiyah Lahore dibawa oleh Mirza Wali Ahmad Baiog dan Maulana Ahjmad, lewat kunjungan mereka ke Yogyakarta, 1924. Sementara Ahmadiyah aliran Qadiyani masuk ke Indonesia tahun 1925 atas undangan beberapa orang Indonesia yang pernah belajar di perguruan Ahmadiyah di Pakistan. Masuknya Ahmadiyah di Indonesia ternyata juga disambut para pejuang pergerakan nasional, khususnya Bung Karno, karena mereka mendukung perjuangan Indonesia merdeka. Karena sambutan yang hangat itu, Bung Karno pernah dituduh telah masuk Ahmadiyah, yang kemudian dibantahnya melalui sebuah artikel. Namun ajaran-ajaran Ahmadiyah (khususnya Ahmadiyah Lahore) telah ikut memengaruhi para pemimpin pergerakan Indonesia seperti H.O.S Tjokroamninoto, Agus Salim, dan Bung Karno sendiri, melalui tafsir The Holy Qur'an, buku the Religion of Islam, dan Sejarah Nabi Muhammad Saw. (Dawam Raharjo, Problem Kebebasan Beragama).

Ahmadiyah juga organisasi legal sejak zaman kolonial tahun 1928 (aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadiyani). Oleh Pemerintah RI, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Pengakuan legal itu didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu".

Atas dasar itu, Depag RI maupun MUI mestinya melindungi Ahmadiyah dari serangan pihak luar. Tapi pada 11 Agustus 2002, MUI yang seharusnya melindungi dan mengayomi semua golongan umat Islam, justru menyelenggarakan seminar sehari yang menampilkan pembicara-pembicara yang secara sepihak menghasut agar Ahmadiyah dibubarkan (Dawam Raharjo, dalam artikel : Problem kebebasan beragama). Inilah yang memicu tindak kekerasan umat Islam, antara lain berupa pembakaran rumah-rumah, masjid dan sekolah oleh massa di Manislor, Kuningan Jawa Barat, dan Pancor, Lombok Timur, pengrusakan dan teror atas pertemuan tahunan Ahmadiyah di kampus Mubarok, Parung dan terakhir penyerangan kampung Manis Lor Kuningan Jawa barat akhir bulan juli. FPI dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) dituding berada di balik teror itu.

Sumber persoalan itu sebenarnya berasal dari Keputusan Munas MUI No. 05/Kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah sebagai "jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan". SK MUI inilah yang "menghalalkan darah" jama'ah Ahmadiyah. Diperkuat dengan SKB bersama 3 menteri yang menjadi pelegalan bagi kelompok-kelompok fanatik menghajar Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah menganut rukun iman dan rukun Islam sebagaimana umat Islam lain.

Saya jadi teringat sejarah ketika Nabi Muhammad menaklukkan Mekah dan membersihkan Ka'bah dari segala macam patung dan berhala. Nabi melarang menghancurkan patung Bunda Maria alih-alih menutupi dengan kain. Kata nabi, "biarkan yang ini, karena mereka menyembah Tuhan yang sama dengan kita".

Sebagai akhir tulisan ini, saya mengutip pernyataan Cak Nun (MH. Ainun Najib) dalam acara pengajian jama'ah ma'iyah Jombang "Padhang mBulan" akhir bulan Januari 2011. "Banyak orang tidak lagi mampu membedakan antara religion (Agama) dan religiusity (rasa keagamaan). Agama (religion) itu dari dan wewenang Allah, sedangkan rasa keagamaan (religiusity) adalah produk manusia dalam menafsirkan nilai-nilai agama karena cintanya pada agamanya. Agama adalah produk Allah, manusia tidak memiliki keabsahan untuk membikin agama sendiri. Sedangkan rasa keagamaan melahirkan puisi-puisi, tarian-tarian sufi, tahlilan, Ma'iyahan, dhiba'an. Nabi Muhammad saja sebenarnya tidak memiliki hak mewajibkan orang Islam Shalat. Nabi Muhammad hanya menyampaikan ajaran Islam. Nabi sendiri tidak punya hak karena tidak punya saham atas hidupnya manusia. Karena itu hanya Allah-lah yang punya hak untuk mewajibkan manusia untuk shalat, puasa, zakat. Dan itulah esensi agama yang sesungguhnya......



Sumber referensi ; 1. Dari artikel Dawam Raharjo, Problem Kebebasan Beragama.

2. Ensiklopedi Islam

3. Dhoho TV,Cak Nun dalam Pengajian Rutin "Padhang Mbulan", 3 Februari 2011