MENDIKNAS BARU : BEBAN MUH. NUH DIDUNIA PENDIDIKAN



Selalu ada ungkapan yang sudah akrab didunia pendidikan ; “ganti menteri ganti kurikulum…!”. Apakah ini akan terjadi diera Muh. Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional yang baru ?. Jawabannya tergantung dari apa yang akan dirancang oleh Muh. Nuh didunia pendidikan kita. Idealnya kurikulum pendidikan dijalankan selama 10 tahun. Kalau kurikulum 2004 yang kemudian disempurnakan menjadi kurikulum 2006 dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka baru ditahun 2014 kurikulum tersebut berganti.
Tapi saya kira, Muh Nuh sebagai orang yang memiliki pengalaman yang panjang didunia pendidikan tentu akan berpikir panjang implikasi dari penggantian atau revisi sebuah kurikulum. Justru menurut saya, beban utama Muh. Nuh selama lima tahun kedepan adalah reformasi birokrasi didunia pendidikan. Sebab diera kepemimpinan Bambang Sudibyo, reformasi birokrasi berjalan tertatih tatih, kalau tidak disebut jalan ditempat.
Harus diakui sejak Indonesia merdeka, baru diera kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dunia pendidikan menjadi primadona. Ini karena besarnya anggaran pendidikan yang mencapai angka 20 % dari APBN kita. Perjuangan panjang mengoal-kan anggaran 20 % APBN untuk dunia pendidikan berujung dikepemimpinan SBY. Dengan anggaran pendidikan yang besar tersebut, seharusnya dunia pendidikan mulai bergeliat menata dirinya.
Memang upaya kearah itu sedang dilakukan yaitu diantaranya program sertifikasi guru dan pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk SD dan SMP. Program sertifikasi guru memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih layak bagi guru sebagai lokomotif dunia pendidikan. Sebab, pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa pergantian kurikulum seolah-olah berhenti dilaci meja guru tanpa disertai dengan kualitas guru yang profesional. Meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi awal babak baru dunia pendidikan kita yang akan dirasakan paling tidak sepuluh tahun kedepan.

KORUPSI DUNIA PENDIDIKAN MASIH AKUT

Persoalan yang paling serius didunia pendidikan saat ini adalah masih akutnya korupsi didunia pendidikan. Paling tidak 20 % dari anggaran yang dikucurkan bocor. Ini diperparah dengan sistem manajemen berbasis sekolah yang diterapkan setengah-setengah tanpa pengawasan yang ketat. Dengan sistem manajemen berbasis sekolah misalnya, proyek-proyek pengadaan barang dan jasa dikelola penuh oleh sekolah sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. Karena pejabat setingkat sekolah merupakan unsur terlemah dari birokrasi didunia pendidikan maka, sekolah menjadi sapi perah bagi birokrat-birokrat diatasnya. Contohnya, ketika sekolah mendapat dana grant untuk membangun Laboratorium Bahasa disekolah, maka otomatis para pejabat ditingkat diknas kabupaten, propinsi dan tentu kepala sekolah meminta jatah yang akumulasinya mencapai 20 % dari anggaran yang diberikan oleh pemerintah. Sebuah angka yang sangat besar. Ungkapan jawa “wohe nek gak disinggek ora bakal ceblok (buahnya tidak akan jatuh jika tidak disogok dari bawah – bantuan tidak akan turun jika tidak diberi sogokan/pelicin) masih saja berlaku saat ini. Meskipun pemerintah pusat telah berupaya dengan mengirim dana grant tersebut langsung kerekening sekolah, justru itu sangat mempermudah pejabat atasan untuk meminta jatah upeti. Tentu saja korupsi sedikit sekali meninggalkan bekas, hanya bau busuknya yang menyengat. Dan orang-orang terdekat saja yang tahu bahwa anggaran telah bocor kemana-mana. Sulitnya mengungkap korupsi didunia pendidikan karena, adanya orang tua siswa sebagai back up anggaran yang kurang. Artinya bisa ditebak, orang tua harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk menutupi kebocoran anggaran tersebut. Itulah sebabnya, ketika KPK dan BPK mengaudit keuangan sekolah, seringkali tidak menemukan kesalahan yang berarti selain kesalahan administrasi kecil yang tidak berarti. Korupsi yang masih kuat dilevel bawah merupakan persoalan serius yang saya pesimis, Muh Nuh dapat menyelesaikannya. Mencari kepala sekolah yang jujur saja saat ini, seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Tetapi harapan itu selalu ada betapapun kecilnya harapan tersebut dan kini ditumpukan kepada Mendiknas baru, M. Nuh. Ketika KPK telah ditelanjangi dan dicabut taringnya, maka pemberantasan korupsi didepartemen sangat tergantung pada kekuatan menteri yang memimpin departemen itu untuk membersihkan dapurnya sendiri. Jarene wong Jawa Timuran : Resik ono pogone, sing akeh sawang lan anguse. Ning sing ati-ati ati aja sampek malah keblekan pogone........ *) seperti yang dialami oleh Mantan Ketua KPK yang terdahulu (Antasari, Bibit W, Chandra H).
SEKOLAH GRATIS HANYA KEBOHONGAN ?

Gagasan ideal tentang sekolah gratis yang dimotori oleh Bambang Sudibyo, Mendiknas yang lama, bermula dari dikucurkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk tingkat SD dan SMP sederajat. Dengan asumsi bahwa dana BOS ditambah dengan Dana Bantuan dari Pemerintah Daerah, maka sekolah setingkat pendidikan dasar dapat digratiskan. Lihatlah dibanyak sekolah, spanduk dan baliho yang menyatakan bahwa sekolah gratis hampir merata disemua sekolah-sekolah negeri. Pada kenyataannya, sekolah gratis itu tidak ada. Banyak bahasa politis yang dipakai sekolah untuk meyakinkan masyarakat bahwa yang gratis hanya ini..... sedangkan yang itu.... tetap harus ditanggung orang tua. Kenyataannya tidak ada sekolah gratis dinegeri ini. Inilah kebohongan terbesar yang dilakukan birokrat era Bambang Sudibyo kepada rakyatnya. Bahkan sampai diiklankan di televisi nasional yang tentu saja memakan anggaran yang sangat besar.
Persoalan justru muncul dilevel bawah dimana orang tua berhadap-hadapan dengan sekolah yang harus mencari rasionalisasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa sebenarnya tetap saja mereka harus membayar dengan berbagai istilah yang dipakai sekolah, apakah iuran, sumbangan sukarela yang tidak mengikat dan lain sebagainya.
Pembiayaan pendidikan sesungguhnya sangat relatif. Satu sekolah bisa menghabiskan dana milyaran rupiah untuk menjalankan manajemen sekolah selama satu tahun sedangkan sekolah lain bisa hanya menghabiskan puluhan juta saja. Ini sangat tergantung pada visi dan misi sekolah tersebut dan orientasi kemana sekolah tersebut akan dibawa. Sekolah dengan basis teknologi kekinian akan lebih banyak membutuhkan biaya pengadaan dan perawatan ketimbang sekolah yang cukup bermodalkan kapur dan papan tulis saja. Sekolah dengan fasilitas yang super lengkap akan lebih mahal pembiayaannya ketimbang sekolah yang memiliki fasilitas sangat terbatas. Kenyataan disekolah kita, disparitas antar sekolah sangat mencolok bahkan ditingkat kecamatan saja, tiap sekolah akan berbeda ukuran biaya yang dibutuhkan. Baik ditinjau dari fasilitas yang dimiliki baik software maupun hardwarenya. Karena itu, menyamaratakan dana BOS akan membuat sekolah yang memiliki cost besar akan terseok-seok perjalanannya. Sebaliknya sekolah yang cost operasionalnya relatif sedikit dapat berlenggang kangkung menikmati kucuran dana BOS tersebut. Sampai hari ini tidak ada ukuran tentang besaran biaya manajemen sekolah yang standar.
Pendidikan dasar 9 tahun harus digenjot untuk segera dituntaskan. Dana BOS sebenarnya hanya meringankan orang tua, tapi tidak sanggup untuk menggratiskan seluruh biaya-biaya pendidikan khususnya pada sekolah-sekolah yang potensial dan memerlukan pembiayaan yang besar.
Muh. Nuh sangat perlu untuk meluruskan hal tersebut. Apakah menurunkan spanduk-spanduk disekolah yang bertuliskan sekolah gratis atau mencukupi seluruh kebutuhan pendidikan suatu sekolah sehingga tidak ada alasan lain bagi sekolah selain menggratiskan.

PUSAT – SEKOLAH : PEMBANGKANGAN BIROKRASI

Kasus sekolah gratis menunjukkan bahwa komunikasi birokrasi yang dilakukan berjenjang pada akhirnya terputus dan tidak dihiraukan ditingkat bawah. Betapapun menghabiskan dana milyaran rupiah hanya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat tentang sekolah gratis, pada akhirnya itu tidak dipatuhi oleh sekolah-sekolah negeri yang notebene dibawah kendali langsung Diknas. Bentuk pembangkangan birokrasi ini, bila dibiarkan akan terus menerus menggerogoti kinerja dan kewibawaan departemen. Belum lagi dana sharing untuk BOS yang diharapkan dapat membantu mencukupi kebutuhan sekolah seringkali sangat tergantung dari kemurahan hati Bupati/Wali kota. Jadi proses pembangkangan sebenarnya dimulai dari tingkat kabupaten/kota, dari Bupati atau walikotanya.
Bentuk pembangkangan lain adalah tentang buku sekolah. Adalah aneh jika sekolah tidak boleh menjual buku atau Lembar Kerja Siswa, sementara pemerintah sendiri tidak menyediakan buku yang cukup untuk proses belajar mengajar. Saat ini paling banter satu buku untuk dua anak didik, itupun untuk mata pelajaran tertentu. Karena itu, meskipun Mendiknas yang lama, melarang sekolah menjual buku dan LKS apakah lewat koperasi sekolah atau guru, tetap saja tidak dihiraukan oleh sekolah. Mau jadi apa anak didik, kalau buku saja tidak punya ?. Buku yang disediakan pemerintah masih terbatas. Tengoklah buku-buku yang ada di http://bse.depdiknas.go.id, yang dapat diunduh oleh masyarakat. Lebih dari satu tahun pemerintah pusat meluncurkan program BSE (Buku Sekolah Elektronik), yang tersedia hanya beberapa mata pelajaran saja seperti PKn, IPA, IPS, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, Matematika, sementara pelajaran lain tidak ada seperti Agama, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Ketrampilan, Pengembangan diri, Muatan Lokal. Padahal usia buku untuk kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006 hanya sampai tahun 2014 saja, artinya pemerintah harus mengejar target untuk segera melengkapi buku-buku disekolah-sekolah sehingga setiap anak mendapat satu buku. Sayangnya, belum cukup tuntas BOS Buku untuk melengkapi kebutuhan akan buku disekolah sekarang dihentikan atau diintegrasikan kedalam Bantuan Operasional Sekolah. Sehingga, saya kira tidak akan tuntas penyediaan buku-buku bagi siswa bila tidak dipercepat. Kalau buku saja tidak dimiliki siswa, jangan pernah tanya tentang kualitas pendidikannya.





