KEPRIBADIAN


KEPRIBADIAN menurut Allport adalah:

…sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya.

Sedangkan menurut Pervin dan John:
kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten.

Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe (type). Trait sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang menggambarkan unit/dimensi dasar dari kepribadian. Trait menggambarkan konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait.
Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:
Trait relatif stabil dari waktu ke waktu
Trait konsisten dari situasi ke situasi
Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
ada proses adaptif
adanya perbedaan kekuatan, dan
kombinasi dari trait yang ada
Tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa dewasa. McCrae dan Costa yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil, konfigurasi yang tetap stabil setelah usia 30 tahun (Feist, 2006).
Teori trait dimunculkan pertama kalinya oleh Gordon W. Allport. Selain Allport, terdapat dua orang ahli lain yang mengembangkan teori ini. Mereka adalah Raymond B. Cattell dan Hans J. Eysenck.
Allport mengenalkan istilah central trait, yaitu kumpulan kata-kata yang biasanya digunakan oleh orang untuk mendeskripsikan individu. Central trait dipercaya sebagai jendela menuju kepribadian seseorang. Menurut Allport, unit dasar dari kepribadian adalah trait yang keberadaannya bersumber pada sistem saraf. Allport percaya bahwa trait menyatukan dan mengintegrasikan perilaku seseorang dengan mengakibatkan seseorang melakukan pendekatan yang serupa (baik tujuan ataupun rencananya) terhadap situasi-situasi yang berbeda. Walaupun demikian, dua orang yang memiliki trait yang sama tidak selalu menampilkan tindakan yang sama. Mereka dapat mengekspresikan trait mereka dengan cara yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat masing-masing individu menjadi pribadi yang unik. Oleh sebab itu Allport percaya bahwa individu hanya dapat dipahami secara parsial jika menggunakan tes-tes yang menggunakan norma kelompok.
Sama seperti Allport, Cattell juga percaya bahwa kata-kata yang digunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya dan orang lain adalah petunjuk penting kepada struktur kepribadian. Perbedaan mendasar antara Allport dan Cattell adalah bahwa Cattell percaya kepribadian dapat digeneralisir. Yang harus dilakukan adalah dengan mencari trait dasar atau utama dari ribuan trait yang ada.
Menurut Allport, faktor genetik dan lingkungan sama-sama berpengaruh dalam menentukan perilaku manusia. Bukan hanya faktor keturunan sendiri atau faktor lingkungan sendiri yang menentukan bagaimana kepribadian terbentuk, melainkan melalui pengaruh resiprokal faktor keturunan dan lingkungan yang memunculkan karakteristik kepribadian.
Sehubungan dengan adanya peran genetik dalam pembentukan kepribadian, terdapat 4 pemahaman penting yang perlu diperhatikan:
1. Meskipun faktor genetik mempunyai peran penting terhadap perkembangan kepribadian, faktor non-genetik tetap mempunyai peranan bagi variasikepribadian 2. Meskipun faktor genetik merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi lingkungan, faktor non-genetik adalah faktor yang paling bertanggungjawabakan perbedaan lingkungan pada orang-orang 3. Pengalaman-pengalaman dalam keluarga adalah hal yang penting meskipun lingkungan keluarga berbeda bagi setiap anak sehubungan dengan jeniskelamin anak, urutan kelahiran, atau kejadian unik dalam kehidupan keluarga pada tiap anak.4. Meski terdapat kontribusi genetik yang kuat terhadap trait kepribadian, tidak berarti bahwa trait itu tetap atau tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan.
Sumber bacaan:
Cooper, C.L., & Payne, R. (1991). Personality and stress: Individual differences in the stress process. England: John Wiley & Sons Ltd.
Feist, J. & Feist, G. J. (2006). Theories of personality. (Ed. Ke-6). New York: McGraw-Hill Inc.
Hjelle, L.A., & Ziegler, D.J. (1992). Personality theories. Singapore: McGraw Hill Book.
McCrae, R.R., & Allik, J. (2002). The Five Factor Model of personality across cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers.
Pervin, L. A. (1993). Personality: theory and research. (Ed. ke-6). Canada: John Wiley & Sons.
Pervin, L. A. (1996). The Science of personality. USA: John Wiley & Sons
Linzey & Hall. (1993). Theories of personality. (4th ed). New York: John Wiley & Sons

