JULIA PEREZ : LEDHEK INGIN JADI RAJA ?

Dalam masyarakat Jawa tradisonal menyebut seorang wanita pekerja seni sebagai ledhek. Orang-orang pesisir selatan seperti Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, tahu betul apa arti ledhek. Ia tak lebih sekedar penghibur yang mengiringi tarian tradisional yaitu Tayub dalam berbagai acara kawinan, sunatan. Dijaman kerajaan dulu, terkadang diundang raja untuk menghibur tamu-tamu. Diberi angpao oleh para lelaki yang menari bersamanya. Bila tidak menari, maka melayani tamu, menuangkan minuman keras atau sekedar bercanda. Karena itu, dalam strata sosial jawa, ledhek jauh lebih rendah martabatnya dibawah buruh tani yang paling miskin sekalipun. Maka ketika Jupe mencalonkan diri menjadi Calon Bupati Pacitan, saya teringat bahwa Jupe tak lebih dari seorang ledhek yang ingin menjadi raja.


Dengan kemampuan politik yang terbilang nol, keberanian Jupe mencalonkan diri sebagai bupati Pacitan menimbulkan banyak keheranan. Apa yang dipunyai Jupe ?. Hanya berbekal sekedar popularitas yang menonjolkan paha dan ungkapan menantang disebuah iklan televisi "mau masukin, pakai sutra dulu dong !" toh Jupe tetap saja ngeyel mencalonkan diri. Apalagi ia bukan orang Pacitan. Jupe tidak salah, yang geblek (bodoh, ngawur) itu partai pendukungnya. Itu menunjukan bahwa Partai Pendukungnya, sudah kehabisan akal untuk memenangkan Pemilukada. Ketika partai politik hanya berorientasi pada hitung-hitungan kemenangan dalam pemilukada, maka segala cara akan ditempuh. Yang paling mudah adalah mencomot artis-artis. Artis memiliki kelebihan dalam hal popularitas. Tapi awam dalam hal kepemimpinan. Memimpin suatu daerah, bukanlah memimpin sebuah sirkus yang penuh akrobat-akrobat politik, melainkan upaya yang sungguh-sungguh membangun daerah menjadi suatu daerah yang mandiri, cerdas dan makmur. Itu diperlukan kepemimpinan bukan sekedar popularitas belaka.


Mau jadi apa Pacitan jika pemimpinnya cuma bisa memamerkan paha dan dadanya saja. Saya kira yang sengsara itu rakyatnya, yang tertawa itu para kepala dinas, para politisi lokal, anggota DPRD, staf-staf kabupaten. Mengapa ?. karena ketika sudah pada urusan teknis dinas, sangat mudah dikibuli. Sangat mudah dibohongi. Disaat generasi saat ini –meminjam istilah Adhi Masardi penyair Jakarta- dikuasai "para bedebah". Generasi korup dan busuk. Maka kehadiran Jupe akan melengkapi dan memudahkan para koruptor bermain. Sebab, Jupe tidak tahu apa-apa. Ia tidak memiliki kemampuan apapun baik diurusan politik maupun urusan teknis. Sangat disayangkan, banyak orang Pacitan yang cerdas dan pintar, politisi ulung, menjadi birokrat dipemerintahan daerah maupun pusat bahkan presiden kita sendiri orang Pacitan, malah akan dipimpin oleh seorang Jupe. Yang hanya seniman populer – orang jawa menyebutnya sebagai ledhek- yang tidak memiliki integritas dan kemampuan sebagai seorang pemimpin.


Inilah ironi demokrasi yang kita bangun. Karir politik tidak dibangun dari bawah dengan setahap demi setahap, melainkan mencari jalan instan. Banyak politisi-politisi dadakan yang karena kekuatan uang dan popularitasnya mencoba keberuntungan menjadi Bupati, gubernur. Sebagian berhasil, kebanyakan nyungsep, gagal. Demokrasi yang dibangun dengan modal uang dan popularitas saja, akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki visi yang jelas terhadap perkembangan daerahnya. Maka yang menderita, sekali lagi, rakyatnya. Selalu saja, rakyat jadi korban dari pemimpin yang tidak mengerti apapun selain "mau masukin, pakai sutera dulu dong !"........................

0 comments:

Post a Comment