*) Resik ono pogone, sing akeh sawang lan anguse. Ning sing ati-ati ati aja sampek malah keblekan pogone........ artinya bersihkan dapur/pogo (tempat menaruh alat dapur) dan berjelaga. Tapi hati-hati jangan sampai kejatuhan pogo.
Pogo adalah tempat menaruh alat-alat dapur. Orang Jawa biasanya membuat tempat alat-alat dapur seperti kukusan, Panci dll diatasnya. Terbuat dari rangkaian bambu dan berada diatas/agak tinggi dari tempat berdiri dan biasanya dekat dengan tungku api dari tanah liat. Tempatnya didapur.

KELAPARAN DI YAHUKIMO

APA KABAR YAHUKIMO ?

Dengarkan pengakuan Sibet Nabiyak, penduduk Yahukimo, “Kalau ada makanan kita makan, kalau tidak, dari pagi sampai sore kita tidak makan. Tidak ada makanan disini”.Sebuah pengakuan yang menyentak kita tentang keadaan saudara kita di Papua. (selebihnya dapat dilihat dikutipan video yang bersumber dari berita TV One, 5/9/2009). Akibat kelaparan yang menimpa rakyat di Yahukimo, setidaknya 113 orang meinggal dunia. Sebuah keadaan yang kontras dengan peristiwa gempa bumi yang terjadi di Tasikmalaya dimana bantuan berdatangan dari seluruh penjuru negeri. Bahkan salah satu stasiun tv swasta indonesia membuat acara live penggalian dana. yang menghebohkan ada seorang Donatur secara pribadi yang memberi bantuan sebesar 1 milyar rupiah untuk korban gempa bumi. Sebuah angka yang sangat besar untuk ukuran Indonesia.
Sementara di Yahukimo ratusan orang mati kelaparan. Sungguh sebuah cara mati yang setiap orang tidak ingin membanyangkan pun tidak mau. Tidak ada gebyar donasi. Yang mungkin tersisa disana saat ini adalah saat saat menunggu ajal ditengah sulitnya jalur komunikasi antar daerah.
Yahukimo, merupakan wilayah Indonesia yang sering dilanda kelaparan dan berakibat kematian. Kegagalan panen dan hama bukanlah alasan bagi pemerintah untuk membiarkan rakyatnya mati kelaparan.

Barangkali, salah satu wilayah Indonesia yang selalu terpinggirkan adalah Papua. Kecuali jika terjadi kasus-kasus perlawanan dari kelompok separatis OPM. Atau menyangkut Freeport. Wilayah yang kaya raya tetapi rakyatnya miskin. Wilayah yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa, tetapi banyak penduduknya yang masih tidak berpakaian. Otonomi khusus yang diberikan di wilayah Papua nampaknya belum benar-benar dirasakan oleh mereka. Akses jalan trans Papua belum terbangun. Kebanyakan kekayaan alam dikeruk asing dan Jakarta, dicuri dan dibawa ke luar negeri. Sedangkan rakyatnya tetap saja miskin. Sedemikian miskinnya mereka masih hanya pakai koteka. Ini bertolak belakang dengan pulau-pulau lain. Bahkan bila dibandingkan dengan Jawa, papua sangatlah tertinggal. Didunia pendidikan, sekolah-sekolah di pulau jawa telah memasuki era digital. Dimana mulai anak usia SMP telah akrab dengan berbagai teknologi salah satunya internet.

Apa yang salah dengan Papua ?. Dengan kekayaan alam yang dimiliki seharusnya papua telah mencapai kemajuan layaknya pulau Jawa. Minimal seperti Kalimantan yang telah membangun infrastruktur jalan trans Kalimantan. Adalah sangat tragis bila ada rakyat, dinegara manapun, sampai meninggal dunia karena kelaparan. Maka yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah. Ya pemerintah Daerah ya Pemerintah Pusat. Karena tugas pemerintah adalah menjamin ketersediaan pangan, kesehatan dan pendidikan rakyatnya..
EARTHQUAKE IN INDONESIA :
GEMPA LAGI, GEMPA LAGI

Innalillahi wa inaillaihi rojiun. Sejak 2005 gempa bumi besar menghabisi banyak rakyat Indonesia. Paling parah adalah peristiwa kelabu bulan Desember 2004 yaitu Gempa bumi diikuti Tsunami di aceh dan Nias. Lebih dari Dua ratus ribu orang meninggal dunia dan hilang ditelan laut. Ditahun 2006, gempa bumi di Yogyakarta dan Bantul menelan korban lebih dari enam ribu orang. Tahun 2007 gempa di Lampung menelan korban 13 orang. Hari ini, 2 Sept 2009, di Jawa Barat, gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter, sedikitnya telah tercapat 64 orang meninggal dunia. Cakupan wilayah gempa bumi di Jawa Barat sangat luas meliputi Tasikmalaya, Cianjur, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Bandung, Jakarta.

Berikut ini kutipan video gempa yang terjadi di Indonesia : Aceh 2004, Bantul dan Yogyakarta, 2006 dan Jawa Barat, 2009.

KEBENCIAN RAKYAT INDONESIA PADA MALAYSIA :PERANG ATAU DIPLOMASI ?

Dalam lima belas tahun terakhir, Malaysia telah menjadi sebuah negara tetangga yang sering menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia. Kemarahan begitu hebat, setelah rakyat Indonesia dicengangkan dengan diambilnya pulau Ligitan dan Sipadan, berbagai produk kebudayaan dicuri dan diklaim sebagai milik Malaysia, Ambalat terus di incar untuk dicaplok. Belum lagi kasus-kasus penganiayaan TKI di Malaysia yang terus bermunculan tiap waktu di Televisi. Ini adalah bom waktu, yang cepat atau lambat akan menimbulkan gerakan yang kuat dari rakyat untuk melawan Malaysia. Lihatlah di situs http://www.malingsia.com/ daftar kebencian orang-orang Indonesia terhadap Malaysia.
Logo Malingsia dikutip dari www.malingsia.com


Sumber kebencian rakyat Indonesia terhadap Malaysia dapat ditelusuri sejak Malaysia menyatakan merdeka. Presiden Soekarno, melihat bahwa Malaysia merupakan ancaman yang serius terhadap kedaulatan Indonesia. Maka slogan “ganyang Malaysia” menjadi sangat populer bagi rakyat Indonesia bahkan sampai hari ini. Setiap muncul permasalahan dengan Malaysia, slogan “ganyang Malaysia” selalu menjadi ikon dalam setiap gerakan rakyat.
Di Era Kepemimpinan Presiden Soeharto, dimana hubungan Indonesia – Malaysia begitu mesra, persoalan dengan Malaysia hampir tidak muncul. Pertama karena kuatnya pengaruh Soeharto di wilayah ASEAN. Kedua secara pribadi Soeharto, Mahathir Muhammad (Malaysia), Ferdinand Marcos (Philipina) serta Lee Kuan Yu (Singapura), memiliki kedekatan hubungan pribadi. Ketiga, secara ekonomi, Indonesia sebelum reformasi, merupakan macan Asia dengan tingkat pertumbuhan diatas 7 % tiap tahunnya. Kekuatan ekonomi Indonesia membuat siapapun berpikir dua kali untuk bermasalah dengan Indonesia. Dengan kekuatan ekonomi, dominasi kekuatan militer dan militansi rakyat terhadap negaranya, maka tidak ada negara-negara tetangga yang berani usil.
Sayangnya, ketika hantaman krisis ekonomi tahun 1996 menghajar Indonesia dan hampir semua negara di Asia, hanya Malaysia, China dan Thailand yang bertahan dari hantaman krisis ekonomi. Indonesia terjun bebas ketitik nadir. Krisis itu berakibat fatal yaitu kehancuran ekonomi – diperparah dengan pengaruh IMF- sekaligus porak porandanya kondisi politik didalam negeri. Pergulatan politik era reformasi di dalam negeri, membuat Indonesia semakin lemah dimata internasional. Kekuatan diplomasinya rendah. Pemerintahan produk reformasi mulai dari BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono, sangat lemah dalam diplomasi internasional. Indonesia tidak memiliki lagi diplomat – seperti diera Soeharto - sekelas Muchtar Kusuma Atmaja atau Ali Alatas yang mampu meredam gejolak internasional di forum PBB berkaitan dengan masalah timor timur misalnya.
Pengusiran besar-besar TKI Indonesia dari Malaysia dan direbutnya Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia diera kepemimpinan Megawati mengingatkan kembali sejarah tentang “ganyang Malaysia”. Sejak saat itu, berbagai kasus penganiayaan TKI, blok ambalat, kasus Manohara, pencurian kebudayaan Indonesia seperti batik, wayang, lagu, angklung, reog ponorogo dan yang terakhir tari Pendet dari Bali serta plesetan lagu Indonesia Raya. Munculnya silih berganti dan terus menerus memancing emosi rakyat Indonesia.

PERANG ATAU DIPLOMASI ?