PERKEMBANGAN REMAJA

Beberapa Isu

Seksualitas Sebagai Isu Perkembangan RemajaMasa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu, karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga memampukan seseorang untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Namun bukan hanya pubertas saja yang menjadikan seksualitas sebagai isu penting dalam hal perkembangan remaja.
Dalam tahapan perkembangan psikososial yang yang dikemukan Erikson, dinyatakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman dan peran yang mereka miliki, dan memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Stevens-Long & Cobb, 1983). Pemahaman mengenai seksualitas seseorang merupakan bagian dari upaya pembentukan identitas personal yang stabil, karena dengan mengembangkan sikap yang sehat mengenai keberadaan diri sebagai makhluk seksual, seseorang juga memahami nilai-nilai, keyakinan, sikap, dan batasan-batasan yang dimilikinya; dan akan memampukannya untuk dapat merasa nyaman menjadi dirinya sendiri (Shibley, 1997).
Sebenarnya sebelum memasuki usia remaja, anak sudah memiliki keingintahuan akan seks. Mereka bahkan dapat terlibat dalam aktifitas seksual. Mereka dapat berciuman, masturbasi, bahkan melakukan sexual intercourse (Steinberg, 2002). Seperti yang diungkapkan Weis (2000), kemampuan untuk berinteraksi secara erotis dan untuk mengalami perasaan seksual, dengan sesama ataupun berbeda jenis kelamin, secara jelas ditunjukkan pada usia 5 sampai 6 tahun. Dalam observasi yang dilakukan Langfeldt (dalam Weis, 2000) menunjukkan anak laki-laki yang belum memasuki pubertas dan sedang melakukan permainan seksual dengan anak lain menunjukkan ereksi pada penisnya selama permainan seksual itu berlangsung. Bahkan Fond dan Beach (dalam Weis, 2000) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesempatan mengamati kegiatan seksual yang dilakukan orang dewasa, cenderung terlibat dalam persetubuhan pada usia minimal 6-7 tahun.
Namun dalam permainan seksual itu, anak tidak melakukan introspeksi dan refleksi mengenai perilaku seksual (Steinberg, 2002). Mereka melakukannya karena tindakan itu memberikan sensasi nikmat sebagai reward dari tindakan mereka itu. Tindakan mereka lebih didasari oleh rasa ingin tahu daripada motivasi seksual yang sesungguhnya (Sullivan dalam Steinberg, 2002). Berbeda dengan remaja yang sudah mampu mengambil keputusan apakah ia akan terlibat dalam aktifitas seksual itu, dan mempertimbangkan apakah pasangan akan menolaknya, apakah dirinya terlihat baik di mata pasangannya, dan sebagainya.
Masa remaja menjadi sebuah titik balik dalam perkembangan seksualitas karena menandakan awal mula seseorang bertingkah laku seksual karena memiliki motivasi seksual yang disadari bermakna seksual secara eksplisit, oleh diri sendiri dan orang lain (Steinberg, 2002). Dengan demikian remaja harus memenuhi tugas perkembangan mereka, untuk memahami bagaimana menangani minat seksual mereka dan menjadikan seks sebagai bagian dari kehidupan personal dan sosial mereka (Steinberg, 2002).
Remaja dan Self-esteemMenurut Reasoner (2004), sebanyak 12% individu menunjukkan adanya penurunan self-esteem setelah memasuki sekolah menengah pertama, dan 13% memiliki self-esteem yang rendah pada sekolah menengah. Remaja wanita dikatakan mengalami kenaikan self-esteem pada usia antara 18 hingga 23 tahun melalui aspek-aspek moral dan hubungan pertemanan. Pada remaja, perubahan self-esteem terjadi pada 3 dimensi, yakni dalam hubungan personal, ketertarikan dengan lawan jenis, serta kompetensi dalam pekerjaan.
Permasalahan yang sering dialami dalam masa remaja adalah masalah tidak percaya diri karena tubuhnya dinilai kurang / tidak ideal baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, atau merasa tidak memiliki kelebihan yang bisa dipakai sebagai modal dalam bergaul. Rasa kurang percaya diri ini kemudian menyebar ke hal-hal yang lain, misalnya malu untuk berhubungan dengan orang lain, tidak percaya diri untuk tampil di muka umum, menarik diri, pendiam, malas bergaul dengan lawan jenis atau bahkan kemudian menjadi seorang yang pemarah, sinis, dll. Dalam perkembangan sosial remaja, self-esteem yang positif sangat berperan dalam pembentukan pribadi yang kuat, sehat dan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan, termasuk mampu berkata “tidak” untuk hal-hal yang negatif dengan kata lain tidak mudah terpengaruh berbagai godaan yang dihadapi seorang remaja setiap hari dari teman sebaya mereka sendiri (peer pressure) (Utamadi, 2001).