Ketika kasus Ambalat menguat, terbentuklah berbagai laskar perlawanan rakyat di Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan, yang siap berhadap-hadapan dengan tentara diraja Malaysia. Persoalan yang terus menerus mengusik rasa nasionalisme tersebut, bisa jadi akan menjadi akar perang terbuka Indonesia – Malaysia. Bahkan Panglima TNI telah menyatakan bahwa tentaranya siap untuk perang.
Bila benar terjadi perang maka Indonesia memiliki dua kekuatan yang sulit ditandingi oleh Malaysia. Pertama, TNI kita telah memiliki sejarah panjang dalam berbagai pertempuran baik melawan Penjajahan Belanda maupun pemberontakan didalam negeri seperti DI/TII di Jawa, PRRI/Permesta di Sumatera, RMS di Sulawesi, GAM di Aceh, OPM di Irian Jaya, Operasi Seroja di Timor Timur dll. Tentara Indonesia telah ditempa oleh sejarah yang panjang dengan pahit getirnya perang. Meski dengan persenjataan yang minim, tentara Indonesia telah teruji dalam berbagai pertempuran.
Faktor kedua adalah militansi rakyat. Sejarah Indonesia dibangun oleh kekuatan rakyat. Ketika Indonesia merdeka justru belum memiliki tentara. Perlawanan dibangun dari kekuatan rakyat Laskar-laskar perlawanan rakyat akan bermunculan seperti kata Soekarno “setiap 10 tentara di raja Malaysia masuk ke Indonesia, seratus orang Indonesia akan melawannya. Seratus tentara Malaysia masuk ke Indonesia, seribu rakyat akan melawannya”. Kekuatan ini tidak dimiliki oleh Malaysia. Bahkan, 2 juta TKI Indonesia di Malaysia saat ini, bila perang terbuka terjadi, akan menjadi kekuatan penghancur terhadap Malaysia yang sangat dahsyat. Jangan anggap remeh TKI. Mereka akan menjadi kekuatan yang luar biasa dan tidak terpikirkan oleh Malaysia. Tentu dengan sedikit sentuhan operasi Intelejen, maka Malaysia akan kewalahan menghadapi mereka. Mereka bisa menjadi bara api dalam sekam yang akan membakar apa saja di Malaysia, jika pematiknya dinyalakan.
Saya memiliki keyakinan itu, karena mereka para TKI, para tetangga-tetangga saya, orang-orang Indonesia yang mengadu nasib di negeri jiran tersebut. Orang-orang yang disiksa, dianiaya, orang-orang yang tidak berdaya saat ini, akan menjadi kekuatan luar biasa sesuai dengan kesejarahan mereka. Pendek kata mereka adalah BONEK (Bondho Nekat) – berani menghadapi apapun hanya bermodal tekad yang kuat.
Belum lagi kekuatan rakyat dari dalam negeri Indonesia. Lihat saja, setiap ada masalah dengan Malaysia, orang Indonesia, para blogger baik bernada caci maki maupun hujatan mengisi situs-situs internet yang memuat tentang permasalahan tersebut. Bahkan kalangan Hacker yang selama ini identik dengan perilaku negatif di dunia internet, telah menunjukkan kebencian terhadap Malaysia. Hari ini (Rabu, 2/9/2009) saat saya menulis, 116 situs milik Malaysia, telah dihabisi oleh para Peretas Indonesia (Hacker) (sumber : TV One, Metro TV). Sebuah bukti, perang telah dimulai betapapun masih ditingkat dunia maya. Saya yakin, ini tidak akan berhenti dan akan terus berlangsung sampai Malaysia, menunjukkan itikad baik menjalin kerjasama dengan Indonesia.
Kalau saja Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, hari ini menyatakan perang terhadap Malaysia. Maka puluhan ribu orang akan secara sukarela siap perang dan mati, betapapun mereka tanpa bekal kemampuan militer sedikitpun. Ini terbukti ketika terjadi perang di Afganistan, Irak, dan terakhir di Palestina. Ribuan orang mendaftar sebagai sukarelawan yang siap berperang, meskipun mereka tidak memiliki sedikitpun ketrampilan dalam perang. BONEK – Bondho Nekad – bermodalkan tekad belaka. Adalah kata kuncinya rakyat Indonesia ...................
Kekuatan rakyat akan menjadi suport yang luar biasa bagi TNI dalam berhadap-hadapan dengan Malaysia. Meski alat pertahanan Indonesia banyak yang telah usang, semangat itulah yang akan membuat Indonesia mampu melawan Malaysia.
Tapi perang selalu menyakitkan. Saya percaya, pilihan paling sulit pemimpin negara adalah menyatakan perang terhadap negara lain. Harus ada alasan yang sangat kuat untuk menyatakan perang terhadap negara lain. Diantara masalah yang muncul dengan malaysia, masalah Ambalat adalah masalah yang paling berisiko menimbulkan perang terbuka Indonesia – Malaysia.
Maka langkah diplomasi yang seimbang merupakan langkah paling logis dan beresiko paling rendah. Diplomasi berarti ada kesejajaran kedua belah pihak untuk saling berbicara dan berdialog. Saat ini upaya diplomasi masih berat sebelah. Seolah – olah hanya Indonesia yang butuh menyelesaikan masalah sedangkan Malaysia selalu saja jual mahal. Ingat ketika kasus Ambalat memanas. Pemerintah kita, Parlemen kita mondar – mandir, Jakarta – Kuala Lumpur. Untuk apa ? Buat apa Jero Wacik – menteri Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia, harus klutusan ke Kuala Lumpur, sekedar untuk menunjukkan kemarahan bangsa Indonesia ketika tari pendet dicuri Malaysia. Penyelesaian masalah tidak akan muncul jika tidak ada itikad baik dari kedua belah pihak.
Dubes Indonesia di Malaysia, seperti Dai Bachtiar, tidak punya nyali sama sekali dalam menghadapi hantaman persoalan yang bertubi-tubi. Warning pertama Indonesia cukup dengan memanggil kembali Dai Bachtiar ke Indonesia dan mengusir Dubes Malaysia di Indonesia, menghentikan pengiriman TKI dan mengalihkan ke Timur Tengah, Australia dan Negara Asia lain selain Malaysia. Barangkali bila pemerintah tidak segera mengambil langkah yang serius, justru rakyat Indonesia yang akan mengusir Dubes Malaysia di Indonesia untuk pulang kampung.
Indonesia sendiri saat ini butuh seorang pemimpin yang mampu mengatakan pada Malaysia “kamu telah merampok kekayaan budaya kami. Kamu telah menyiksa rakyat kami. Kamu telah berusaha mengambil Ambalat. maka itu cukup bagi kami untuk menyatakan perang terhadap Malaysia..........”.

TNI DAN POLISI HARUS BERSATU MELAWAN TERORISME

TNI DAN POLISI HARUS BERSATU MELAWAN TERORISME


Melalui proses heroic seperti di film-film, Densus 88 POLRI akhirnya melumpuhkan dan menembak mati seorang teroris di temanggung Jawa Tengah, yang hari ini diumumkan oleh Mabes Polri sebagai IBROHIM, penata bunga di Hotel JW Marriot. Meskipun saat penyergapan yang dilakukan Densus 88 beredar kabar bahwa yang disergap adalah Noordin M. Top. Keberhasilan lain adalah operasi di Jati Asih Bekasi Jawa Barat dalam waktu yang bersamaan dengan menembak mati 2 orang teroris.
Sebuah prestasi yang perlu mendapat apresiasi dari masyarakat umum, meskipun gembong teroris, Noordin M. Top belum juga tertangkap. Perang melawan terorisme adalah perang yang panjang. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memburu Osama Bin Laden di Afganistan, dengan waktu yang panjang dan biaya yang super besar, toh hasilnya sampai hari ini belum juga tertangkap. Osama Bin Laden masih juga mampu mengendalikan seluruh jaringan Al Qaidah di seluruh dunia. Malah yang banyak terbunuh adalah rakyat biasa, anak-anak dan wanita.
Prestasi dari pasukan densus 88 sebenarnya akan lebih optimal jika mampu berkolaborasi dengan TNI khususnya angkatan Darat. TNI angkatan Darat memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam memburu dan mengejar teroris. Mulai dari pembajakan WOYLA, operasi intelejen di malaysia pada saat konflik dengan malaysia, pengemboman gereja di Malang, Pengeboman Borobudur sampai perlawanan Nursidi di Lampung. Hanya mungkin aturan-aturan yang berubah sejak reformasi membuat TNI terpinggirkan dan tidak memiliki peran yang berarti dalam pengamanan dalam negeri. Reformasi telah membuat TNI kembali ke Barak dan tidak memiliki kekuatan dalam masyarakat. Sedangkan Densus 88 merupakan sebuah organisasi yang relatif baru dan sedang mencari bentuk. Akibatnya, potensi yang luar biasa yang dimiliki TNI tidak dipakai. Seluruh pengamanan dalam negeri menjadi tanggung jawab Polisi. Sehingga polisi memiliki overload tanggung jawab. Dari nangkap maling sampai ngurusi terorisme.
TNI memiliki jaringan intelejen sampai tingkat kecamatan dan desa, bahkan diera Soeharto, TNI mampu menyusup kehampir semua organisasi kemasyarakatan. Contoh operasi intelejen yang sukses adalah Operasi penumpasan G 30 S PKI seperti yang terjadi di Kediri, dilakukan oleh Ansor/banser – sebuah organisasi kepemudaan milik NU berhadap-hadapan langsung dengan orang-orang PKI. TNI tidak terlibat secara fisik tapi mampu mengkondisikan perlawanan rakyat melalui organisasi tersebut.
Disamping itu TNI angkatan Darat memiliki kemampuan intelejen yang tidak diragukan lagi di jaman Orde Baru. Meskipun terkadang mencederai kebebasan berpendapat, toh operasi intelejen yang dilakukan TNI waktu itu, paling tidak, memberikan rasa aman yang luar biasa bagi rakyat.
Karena itu, Presiden SBY telah mengintruksikan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Namun, itu akan menjadi kendala jika TNI tidak mendapat dukungan yang kuat di Parlemen dalam kerangka memperluas tugas dan tanggung jawab TNI. Persoalannya, apakah penggabungan densus 88 dan TNI akan berhasil efektif. Ini sangat tergantung pada konsensus rakyat dan parlemen. Pengalaman pahit TNI di era Reformasi, barangkali membuat TNI lebih banyak menunggu ketimbang aktif melawan terorisme.
Sekarang, saatnya pemerintah, Parlemen dan dukungan rakyat diperlukan untuk menggabungkan dua kekuatan besar dalam mengamankan negeri yang kita cintai ini. TNI memiliki sejarah yang panjang melawan terorisme bila digabungkan dengan Densus 88 akan menjadikan organisasi itu sangat kuat, berwibawa dan akan ditakuti oleh para teroris yang masih berkeliaran di Indonesia.

MENGENANG MBAH SURIP DAN WS RENDRA

DUNIA KESENIAN ; KEMISKINAN, GLAMOUR DAN KEPOPULERAN

“Sekali berarti sesudah itu mati” (Chairil Anwar : Deru campur Debu). Barangkali puisi Chairil Anwar itu mampu menggambarkan perjuangan hidup sejati dari seorang mbah Surip. Tidak ada seorang biasa, rakyat jelata, yang mampu menarik simpati begitu banyak masyarakat indonesia, selain mbah Surip. Daya pikatnya justru terletak pada kesederhanaan, ketawanya dan kepolosannya dalam menyikapi kehidupan. Mbah Surip sebagai gambaran seniman sejati, yang hidup diantara himpitan raksasa ekonomi yang siap menelan dan menelanjangi siapa-pun yang tak sanggup bertahan di ibukota. Hasil yang ia capai selama 2 bulan terakhir adalah proses perjalanan panjang selama lebih dari 20 tahun.
Saya mengikuti prosesi pemakaman Mbah Surip melalui siaran televisi. Dari awal hingga akhir. Saya sempat bertanya dalam hati, Lho mana WS Rendra ?, Ia tuan rumah. Prosesi pemakaman Mbah Surip di bengkel Theater miliknya WS Rendra, tapi ia tidak muncul. Apa beliau sakit lagi ?. Sebab sebelumnya di TV juga pernah dikabarkan WS Rendra terserang penyakit Jantung, itupun sekitar bulan Juni yang lalu.
Ternyata Malam ini, saat saya menulis artikel tentang Mbah Surip, Ditelevisi rumah terdengar Breaking News. WS Rendra meninggal dunia menyusul Mbah Surip. Beliau meninggal dunia pukul 21.30 WIB tanggal 6 Agustus 2009. Innalilahi wa innailaihi rojiun.

DUNIA KESENIAN SAYA SEMASA MAHASISWA

Saat saya menjadi mahasiswa di IKIP Surabaya, dunia sastra saya coba geluti. Entah kenapa saya tertarik pada sastra khususnya puisi. Padahal saya tidak sedang kuliah di bidang sastra. Saya berjuang mati-matian membuat puisi mungkin karena kemiskinan yang mendera hidup saya. Bahkan sampai pernah saya tidak tidur 2 hari 2 malam untuk melahirkan sebuah puisi. Ketika puisi jadi, saya jual ke koran, ternyata nggak laku juga. Waktu itu, sastra memiliki ruang yang cukup disetiap koran baik terbitan surabaya maupun Jakarta. Paling banter dimuat di koran lokal dan itupun gratis, tidak ada bayarannya. Saya ingat hanya sekali saya mendapat bayaran puisi di Harian Suara Karya, itupun tidak seberapa. Yang paling menjadi langganan puisi saya hanyalah koran kampus “Gema”. Justru tulisan-tulisan yang lain yang terkadang laku dijual di koran. Di IKIP Surabaya, bertebaran penyair dan sastrawan muda yang bergelut mencari identitas diri. Mungkin karena pengaruh dari beberapa dosen IKIP Surabaya waktu itu adalah sastrawan seperti Prof. Budi Darma, Wawan Setiawan, Alm. Prof. Suripan Sadi Hutomo.
Saat saya banyak belajar puisi secara otodidak, saya mengenal karya-karya WS Rendra. Nama yang cukup disegani dikalangan penyair di akhir tahun 1980-an. Disamping waktu itu, nama-nama lain yang menguasai dunia kepenyairan di Indonesia seperti Sutardji Calsum Bahri, Subagyo Sastro Wardoyo, MH. Ainun Najib dll. Bacaan wajib yang ingin mengenal sastra adalah majalah HORISON, majalah kalangan sastrawan pimpinan HB Jasin. Saya biasanya membaca diperpustakaan, karena tidak mampu membelinya. Semua penyair pasti mengenal WS Rendra, karya-karyanya cenderung kritik sosial sering dianggap penganut paham sosialisme. Sebuah kata yang paling ditabukan diera Soeharto. Biasanya dihubung-hubungkan dengan LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) diera tahun 1960-an yang berafiliasi ke PKI. Sehingga WS Rendra barangkali penyair yang paling sering berurusan dengan pihak berwajib.
Dunia kepenyairan adalah dunia kemiskinan. Tidak ada penyair di Indonesia yang akan mapan secara ekonomi. Kalau kita pelajari sejarah hidup Chairil Anwar, penyair yang mati muda dengan karya yang luar biasa, maka kebesaran nama dan karyanya tidak sebanding dengan kondisi ekonominya yang sampai meninggal dunia, miskin dalam arti sesungguhnya. Tidak seperti kesenian musik maupun seni rupa dan sekarang dunia seni peran, sastrawan khususnya penyair tidak memiliki ruang yang cukup untuk hidup dari berkesenian. Paling sering diminta bantuan teman membuatkan puisi untuk memikat hati pacar yang ditaksirnya. Biasanya bayarannya adalah sebungkus rokok. Dengan berkembangnya teknologi digital, sekarang banyak komunitas pencinta puisi bertebaran di internet. Dikomunitas kembang mawar, dengan ikon, membuat puisi itu mudah, anda dapat bergabung dan menjadi bagian dari mereka.
Sehingga ketika saya lulus kuliah dan mulai bekerja menjadi guru, dunia sastra saya tinggalkan dan tenggelam dalam kesibukan administratif sebagai guru. Sekarang kalau saya diminta menulis puisi, susahnya setengah mati. Maka blog ini sebenarnya adalah proyeksi kerinduan pada dunia tulis menulis. Disamping alasan lain, saya menemukan kesenangan lain yaitu berupa puisi visual melalui video. Kalau anda berkunjung ke Youtube maka disana anda akan menemukan sebagian kecil dari alasan lain saya meninggalkan sastra. Yang pasti, saya teringat perkataan Prof. Budi Darma, banyak penyair kampus, yang akhirnya kehabisan nafas dan meninggalkan dunia sastra. Saya adalah salah satunya.
Karena kesukaan pada dunia puisi, biasanya, dalam video-video saya (kegiatan lembaga, sekolah, organisasi) sering saya insert-kan puisi-puisi yang biasanya saya ambil dari TV. Dari karyanya WS Rendra, KH. Mustofa Bisri, Winarno Suratman, bahkan puisinya SBY di HUT RI tahun lalu maupun Sutrisno Bachir sering saya bajak untuk diinsert-kan di video editan saya. Yang terakhir saya gunakan karya WS Rendra untuk insert closing video “Masa Orientasi Siswa Baru SMA Kandangan” bulan Juli lalu.

MBAH SURIP DAN WS RENDRA

Tentu saja kita tidak dapat membandingkan antara Mbah Surip dengan WS Rendra. Pertama, karena Mbah Surip memulai dunia kesenian baru dipertengan tahun 80-an. Sedangkan waktu itu, Nama WS Rendra sudah sangat dikenal dikalangan seniman. WS. Rendra telah menjadi ikon penyair angkatan tahun 1960. Semasa menjadi mahasiswa WS Rendra telah melahirkan karya-karya yang diakui bahkan oleh HB Jasin, kritikus sastra yang paling berpengaruh dijamannya. Kedua, Mbah Surip memulai hidup dengan menggelandang selama dua puluh tahun lebih untuk dapat mencapai puncak perjuangan selama 2 bulan saja. WS Rendra melalui dunia seni peran dan sastra telah mampu hidup mapan di Jakarta – satu diantara ribuan sastrawan yang berhasil.
WS Rendra seperti juga alm. Hari Rusli, sangat peduli pada nasib seniman-seniman yang masih terpinggirkan dan belum dikenal dimasyarakat. Saya kira, kebanyakan seniman memiliki naluri yang sama terhadap sesamanya yang belum beruntung. Dibengkel Teater, banyak seniman numpang hidup. Apakah sekedar meminta jatah makan atau benar-benar ingin bergelut hidup didunia kesenian. Bahkan rumah MH Ainun Najib di Jakarta juga sangat terbuka terhadap seniman-seniman yang masih kere dan belum mampu menghasilkan sesuatu untuk menopang hidupnya.
Mbah Surip adalah sosok seniman sejati, yang hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat lain. Dan kebanyakan seniman memang pernah menjalani hidup seperti itu. Yang membedakan mbah surip dengan lainnya adalah kepolosan, ketulusan dan kesederhanaan. Perjuangan hidup yang luar biasa, dan tidak setiap orang mampu menjalaninya apalagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Melihat sosoknya yang penuh tawa, siapapun pasti akan betah berteman dengan mbah surip. Tentu saja, saya hanya sekedar bersimpati. Perjuangan sejati dan pergumulan hidup mbah surip selama 20 tahun sebagai seniman, tidak ada yang tahu kecuali mereka yang dekat yaitu komunitas kesenian di Jakarta yang pernah didatangi Mbah Surip.
Yang dapat saya petik dari perjalanan hidup mbah Surip adalah ketekunan dalam menjalani apa yang diyakini untuk menjadi hidup yang berarti bagi orang lain. Maka mbah surip telah memenuhi tugas sebagai manusia “Sekali berarti Sesudah Itu Mati”.
Selamat Jalan Mbah Surip Selamat Jalan WS Rendra..... Dunia berkesenian telah kehilangan seniman sejati. Yang satu penuh canda tawa, gimbal, semaunya. Yang satu serius, intelektual, berteman dengan banyak pejabat maupun mantan pejabat. Keduanya kembali kehadirat-Nya. Barangkali disana engkau dapat melepas lelahmu... tidak lagi “ampun pemerintah”.