Self-esteem yang rendah akan memperlemah hubungan yang dibina dengan orang lain, sedangkan self-esteem yang tinggi akan mendukung remaja untuk mengembangkan hubungan mereka dengan orang lain. Selain itu, Masters & Johnson (2001) juga mengatakan bahwa self-esteem ini juga berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap statusnya sebagai remaja. Seorang remaja yang memiliki self-esteem yang positif maka ia tidak akan mudah terbawa godaan yang banyak ditawarkan oleh lingkugan. Misalnya dari sebuah penelitian, ditemukan bahwa. remaja yang mempunyai self-esteem rendah cenderung lebih mudah mencoba menyalahgunakan obat-obatan atau mengkonsumsi napza.
Orientasi Masa Depan dalam Bidang PendidikanDi antara orientasi masa depan yang mulai diperhatikan pada usia remaja, orientasi masa depan remaja akan lebih terfokuskan dalam bidang pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Eccles (dalam Santrock, 2004), dimana usia remaja merupakan usia kritis karena remaja mulai memikirkan tentang prestasi yang dihasilkannya, dan prestasi ini terkait dengan bidang akademis mereka. Suatu prestasi dalam bidang akademis menjadi hal yang serius untuk diperhatikan, bahkan mereka sudah mampu membuat perkiraan kesuksesan dan kegagalan mereka ketika mereka memasuki usia dewasa (Santrock, 2001).
Penelitian yang dilakukan Bandura (dalam Santrock, 2001) terkait dengan prestasi remaja, diketahui kalau prestasi seorang remaja akan meningkat bila mereka membuat suatu tujuan yang spesifik, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Selain itu, remaja juga harus membuat perencanaan untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Dalam proses pencapaian tujuan, remaja juga harus memperhatikan kemajuan yang mereka capai, dimana remaja diharapkan melakukan evaluasi terhadap tujuan, rencana, serta kemajuan yang telah mereka capai (Santrock, 2001), sehingga dapat dikatakan kalau orientasi masa depan yang dimiliki remaja akan lebih terkait dengan bidang pendidikan.
Remaja dan Perilaku KonsumtifHurlock (1991) menyatakan salah satu ciri masa adalah masa yang tidak realistik. Pada masa ini, umumnya remaja memandang kehidupan sesuai dengan sudut pandangnya sendiri, yang mana pandangannya itu belum tentu sesuai dengan pandangan orang lain dan juga dengan kenyataan. Selain itu, bagaimana remaja memandang segala sesuatunya bergantung pada emosinya sehingga menentukan pandangannya terhadap suatu objek psikologis. Sulitnya, emosi remaja umumnya belum stabil. Secara psikososial terlihat perkembangan remaja pun memandang dan menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan peran mereka sebagai konsumen.
Seiring perkembangan biologis, psikologis, sosial ekonomi tersebut, remaja memasuki tahap dimana sudah lebih bijaksana dan sudah lebih mampu membuat keputusan sendiri (Steinberg, 1996). Hal ini meningkatkan kemandirian remaja, termasuk juga posisinya sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak dilakukan dengan uangnya dan menentukan sendiri produk apa yang ingin ia beli. Namun di lain pihak, remaja sebagai konsumen memiliki karakteristik mudah terpengaruh, mudah terbujuk iklan, tidak berpikir hemat, kurang realistis
Dalam kaitannya dengan perilaku remaja sebagai konsumen, walaupun sebagian besar tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi ternyata mereka memiliki pengeluaran yang cukup besar. Sebagian besar remaja belum memiliki pekerjaan tetap karena masih sekolah. Namun, para pemasar tahu bahwa sebenarnya pendapatan mereka tidak terbatas, dalam arti bisa meminta uang kapan saja pada orang tuanya (Loudon & Bitta, 1984).