TUMBANGNYA DOMINASI SEKOLAH NEGERI

BSNP melansir tingkat kelulusan ujian Nasional yang mencengangkan. SMA Swasta memiliki tingkat kelulusan 97 % sedangkan SMA Negeri 91 %. Sebuah penjungkirbalikan fakta yang selama ini diyakini dan memang telah teruji bahwa sekolah-sekolah negeri selalu unggul dalam berbagai hal termasuk kelulusannya. Tahun ini fakta tersebut ditumbangkan. Sekolah-sekolah Swasta dengan segala keterbatasan personalia, sarana dan prasarana, mampu melesat meninggalkan sekolah negeri yang masih dibuai oleh kebesaran masa lampau. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
WARISAN MASA LAMPAU
Sekolah-sekolah negeri baik SD, SMP maupun SMA diera sebelum reformasi merupakan sekolah anak emas negara. Seluruh pembiayaan, personalia dan manajemen pendidikan dibawah pembinaan dan kendali ketat pemerintah. Sementara sekolah Swasta harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Meski ada satu dua sekolah swasta waktu itu cukup mapan, namun jumlahnya tidak imbang dengan banyaknya sekolah swasta yang hidupnya kembang kempis. Pengalaman saya waktu itu, untuk dapat bertahan hidup, sekolah swasta harus memiliki kemampuan survive. Jangankan mengaji guru dengan layak, membeli kapur tulis saja memerlukan perjuangan yang luar biasa. Jangan ditanya tentang fasilitas pendukung pendidikan. Tidak ada bantuan pembiayaan dari pemerintah, tidak ada pengawasan yang ketat dan kontrol dari pemerintah. Sekolah swasta harus berjalan sendiri dengan pembiayaan murni dari masyarakat dan yayasan. Hal ini sangat kontradiktif dengan sekolah negeri yang mendapat suntikan pembiayaan dari pemerintah.
Era itu telah berlalu, Reformasi memberi berkah tersendiri bagi sekolah swasta. Pemerintah, ditingkat SD/MI dan SMP/MTs, memberi bantuan yang sama baik negeri maupun swasta. Bantuan BOS, Dana Grant pengembangan sekolah, buku-buku dan tunjangan khusus bagi guru swasta. Yang terakhir dengan pengakuan swasta untuk mengikuti sertifikasi guru, merupakan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh guru swasta ditahun 90-an.
Perlakuan yang sama, memberi motivasi yang luar biasa bagi sekolah swasta untuk menumbangkan fakta selama ini bahwa sekolah swasta kalah unggul dengan sekolah negeri.
Sementara sekolah-sekolah negeri, masih terobsesi dengan kebesaran masa lampau yang itu tidak ada artinya sama sekali. Gaji PNS yang besar, fasilitas sekolah yang paling modern, yang sayangnya tanpa didukung dengan motivasi internal yang kuat untuk terus berkembang dan tumbuh.
Ada banyak faktor kenapa tahun ini baik SD/MI, SMP/MTs maupun SMA/MA, sekolah swasta lebih unggul dalam hal kelulusannya dibandingkan dengan sekolah negeri. diantaranya ;
1. Motivasi kerja guru
2. manajemen pendidikan
3. Perlakuan yang adil swasta - negeri
MANAJEMEN PENDIDIKAN : KORUPSI DAN KINERJA SEKOLAH
Harus diakui sebenarnya, sekolah swasta memiliki latar belakang yang sangat beragam. Sementara sekolah negeri, memiliki manajerial yang lebih bagus baik dari sudut rekrutmen guru, Kepala Sekolah maupun staf administasinya. Banyak sekolah swasta yang asal comot guru karena tidak mampu menggaji seperti PNS disekolah negeri. Sementara untuk promosi kepala sekolah ala kadarnya tidak seperti di sekolah negeri yang memiliki prosedur standar dalam promosi kepala sekolah. Pendek kata tidak ada yang istimewa dari sekolah swasta.
Yang membedakan sekolah swasta dan negeri adalah pengelolaan sekolah yang lebih efisien disekolah swasta ketimbang disekolah negeri. Sekolah-sekolah negeri, seperti yang kita tahu, lebih banyak korupsi didalamnya ketimbang disekolah swasta. Korupsi disekolah negeri sudah sedemikian akut dan membahayakan bagi masa depan pendidikan. Tapi, nampaknya sampai saat ini masih adem ayem saja. Banyak kepala sekolah menjadi koruptor (dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada sebagian kecil Kepala sekolah yang jujur), mempermainkan dana BOS, 'dakon anggaran sekolah', dana BOS buku, dana grant pengembangan sekolah, belum lagi tarikan dari wali siswa dengan berbagai alasan yang terkadang, orang paling bodoh sekalipun, mengerti bahwa itu hanyalah akal-akalan sekolah.
Tapi kepala sekolah tidak berdiri sendiri, dibelakang itu, ada dinas pendidikan kabupaten/kota yang menjadi raja-raja kecil, menuntut upeti dari setiap dana grant khususnya. Pendek kata, seperti kata ICW (Indonesian Corruption Wacth) kebocoran anggaran negara disekolah negeri mencapai angka 30 %. Padahal saat ini sekolah negeri setingkat SMP/MTs yang telah masuk katagori SSN saja, APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) telah mencapai angka 1 milyar lebih. Sebuah angka yang fantastis untuk ukuran unit kerja. Manajemen pendidikan tidak efektif karena banyak kebocoran anggaran. Pembiayaan pendidikan yang overload dan mengada-ada.
Sementara sekolah swasta yang tidak memiliki link sekuat sekolah negeri ditingkat dinas pendidikan mampu mengelola lebih efisien pembiayaan yang diberikan pemerintah maupun dari wali siswa. Saya memiliki teman, kepala sekolah swasta, yang harus dibui karena ngakali dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Padahal trik-trik ngakali seperti itu banyak terjadi disekolah negeri. Tapi seolah tidak terjamah dan didiamkan saja.
Akibat kondisi yang demikian, mempengaruhi kinerja sekolah. Banyak guru yang tahu korupsi disekolahnya, lebih memilih diam. Tapi diamnya guru, berarti melemahkan motivasi kerja dalam memacu prestasi anak didik. "Buat apa ngoyo, lha wong uangnya banyak dikorup kepala sekolah kok". Padahal inti pendidikan terletak pada guru, kemampuan untuk membangun motivasi anak didik memaksimalkan potensi yang dimiliki, sangat tergantung dari bagaimana guru mengelola kelasnya. Tidak ada yang lebih kuat meningkatkan prestasi belajar siswa, selain dari motivasi internal siswa itu sendiri untuk berubah dan mencapai perkembangan diri yang optimal.
MOTIVASI GURU : KESEJAHTERAAN VS KEBANGGAAN SEKOLAH
Hal lain yang membedakan swasta dan negeri adalah motivasi guru dalam menjalankan profesinya. Guru negeri yang mayoritas PNS, masih terfokus pada peningkatan kesejahteraan hidupnya yang memotivasi kerja mereka. Semakin baik sekolah memberikan kesejahteraan, akan semakin termotivasi guru tersebut menjalankan profesinya. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah kesejahteraan yang diterima guru semakin rendah motivasi kerjanya. Guru berubah menjadi pedagang. "Seberapa anda memberi saya, maka saya beri sesuai harga yang anda berikan kepada saya". Ketika pemerintah memberikan tunjangan profesi guru, maka mereka yang mendapatkan tunjangan tersebut, memiliki kinerja yang luar biasa, sedangkan yang belum, lebih santai. dalam bahasa mereka "yang penting datang tepat waktu. mengajar. Pulang". Jangan ditanya tentang kualitas proses yang dijalankannya.
Guru disekolah swasta nampaknya memiliki motivasi lain, pertama karena gaji yang diterima tidak sebanding dengan rekan mereka yang di sekolah negeri, jumlah guru swasta yang tersertifikasi jauh lebih sedikit ketimbang guru negeri. Pendek kata, mereka tidak mungkin dapat bermimpi memiliki kesejahteraan yang setara dengan guru negeri. Saya melihat, bahwa guru swasta perlu memaksimalkan potensinya karena mereka memerlukan itu. Kelangsungan hidup sekolah swasta sangat tergantung dari prestasi mereka. Kalau sekolah tersebut tidak berprestasi, maka habislah sekolah mereka. berarti juga habis masa depan dan kehidupan guru tersebut. Mereka butuh mempertahankan sekolah, karena tanpa mereka sekolah akan ambruk dan bangkrut karena kehabisan siswa. Interaksi manajemen sekolah dengan guru khususnya jauh lebih informal dari pada disekolah negeri. Guru swasta lebih mudah berdiskusi dengan kepala sekolah untuk peningkatan kualitas sekolah mereka. Meskipun fasilitas yang disediakan sekolah lebih terbatas, namun, saya pikir inilah yang menjadikan mereka pekerja luar biasa dan hasil perjuangan mereka, dirasakan sekarang. Sekolah swasta menghabisi sekolah negeri.

UJIAN NASIONAL DAN KECURANGAN

Akhir bulan April, saya harus mengawasi Ujian Nasional. Karena pola kepengawasan silang antar sekolah, saya bersama teman-teman guru lain, bertugas disekolah swasta. Sebagai koordinator pengawas, diawal sebelum melaksanakan tugas kepengawasan, saya membekali kembali teman-teman tentang prosedur kepengawasan dan sistem adiministrasi yang harus dijalankan. Saya katakan “Ujian Nasional harus diperlakukan sama dengan Ujian Sekolah. Dari sudut kepengawasan, maka mohon untuk tidak membuat situasi anak didik takut pada panjenengan. Berlakulah ramah pada anak didik dengan tetap memegang teguh prosedur kepengawasan Ujian. Tidak ada contek mencontek.semua sisa soal akan dibawa pengawas dengan disegel oleh koordinator pengawas agar tidak dibaca oleh siapapun”. Memang hari itu, 27 s.d 30 April 2009 merupakan saat pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP serentak se Indonesia. Tidak ada kecurangan dari sekolah penyelenggara, ada pengawas Independent yang bekerja dengan sangat baik dari Unibraw. Dan hasilnya masih kita tunggu.
Tapi hari ini, kita dikagetkan dengan adanya kecurangan Ujian Nasional di 33 SMA di Indonesia. Sungguh memprihatinkan. Ketika dunia pendidikan mulai berbenah untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dari dalam. Ternyata kecurangan itu tetap ada. Sebagai seorang guru, saya ikut prihatin dengan kondisi pendidikan yang dipahami secara sempit.