Salah satu fungsi aktivitas remaja adalah fungsi ekonomi. Jumlah populasi remaja dan fakta bahwa remaja kurang terampil dalam mengelola keuangan daripada kelompok usia lainnya yang menyebabkan remaja menjadi target menarik bagi bermacam-macam bisnis (Fine et al., 1990 dalam Steinberg, 2000). Dalam usianya, remaja cenderung belanja lebih impulsive, dimana usia 18-39 tahun kecenderungan belanja impulsive meningkat (Wood, 2003).
Remaja dan keluargaKeluarga merupakan suatu sistem yang bersifat dinamis. Keluarga merupakan sistem yang hampir sama dengan manusia, ia berkembang berdasarkan waktu. Perubahan terjadi di dalam keluarga, keluarga pada waktu anak berada pada tahap perkembangan anak berbeda dengan keluarga pada waktu anak sudah beranjak dewasa.
Pada umumnya orang tua yang memiliki anak yang sudah berada dalam tahap perkembangan remaja berada pada usia 35-40 tahun. Pada usia ini orang tua sering mengadakan perubahan dari kehidupannya sebelumnya. Orang tua mulai untuk menarik diri dan cara berpikirnya berusaha untuk mencari cara yang aman.Tidak hanya orang tua yang bertambah usianya, anak pun mulai beranjak remaja. Ia mulai untuk bersikap mandiri. Perubahan pada orang tua membawa dampak pada hubungan remaja dengan orang tua. Sebelumnya, anak mencari nasihat dari orang tua, sedangkan sekarang remaja mulai merasa dirinya lebih mudah dipahami oleh teman-temannya. Remaja sering merasa orang tua kurang memberi kebebasan yang bertanggung jawab. Orang tua tetap bersikap otoriter. Perbedaan perilaku dan kebutuhan ini mengaibatkan keduanya berada dalam permasalahan. Perubahan-perubahan yang ada di dalam keluarga ini membuat keluarga berada dalam keadaan yang tidak seimbang, maka perlu dicari pemecahannya agar keluarga berada kembali dalam keadaan yang homeostatis.
Kebutuhan dari masing-masing pihak, baik dari orang tua maupun dari anak yang berada pada masa remaja ini ingin dipenuhi. Menurut Mappiare (1982), kebutuhan remaja yang menuntut pemenuhan dari orang tua adalah pengakuan sebagai orang yang mampu untuk menjadi dewasa, perhatian dan kasih sayang.Kontrol dari orang tua juga menjadi hal yang penting bagi remaja, menurut Blood (dalam Purwati,1989), ada bebepa hal yang berkaitan dengan kontrol orang tua, yaitu:
1. Dalam menentukan standar dari tingkah laku yang dituju
a. Bagaimana ketepatan dan kejelasan peraturan yang dibuat (firmness).
Jika orang tua menetapkan patokan (standart) yang jelas dan pasti bagi anak – anaknya dimana disertai dengan kebebasan di dalam patokan yang telah ditentukan, maka anak akan mendapat lingkungan yang baik bagi perkembangan sosialnya. Jika orang tua tidak memberikan patokan dan peraturan yang jelas maka berarti anak tidak dilindungi dari arah perkembangan yang dapat membahayakan penyesuaian sosial maupun kepribadiannya.
b. Konsistensi
Jika norma – norma atau peraturan yang diberikan ingin efektif, maka peraturan tersebut haruslah dimengerti, jelas dan konsisten dalam pelaksanaannya. Ketidakjelasan dapat tampil jika kedua orang tua menerapkan peraturan yang berbeda, atau dalam pelaksanaannya seringkali tak tetap. Dari hasil penelitian Peck (1958) didapatkan bahwa anak – anak dari keluarga yang menetapkan konsistensi dari peraturan yang ditetapkan akan membentuk anak yang secara emosi matang, kata hatinya kuat, dan mampu untuk menepati peraturan – peraturan sosial.
c. Peraturan yang dapat diterapkan
Mengharapkan terlalu banyak atau terlalu rendah akan patokan – patokan yang harus dikuasai anak, tidak akan membentuk anak menjadi matang. Jika standar terlalu rendah anak menjadi tidak terdorong untuk maju, jika terlalu tinggi anak akan kecewa karena tidak dapat mencapainya. Jadi standar yang ditentukan harus disesuaikan dengan tingkatan usia dengan kondisi seperti ini anak akan terdorong maju untuk menguasai sesuatu tujuan.
d. Penjelasan (reasoning)
Peraturan yang diiringi penjelasan akan mampu membentuk kontrol yang bersifat intrinsik, sedangkan jika tanpa penjelasan maka anak tidak akan mampu untuk mematuhinya karena peraturan tersebut bersifat eksternal, dimana kepatuhan yang ada hanya tergantung dengan adanya kehadiran orang tua saja.