Saya mencoba untuk berpikir kembali tentang hakekat Ujian Nasional. Banyak kalangan yang menolak Ujian Nasional. Tetapi saya berpendapat sebaliknya. Ujian Nasional masih diperlukan dalam kerangka standarisasi penilaian pendidikan. Sebagai salah satu alat evaluasi keberhasilan sekolah.
Sejak diberlakukannya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), setiap sekolah memiliki kebebasan untuk menentukan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) sesuai dengan kondisi sekolah, sarana prasarana yang tersedia, intake siswa. KKM sekolah memiliki kisaran 6.00 sampai dengan 7,5. Artinya anak didik dikatakan lulus jika mampu memperoleh nilai minimal KKM. Bila tidak maka guru melaksanakan tindak lanjut berupa perbaikan/remedial.
KKM menjadi standar minimal sekolah. Ujian Nasional memiliki standar minimal juga. Tahun ini rata-rata menjadi 5,5. sebuah angka yang masih jauh dari KKM yang ditetapkan masing-masing sekolah. Dengan mengabaikan faktor-faktor lain, idealnya KKM yang dimiliki sekolah equevalen dengan KKM yang ditetapkan dalam Ujian Nasional. Artinya bila hanya untuk mendapatkan angka rata-rata 5,5 seharusnya bukanlah pekerjaan yang sulit.
Banyak sekolah ketakutan tidak mampu mencapai angka-angka itu. Berbagai upaya dilakukan seperti pemberian pelajaran tambahan. Bahkan ada sekolah yang gila-gilaan dengan menghapus seluruh mata pelajaran non ujian nasional selama kelas 9 khususnya semester genap dan diganti hanya mata pelajaran Nasional. Orang tua banyak berharap anaknya lulus ujian nasional. Jarang yang berpikir, bila ujian sekolah tidak lulus bagaimana ?.
Ketakutan tidak lulus Ujian Nasional menjadi wabah pendidikan yang menghantui para kepala sekolah dan guru mata pelajaran Ujian Nasional. Sebenarnya, Kelulusan ujian nasional harus dipahami hanya sebagai salah satu alat evaluasi pendidikan. Tapi karena sakralisasi UN, membuat kepala sekolah banyak yang takut dan menghalalkan segala cara untuk mengatasi ketakutan akan ketidaklulusan siswanya.
Tapi kepala sekolah tidak berdiri sendiri. Ada kepala Dinas Pendidikan, Ada Bupati, Gubernur, yang menekan kep.sek untuk meluluskan 100 % siswanya. Seolah-olah, kualitas pendidikan diukur dari prosentase kelulusan. Kalau hasil Ujian Nasional dijadikan ukuran untuk kualitas pendidikan seharusnya prestasi sekolah diukur dari peningkatan rata-rata hasil Ujian Nasional dari tahun ke tahun. Bukan dari prosentase kelulusannya.
Kesalahan fatal dalam menyikapi ujian nasional membuat, Ujian Nasional sering kehilangan esensi dari sebuah sistem penilaian.
Tragisnya, dari tahun ke tahun kasus, kecurangan Ujian Nasional selalu ada. Sedangkan tidak pernah terdengar kabar, kecurangan Ujian Sekolah. Mengapa ?. Karena sistem penilaian pendidikan kita masih diskriminatif. Men-Tuhan-kan Ujian Nasional dan menyepelekan Ujian Sekolah.


DISKRIMINASI PENDIDIKAN
Perlakuan diskriminatif terhadap mata pelajaran Nasional dan mata pelajaran Non Nasional seolah-olah menjadi kelaziman. Diskriminasi ini bukan saja pada tataran tingkat sekolah melainkan pada tingkatan kebijakan menteri pendidikan. Dari mulai pembuatan kisi-kisi ujian sampai pada pelaksanaan ujian sungguh jauh berbeda.
Ujian nasional digarap oleh BNSP dengan dikelilingi oleh ahli-ahli dibidangnya, guru senior, ahli psikometri, ahli-ahli pendidikan. Ketika soal jadi, mulai proses pencetakan sampai distribusi, negara mengerahkan seluruh potensinya untuk mengawal dan mengamankan soal tersebut. Jadi, kalau anda Kapolres atau Kapolsek, bila terjadi kesalahan dalam pengamanan soal ujian Nasional berarti karir anda TAMAT. Tentu saja berarti seluruh pembiayaan Ujian Nasional dari kisi-kisi sampai soal dibuat, didistribusikan menjadi tanggungan APBN.
Sebaliknya, Ujian Sekolah dengan segala keterbatasan yang dimiliki masing-masing sekolah harus dilaksanakan. Pemerintah memberi kewenangan penuh pada sekolah untuk menyusun kisi-kisi sampai pelaksanaannya. Memberi kewenangan berarti, melimpahkan seluruhnya termasuk pembiayaan kepada sekolah masing-masing. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, sekolah harus menyusun kisi-kisi, membuat soal, mencetak dan melaksanakan ujian sekolah. Tidak ada pengawalan Polisi, tidak ada ketakutan kepala Sekolah/Kepala Dinas, Bupati dan Gubernur terhadap kegagalan Ujian Sekolah. Tidak ada kepengawasan silang lagi. Bahkan tidak ada rasa khawatir sedikitpun dari orang tua jika anaknya gagal diujian sekolah.
Mengapa demikian ?. karena ujian dilaksanakan sekolah, soalnya dibuat guru maka guru –dengan segala kesederhanaan dan kepolosan yang dimiliki- mudah untuk di bujuk jika siswanya ada yang tidak lulus ujian sekolah. Guru itu manusia mudah untuk disentuh baik secara psikologis maupun dalam arti sesungguhnya. Guru kelas akhir menjadi tidak berdaya manakala siswanya lulus Ujian Nasional, maka mau tidak mau harus meluluskan ujian sekolah. Prosedur penilaian guru yang dilakukan tahap demi tahap dapat dimentahkan oleh kenyataan bahwa siswa tersebut harus lulus karena telah lulus ujian nasional. Diperlukan keberanian yang luar biasa –dan ini tidak dimiliki guru – untuk melawan desakan dan bujukan kepala sekolah atau kepala dinasnya.
Kondisi semacam ini membuat dunia pendidikan kita jalan ditempat.


KEPRIBADIAN


KEPRIBADIAN menurut Allport adalah:

…sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya.

Sedangkan menurut Pervin dan John:
kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten.

Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe (type). Trait sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang menggambarkan unit/dimensi dasar dari kepribadian. Trait menggambarkan konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait.
Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:
Trait relatif stabil dari waktu ke waktu
Trait konsisten dari situasi ke situasi
Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
ada proses adaptif
adanya perbedaan kekuatan, dan
kombinasi dari trait yang ada
Tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa dewasa. McCrae dan Costa yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil, konfigurasi yang tetap stabil setelah usia 30 tahun (Feist, 2006).
Teori trait dimunculkan pertama kalinya oleh Gordon W. Allport. Selain Allport, terdapat dua orang ahli lain yang mengembangkan teori ini. Mereka adalah Raymond B. Cattell dan Hans J. Eysenck.
Allport mengenalkan istilah central trait, yaitu kumpulan kata-kata yang biasanya digunakan oleh orang untuk mendeskripsikan individu. Central trait dipercaya sebagai jendela menuju kepribadian seseorang. Menurut Allport, unit dasar dari kepribadian adalah trait yang keberadaannya bersumber pada sistem saraf. Allport percaya bahwa trait menyatukan dan mengintegrasikan perilaku seseorang dengan mengakibatkan seseorang melakukan pendekatan yang serupa (baik tujuan ataupun rencananya) terhadap situasi-situasi yang berbeda. Walaupun demikian, dua orang yang memiliki trait yang sama tidak selalu menampilkan tindakan yang sama. Mereka dapat mengekspresikan trait mereka dengan cara yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat masing-masing individu menjadi pribadi yang unik. Oleh sebab itu Allport percaya bahwa individu hanya dapat dipahami secara parsial jika menggunakan tes-tes yang menggunakan norma kelompok.
Sama seperti Allport, Cattell juga percaya bahwa kata-kata yang digunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya dan orang lain adalah petunjuk penting kepada struktur kepribadian. Perbedaan mendasar antara Allport dan Cattell adalah bahwa Cattell percaya kepribadian dapat digeneralisir. Yang harus dilakukan adalah dengan mencari trait dasar atau utama dari ribuan trait yang ada.
Menurut Allport, faktor genetik dan lingkungan sama-sama berpengaruh dalam menentukan perilaku manusia. Bukan hanya faktor keturunan sendiri atau faktor lingkungan sendiri yang menentukan bagaimana kepribadian terbentuk, melainkan melalui pengaruh resiprokal faktor keturunan dan lingkungan yang memunculkan karakteristik kepribadian.
Sehubungan dengan adanya peran genetik dalam pembentukan kepribadian, terdapat 4 pemahaman penting yang perlu diperhatikan:
1. Meskipun faktor genetik mempunyai peran penting terhadap perkembangan kepribadian, faktor non-genetik tetap mempunyai peranan bagi variasikepribadian 2. Meskipun faktor genetik merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi lingkungan, faktor non-genetik adalah faktor yang paling bertanggungjawabakan perbedaan lingkungan pada orang-orang 3. Pengalaman-pengalaman dalam keluarga adalah hal yang penting meskipun lingkungan keluarga berbeda bagi setiap anak sehubungan dengan jeniskelamin anak, urutan kelahiran, atau kejadian unik dalam kehidupan keluarga pada tiap anak.4. Meski terdapat kontribusi genetik yang kuat terhadap trait kepribadian, tidak berarti bahwa trait itu tetap atau tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan.
Sumber bacaan:
Cooper, C.L., & Payne, R. (1991). Personality and stress: Individual differences in the stress process. England: John Wiley & Sons Ltd.
Feist, J. & Feist, G. J. (2006). Theories of personality. (Ed. Ke-6). New York: McGraw-Hill Inc.
Hjelle, L.A., & Ziegler, D.J. (1992). Personality theories. Singapore: McGraw Hill Book.
McCrae, R.R., & Allik, J. (2002). The Five Factor Model of personality across cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers.
Pervin, L. A. (1993). Personality: theory and research. (Ed. ke-6). Canada: John Wiley & Sons.
Pervin, L. A. (1996). The Science of personality. USA: John Wiley & Sons
Linzey & Hall. (1993). Theories of personality. (4th ed). New York: John Wiley & Sons

PERKEMBANGAN REMAJA

Beberapa Isu

Seksualitas Sebagai Isu Perkembangan RemajaMasa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu, karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga memampukan seseorang untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Namun bukan hanya pubertas saja yang menjadikan seksualitas sebagai isu penting dalam hal perkembangan remaja.
Dalam tahapan perkembangan psikososial yang yang dikemukan Erikson, dinyatakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman dan peran yang mereka miliki, dan memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Stevens-Long & Cobb, 1983). Pemahaman mengenai seksualitas seseorang merupakan bagian dari upaya pembentukan identitas personal yang stabil, karena dengan mengembangkan sikap yang sehat mengenai keberadaan diri sebagai makhluk seksual, seseorang juga memahami nilai-nilai, keyakinan, sikap, dan batasan-batasan yang dimilikinya; dan akan memampukannya untuk dapat merasa nyaman menjadi dirinya sendiri (Shibley, 1997).
Sebenarnya sebelum memasuki usia remaja, anak sudah memiliki keingintahuan akan seks. Mereka bahkan dapat terlibat dalam aktifitas seksual. Mereka dapat berciuman, masturbasi, bahkan melakukan sexual intercourse (Steinberg, 2002). Seperti yang diungkapkan Weis (2000), kemampuan untuk berinteraksi secara erotis dan untuk mengalami perasaan seksual, dengan sesama ataupun berbeda jenis kelamin, secara jelas ditunjukkan pada usia 5 sampai 6 tahun. Dalam observasi yang dilakukan Langfeldt (dalam Weis, 2000) menunjukkan anak laki-laki yang belum memasuki pubertas dan sedang melakukan permainan seksual dengan anak lain menunjukkan ereksi pada penisnya selama permainan seksual itu berlangsung. Bahkan Fond dan Beach (dalam Weis, 2000) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesempatan mengamati kegiatan seksual yang dilakukan orang dewasa, cenderung terlibat dalam persetubuhan pada usia minimal 6-7 tahun.
Namun dalam permainan seksual itu, anak tidak melakukan introspeksi dan refleksi mengenai perilaku seksual (Steinberg, 2002). Mereka melakukannya karena tindakan itu memberikan sensasi nikmat sebagai reward dari tindakan mereka itu. Tindakan mereka lebih didasari oleh rasa ingin tahu daripada motivasi seksual yang sesungguhnya (Sullivan dalam Steinberg, 2002). Berbeda dengan remaja yang sudah mampu mengambil keputusan apakah ia akan terlibat dalam aktifitas seksual itu, dan mempertimbangkan apakah pasangan akan menolaknya, apakah dirinya terlihat baik di mata pasangannya, dan sebagainya.
Masa remaja menjadi sebuah titik balik dalam perkembangan seksualitas karena menandakan awal mula seseorang bertingkah laku seksual karena memiliki motivasi seksual yang disadari bermakna seksual secara eksplisit, oleh diri sendiri dan orang lain (Steinberg, 2002). Dengan demikian remaja harus memenuhi tugas perkembangan mereka, untuk memahami bagaimana menangani minat seksual mereka dan menjadikan seks sebagai bagian dari kehidupan personal dan sosial mereka (Steinberg, 2002).
Remaja dan Self-esteemMenurut Reasoner (2004), sebanyak 12% individu menunjukkan adanya penurunan self-esteem setelah memasuki sekolah menengah pertama, dan 13% memiliki self-esteem yang rendah pada sekolah menengah. Remaja wanita dikatakan mengalami kenaikan self-esteem pada usia antara 18 hingga 23 tahun melalui aspek-aspek moral dan hubungan pertemanan. Pada remaja, perubahan self-esteem terjadi pada 3 dimensi, yakni dalam hubungan personal, ketertarikan dengan lawan jenis, serta kompetensi dalam pekerjaan.
Permasalahan yang sering dialami dalam masa remaja adalah masalah tidak percaya diri karena tubuhnya dinilai kurang / tidak ideal baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, atau merasa tidak memiliki kelebihan yang bisa dipakai sebagai modal dalam bergaul. Rasa kurang percaya diri ini kemudian menyebar ke hal-hal yang lain, misalnya malu untuk berhubungan dengan orang lain, tidak percaya diri untuk tampil di muka umum, menarik diri, pendiam, malas bergaul dengan lawan jenis atau bahkan kemudian menjadi seorang yang pemarah, sinis, dll. Dalam perkembangan sosial remaja, self-esteem yang positif sangat berperan dalam pembentukan pribadi yang kuat, sehat dan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan, termasuk mampu berkata “tidak” untuk hal-hal yang negatif dengan kata lain tidak mudah terpengaruh berbagai godaan yang dihadapi seorang remaja setiap hari dari teman sebaya mereka sendiri (peer pressure) (Utamadi, 2001).
Self-esteem yang rendah akan memperlemah hubungan yang dibina dengan orang lain, sedangkan self-esteem yang tinggi akan mendukung remaja untuk mengembangkan hubungan mereka dengan orang lain. Selain itu, Masters & Johnson (2001) juga mengatakan bahwa self-esteem ini juga berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap statusnya sebagai remaja. Seorang remaja yang memiliki self-esteem yang positif maka ia tidak akan mudah terbawa godaan yang banyak ditawarkan oleh lingkugan. Misalnya dari sebuah penelitian, ditemukan bahwa. remaja yang mempunyai self-esteem rendah cenderung lebih mudah mencoba menyalahgunakan obat-obatan atau mengkonsumsi napza.
Orientasi Masa Depan dalam Bidang PendidikanDi antara orientasi masa depan yang mulai diperhatikan pada usia remaja, orientasi masa depan remaja akan lebih terfokuskan dalam bidang pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Eccles (dalam Santrock, 2004), dimana usia remaja merupakan usia kritis karena remaja mulai memikirkan tentang prestasi yang dihasilkannya, dan prestasi ini terkait dengan bidang akademis mereka. Suatu prestasi dalam bidang akademis menjadi hal yang serius untuk diperhatikan, bahkan mereka sudah mampu membuat perkiraan kesuksesan dan kegagalan mereka ketika mereka memasuki usia dewasa (Santrock, 2001).
Penelitian yang dilakukan Bandura (dalam Santrock, 2001) terkait dengan prestasi remaja, diketahui kalau prestasi seorang remaja akan meningkat bila mereka membuat suatu tujuan yang spesifik, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Selain itu, remaja juga harus membuat perencanaan untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Dalam proses pencapaian tujuan, remaja juga harus memperhatikan kemajuan yang mereka capai, dimana remaja diharapkan melakukan evaluasi terhadap tujuan, rencana, serta kemajuan yang telah mereka capai (Santrock, 2001), sehingga dapat dikatakan kalau orientasi masa depan yang dimiliki remaja akan lebih terkait dengan bidang pendidikan.
Remaja dan Perilaku KonsumtifHurlock (1991) menyatakan salah satu ciri masa adalah masa yang tidak realistik. Pada masa ini, umumnya remaja memandang kehidupan sesuai dengan sudut pandangnya sendiri, yang mana pandangannya itu belum tentu sesuai dengan pandangan orang lain dan juga dengan kenyataan. Selain itu, bagaimana remaja memandang segala sesuatunya bergantung pada emosinya sehingga menentukan pandangannya terhadap suatu objek psikologis. Sulitnya, emosi remaja umumnya belum stabil. Secara psikososial terlihat perkembangan remaja pun memandang dan menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan peran mereka sebagai konsumen.
Seiring perkembangan biologis, psikologis, sosial ekonomi tersebut, remaja memasuki tahap dimana sudah lebih bijaksana dan sudah lebih mampu membuat keputusan sendiri (Steinberg, 1996). Hal ini meningkatkan kemandirian remaja, termasuk juga posisinya sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak dilakukan dengan uangnya dan menentukan sendiri produk apa yang ingin ia beli. Namun di lain pihak, remaja sebagai konsumen memiliki karakteristik mudah terpengaruh, mudah terbujuk iklan, tidak berpikir hemat, kurang realistis
Dalam kaitannya dengan perilaku remaja sebagai konsumen, walaupun sebagian besar tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi ternyata mereka memiliki pengeluaran yang cukup besar. Sebagian besar remaja belum memiliki pekerjaan tetap karena masih sekolah. Namun, para pemasar tahu bahwa sebenarnya pendapatan mereka tidak terbatas, dalam arti bisa meminta uang kapan saja pada orang tuanya (Loudon & Bitta, 1984).
Salah satu fungsi aktivitas remaja adalah fungsi ekonomi. Jumlah populasi remaja dan fakta bahwa remaja kurang terampil dalam mengelola keuangan daripada kelompok usia lainnya yang menyebabkan remaja menjadi target menarik bagi bermacam-macam bisnis (Fine et al., 1990 dalam Steinberg, 2000). Dalam usianya, remaja cenderung belanja lebih impulsive, dimana usia 18-39 tahun kecenderungan belanja impulsive meningkat (Wood, 2003).
Remaja dan keluargaKeluarga merupakan suatu sistem yang bersifat dinamis. Keluarga merupakan sistem yang hampir sama dengan manusia, ia berkembang berdasarkan waktu. Perubahan terjadi di dalam keluarga, keluarga pada waktu anak berada pada tahap perkembangan anak berbeda dengan keluarga pada waktu anak sudah beranjak dewasa.
Pada umumnya orang tua yang memiliki anak yang sudah berada dalam tahap perkembangan remaja berada pada usia 35-40 tahun. Pada usia ini orang tua sering mengadakan perubahan dari kehidupannya sebelumnya. Orang tua mulai untuk menarik diri dan cara berpikirnya berusaha untuk mencari cara yang aman.Tidak hanya orang tua yang bertambah usianya, anak pun mulai beranjak remaja. Ia mulai untuk bersikap mandiri. Perubahan pada orang tua membawa dampak pada hubungan remaja dengan orang tua. Sebelumnya, anak mencari nasihat dari orang tua, sedangkan sekarang remaja mulai merasa dirinya lebih mudah dipahami oleh teman-temannya. Remaja sering merasa orang tua kurang memberi kebebasan yang bertanggung jawab. Orang tua tetap bersikap otoriter. Perbedaan perilaku dan kebutuhan ini mengaibatkan keduanya berada dalam permasalahan. Perubahan-perubahan yang ada di dalam keluarga ini membuat keluarga berada dalam keadaan yang tidak seimbang, maka perlu dicari pemecahannya agar keluarga berada kembali dalam keadaan yang homeostatis.
Kebutuhan dari masing-masing pihak, baik dari orang tua maupun dari anak yang berada pada masa remaja ini ingin dipenuhi. Menurut Mappiare (1982), kebutuhan remaja yang menuntut pemenuhan dari orang tua adalah pengakuan sebagai orang yang mampu untuk menjadi dewasa, perhatian dan kasih sayang.Kontrol dari orang tua juga menjadi hal yang penting bagi remaja, menurut Blood (dalam Purwati,1989), ada bebepa hal yang berkaitan dengan kontrol orang tua, yaitu:
1. Dalam menentukan standar dari tingkah laku yang dituju
a. Bagaimana ketepatan dan kejelasan peraturan yang dibuat (firmness).
Jika orang tua menetapkan patokan (standart) yang jelas dan pasti bagi anak – anaknya dimana disertai dengan kebebasan di dalam patokan yang telah ditentukan, maka anak akan mendapat lingkungan yang baik bagi perkembangan sosialnya. Jika orang tua tidak memberikan patokan dan peraturan yang jelas maka berarti anak tidak dilindungi dari arah perkembangan yang dapat membahayakan penyesuaian sosial maupun kepribadiannya.
b. Konsistensi
Jika norma – norma atau peraturan yang diberikan ingin efektif, maka peraturan tersebut haruslah dimengerti, jelas dan konsisten dalam pelaksanaannya. Ketidakjelasan dapat tampil jika kedua orang tua menerapkan peraturan yang berbeda, atau dalam pelaksanaannya seringkali tak tetap. Dari hasil penelitian Peck (1958) didapatkan bahwa anak – anak dari keluarga yang menetapkan konsistensi dari peraturan yang ditetapkan akan membentuk anak yang secara emosi matang, kata hatinya kuat, dan mampu untuk menepati peraturan – peraturan sosial.
c. Peraturan yang dapat diterapkan
Mengharapkan terlalu banyak atau terlalu rendah akan patokan – patokan yang harus dikuasai anak, tidak akan membentuk anak menjadi matang. Jika standar terlalu rendah anak menjadi tidak terdorong untuk maju, jika terlalu tinggi anak akan kecewa karena tidak dapat mencapainya. Jadi standar yang ditentukan harus disesuaikan dengan tingkatan usia dengan kondisi seperti ini anak akan terdorong maju untuk menguasai sesuatu tujuan.
d. Penjelasan (reasoning)
Peraturan yang diiringi penjelasan akan mampu membentuk kontrol yang bersifat intrinsik, sedangkan jika tanpa penjelasan maka anak tidak akan mampu untuk mematuhinya karena peraturan tersebut bersifat eksternal, dimana kepatuhan yang ada hanya tergantung dengan adanya kehadiran orang tua saja.
e. Mendengarkan (Listening)
Penjelasan peraturan pada anak tidak saja hanya berbicara pada anak tapi juga mendengarkan reaksi dari anak. Dengan mendengarkan, orang tua dapat penegasan apakah anak dapat mengerti tentang hal – hal yang dibicarakan. Selain itu juga dapat menjadi tempat untuk memecahkan masalah jika anak merasa permintaan orang tua tidak dapat diterima. Dalam hal ini anak dan orang tua dapat bersama – sama mencari alternatif, sehingga dapat sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Kondisi ini juga mengembangkan suasana penghargaan terhadap anak dan orang tua.
2. Memperkuat proses belajarTeori belajar mengatakan bahwa suatu respon harus diberi ‘reward’ (hadiah) jika ingin diperkuat. Dalam hal ini bagaimana respon orang tua akan menentukan kecepatan suatu respon dipelajari oleh seorang anak.
Pengarahan dan percayaanPada masa kanak – kanak orang tua diharapkan untuk memberi pengarahan secara konsisten, agar ia mampu untuk menguasai tugas – tugas perkembangannya.
Sedangkan semakin dewasa anak, anak lebih membutuhkan kepercayaan dari orang tua untuk dapat melaksanakan tugasnya, keperayaan yang diebrikan orang tua bahwa ia ammpu menyelesaikan tugas – tugas yang telah disepakati bersama, merupakan suatu ‘incentives’ tersendiri.
Hadiah dan hukumanJika seorang anak mampu menyelesaikan suatu tugas, pemberian hadian akan memperkuat rasa kemampuannya, kompensasi terhadap kesulitan – kesulitan yang dialaminya, dan memperkuat keinginan untuk mengulangi tingkah lakunya. Jika anak tidak dapat menyelesaikan suatu tugas ia tidak akan mendapatkan hadiah. Sebaiknya pemberian hukuman dihindarkan, karena berakibat menyakitkan baik secara fisik maupun psikologis, selain itu akan timbul rasa dendam yang akan menghalangi proses sosialisasi. Hadiah dan hukuman dapat dibagi dalam bentuk fisikan dan bersifat psikologis. Secara umum hadiah yang bersifat psikologis lebih efektif dibandingkan dengan hukuman yang bersifat fisik.
Dengan demikian kontrol menjadi hal penting dari orang tua pada remaja dalam mengatasi permasalahan remaja yang berkaitan dengan kebutuhan remaja untuk diberi kebebasan. Namun tidak hanya remaja yang memiliki permasalahan, orang tua juga memiliki permasalahan dengan remaja.
Orang tua juga sering merasa tidak diperhatikan, anak remajanya lebih senang meluangkan waktu lebih banyak dengan teman – temannya, sehingga orang tua merasa membutuhkan perhatian dari anak remajanya lebih banyak. Untuk mencapai hal tersebut, maka interaksi yang baik sangat dibutuhkan. Dukungan dari remaja bagi orang tuanya dibutuhkan, demikian juga dukungan dari orang tua sangat dibutuhkan remaja. Dukungan ini dapat diperoleh jika masing-masing pihak mau bekerja sama untuk mencapainya. Remaja sangat membutuhkan orang tuanya dalam mencari identitas dirinya, yang pada masa ini sedang dicari.
Menurut Gerald (1983), keluarga menyediakan 3 fungsi dasar sebelum, selama dan setelah masa remaja. 3 fungsi ini tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh peergroups / struktur sosial yang lain sepanjang hidup. 3 fungsi tersebut adalah:
Keluarga menyediakan ‘sense of cohesion’
Kohesi ini atau ikatan emosi membuat kondisi untuk identifikasi dengan kelompok dasar yang utama dan meningkat secara emosional, intelektual dan kedekatan fisik
Keluarga menyediakan model kemampuan adaptasi.
Keluarga mengilustrasikan melalui fungsi dasar bagaimana sebuah struktur kekuatan dapat berubah, bgaimana peran hubungan dapat berkembang dan begaimana peraturan hubungan dapat terbentuk. Remaja yang memiliki pengalaman tipe keluarga yang rigid (rendah tingkat adaptasinya) cenderung terinternalisasi gaya interaksi yang rigid. Sebaliknya, terlalu banyak kemampuan adaptasi dapat membuat gaya ‘chaotic’. Keseimbangan penting untuk fungsi ini, hal yang sama juga dengan kohesi.
Keluarga menyediakan sebuah jaringan komunikasi
Melalui pengalaman dimana individu belajar seni dari pembicaraan, interaksi, mendengarkan dan negosiasi.