e. Mendengarkan (Listening)
Penjelasan peraturan pada anak tidak saja hanya berbicara pada anak tapi juga mendengarkan reaksi dari anak. Dengan mendengarkan, orang tua dapat penegasan apakah anak dapat mengerti tentang hal – hal yang dibicarakan. Selain itu juga dapat menjadi tempat untuk memecahkan masalah jika anak merasa permintaan orang tua tidak dapat diterima. Dalam hal ini anak dan orang tua dapat bersama – sama mencari alternatif, sehingga dapat sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Kondisi ini juga mengembangkan suasana penghargaan terhadap anak dan orang tua.
2. Memperkuat proses belajarTeori belajar mengatakan bahwa suatu respon harus diberi ‘reward’ (hadiah) jika ingin diperkuat. Dalam hal ini bagaimana respon orang tua akan menentukan kecepatan suatu respon dipelajari oleh seorang anak.
Pengarahan dan percayaanPada masa kanak – kanak orang tua diharapkan untuk memberi pengarahan secara konsisten, agar ia mampu untuk menguasai tugas – tugas perkembangannya.
Sedangkan semakin dewasa anak, anak lebih membutuhkan kepercayaan dari orang tua untuk dapat melaksanakan tugasnya, keperayaan yang diebrikan orang tua bahwa ia ammpu menyelesaikan tugas – tugas yang telah disepakati bersama, merupakan suatu ‘incentives’ tersendiri.
Hadiah dan hukumanJika seorang anak mampu menyelesaikan suatu tugas, pemberian hadian akan memperkuat rasa kemampuannya, kompensasi terhadap kesulitan – kesulitan yang dialaminya, dan memperkuat keinginan untuk mengulangi tingkah lakunya. Jika anak tidak dapat menyelesaikan suatu tugas ia tidak akan mendapatkan hadiah. Sebaiknya pemberian hukuman dihindarkan, karena berakibat menyakitkan baik secara fisik maupun psikologis, selain itu akan timbul rasa dendam yang akan menghalangi proses sosialisasi. Hadiah dan hukuman dapat dibagi dalam bentuk fisikan dan bersifat psikologis. Secara umum hadiah yang bersifat psikologis lebih efektif dibandingkan dengan hukuman yang bersifat fisik.
Dengan demikian kontrol menjadi hal penting dari orang tua pada remaja dalam mengatasi permasalahan remaja yang berkaitan dengan kebutuhan remaja untuk diberi kebebasan. Namun tidak hanya remaja yang memiliki permasalahan, orang tua juga memiliki permasalahan dengan remaja.
Orang tua juga sering merasa tidak diperhatikan, anak remajanya lebih senang meluangkan waktu lebih banyak dengan teman – temannya, sehingga orang tua merasa membutuhkan perhatian dari anak remajanya lebih banyak. Untuk mencapai hal tersebut, maka interaksi yang baik sangat dibutuhkan. Dukungan dari remaja bagi orang tuanya dibutuhkan, demikian juga dukungan dari orang tua sangat dibutuhkan remaja. Dukungan ini dapat diperoleh jika masing-masing pihak mau bekerja sama untuk mencapainya. Remaja sangat membutuhkan orang tuanya dalam mencari identitas dirinya, yang pada masa ini sedang dicari.
Menurut Gerald (1983), keluarga menyediakan 3 fungsi dasar sebelum, selama dan setelah masa remaja. 3 fungsi ini tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh peergroups / struktur sosial yang lain sepanjang hidup. 3 fungsi tersebut adalah:
Keluarga menyediakan ‘sense of cohesion’
Kohesi ini atau ikatan emosi membuat kondisi untuk identifikasi dengan kelompok dasar yang utama dan meningkat secara emosional, intelektual dan kedekatan fisik
Keluarga menyediakan model kemampuan adaptasi.
Keluarga mengilustrasikan melalui fungsi dasar bagaimana sebuah struktur kekuatan dapat berubah, bgaimana peran hubungan dapat berkembang dan begaimana peraturan hubungan dapat terbentuk. Remaja yang memiliki pengalaman tipe keluarga yang rigid (rendah tingkat adaptasinya) cenderung terinternalisasi gaya interaksi yang rigid. Sebaliknya, terlalu banyak kemampuan adaptasi dapat membuat gaya ‘chaotic’. Keseimbangan penting untuk fungsi ini, hal yang sama juga dengan kohesi.
Keluarga menyediakan sebuah jaringan komunikasi
Melalui pengalaman dimana individu belajar seni dari pembicaraan, interaksi, mendengarkan dan negosiasi.

ANTASARI : WANITA DAN KORUPSI

Sosok antasi Ashar sangat kontroversial. Diawal jadi ketua KPK banyak orang meragukan kemampuannya. Saat menjadi ketua KPK prestasi gemilang diraihnya. Tokoh-tokoh penting dibabat, diintai dan dijebloskan ke penjara. Semua orang kagum, tentu kecuali koruptor, akan sepak terjangnya. Keberanian memberantas korupsi tanpa tebang pilih, membuat ia adalah harapan perbaikan wajah negeri kita. Harapan akan terkikisnya korupsi dinegeri sarang para koruptor.

Maka deretan anggota DPR korup, Birokrasi pemerintahan, jaksa-jaksa korup, anggota BI dan banyak lagi prestasi menakjubkan membuat orang kecil seperti saya, memiliki optimisme kembali akan perubahan Indonesia dimasa mendatang. Sebab, korupsi baik ukuran raksasa maupun skala kecil disekolah-sekolah, akan menjadikan bangsa ini tetap miskin.
apapun program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, jika korupsi masih kuat dikalangan pejabat dan pengusaha maka jangan pernah berharap negeri kita dapat maju.

Cina merupakan salah satu negara paling ekstrem dalam menangani korupsi. ditahun 80-an, Cina masih miskin, banyak pejabat korup. Diakhir tahun 90-an, penanganan secara serius terhadap para koruptor membuahkan hasil. pejabat korup dihukum bunuh, ditembak. Sekarang, Cina menjadi negara yang masih mampu tumbuh ekonominya disaat seluruh dunia dihajar krisis finansial. Cina yang dulu identik dengan komunisme, miskin. sekarang menjadi negara yang secara ekonomi sangat kuat dan ditakuti Amerika serikat.

Bangsa kita baru saja memulai pemberantasan korupsi dibawah bendera KPK. Antasari memberi sebuah keyakinan pada rakyat, bahwa tidak ada orang yang kebal hukum. Tidak ada orang di negeri ini yang dengan seenaknya mengeruk harta kekayaan negara untuk dirinya sendiri. Antasari membuka pintu pemberantasan korupsi. Sayang, keyakinan yang baru tumbuh itu dihentakkan dengan peristiwa yang sangat nista. Tuduhan Pembunuhan Berencana.

Sangat sulit dipercaya, orang sekelas Antasari, terkapar hanya karena persoalan purba, royokan wanita. Orang paling bodoh sekalipun, tidak akan percaya, sesederhana itu masalahnya.

Tapi persengkongkolan busuk sangat terasa. Tapi negeri ini tidak pernah mampu mengungkap setiap persengkongkolan. Sampai hari ini, tidak ada satu titik terang siapa sesungguhnya pembunuh Munir. Padahal sangat nyata.

Saya percaya, bahwa antasari hanyalah korban dari orang-orang kecewa, atau deretan instansi yang ketakutan terhadap sepak terjang antasari.