ANTASARI : WANITA DAN KORUPSI

Sosok antasi Ashar sangat kontroversial. Diawal jadi ketua KPK banyak orang meragukan kemampuannya. Saat menjadi ketua KPK prestasi gemilang diraihnya. Tokoh-tokoh penting dibabat, diintai dan dijebloskan ke penjara. Semua orang kagum, tentu kecuali koruptor, akan sepak terjangnya. Keberanian memberantas korupsi tanpa tebang pilih, membuat ia adalah harapan perbaikan wajah negeri kita. Harapan akan terkikisnya korupsi dinegeri sarang para koruptor.

Maka deretan anggota DPR korup, Birokrasi pemerintahan, jaksa-jaksa korup, anggota BI dan banyak lagi prestasi menakjubkan membuat orang kecil seperti saya, memiliki optimisme kembali akan perubahan Indonesia dimasa mendatang. Sebab, korupsi baik ukuran raksasa maupun skala kecil disekolah-sekolah, akan menjadikan bangsa ini tetap miskin.
apapun program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, jika korupsi masih kuat dikalangan pejabat dan pengusaha maka jangan pernah berharap negeri kita dapat maju.

Cina merupakan salah satu negara paling ekstrem dalam menangani korupsi. ditahun 80-an, Cina masih miskin, banyak pejabat korup. Diakhir tahun 90-an, penanganan secara serius terhadap para koruptor membuahkan hasil. pejabat korup dihukum bunuh, ditembak. Sekarang, Cina menjadi negara yang masih mampu tumbuh ekonominya disaat seluruh dunia dihajar krisis finansial. Cina yang dulu identik dengan komunisme, miskin. sekarang menjadi negara yang secara ekonomi sangat kuat dan ditakuti Amerika serikat.

Bangsa kita baru saja memulai pemberantasan korupsi dibawah bendera KPK. Antasari memberi sebuah keyakinan pada rakyat, bahwa tidak ada orang yang kebal hukum. Tidak ada orang di negeri ini yang dengan seenaknya mengeruk harta kekayaan negara untuk dirinya sendiri. Antasari membuka pintu pemberantasan korupsi. Sayang, keyakinan yang baru tumbuh itu dihentakkan dengan peristiwa yang sangat nista. Tuduhan Pembunuhan Berencana.

Sangat sulit dipercaya, orang sekelas Antasari, terkapar hanya karena persoalan purba, royokan wanita. Orang paling bodoh sekalipun, tidak akan percaya, sesederhana itu masalahnya.

Tapi persengkongkolan busuk sangat terasa. Tapi negeri ini tidak pernah mampu mengungkap setiap persengkongkolan. Sampai hari ini, tidak ada satu titik terang siapa sesungguhnya pembunuh Munir. Padahal sangat nyata.

Saya percaya, bahwa antasari hanyalah korban dari orang-orang kecewa, atau deretan instansi yang ketakutan terhadap sepak terjang antasari.

TUNJANGAN GURU MACET : SRI MULYANI VS GURU

TUNJANGAN PROFESI GURU MACET : SRI MULYANI VERSUS GURU

Setelah dinistakan sejak Indonesia merdeka hingga awal era reformasi, profesi guru tiba-tiba menjadi sebuah profesi yang menjanjikan. Itupun berjalan sangat lamban. Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen sangat tertatih-tatih. Tugas sertifikasi guru dengan segala intrik didalamnya, juga

MENISTAKAN GURU
Diakhir bulan desember 2008, adalah era baru bagi guru-guru yang telah memiliki sertifikat profesi guru. Pasalnya, dibulan itu, pencairan mulai dilakukan oleh pemerintah. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, merapel sampai 6 bulan, ada yang 9 bulan bahkan ada yang lebih sesuai periode kelulusan sertifikasi guru. Sebuah nominal yang tidak tanggung-tanggung. –barangkali membuat ngiler PNS lain.
Tapi itu tidak lama dipertengahan maret Menkeu, Sri Mulyani, membuat surat edaran yang memberhentikan pembayaran tunjangan profesi guru. Sebuah hantaman yang menyakitkan bagi guru.
Negeri ini benar-benar tidak pernah rela, bila guru-gurunya hidup sejahtera. Seolah-olah menjadi kelaziman bangsa ini jika guru hidup susah. Guru harus identik dengan pencari nafkah sampingan. Dari yang paling nista – untuk ukuran kualifikasi guru yg berpendidikan tinggi - seperti pemulung, tukang ojek, kernet angkot. Kalau ingin hidup layak guru harus memiliki usaha sampingan. Saya termasuk sedikit guru yang beruntung, karena memiliki sedikit keahlian lain sehingga saya bisa merintis usaha kecil-kecilan bergerak dibidang jasa shooting dan editing video. Bahkan kru shooting saya adalah guru-guru. Banyak teman-teman guru lain tidak seberuntung itu, ada yang ngarit, penjual asongan, tukang ojek, kernet angkot.
Betapa sakitnya, dulu, ketika seorang teman disapa tetangganya “Pak guru aku ngojek”.
Diera Orde baru, guru paling dinistakan. Begitu nistanya sehingga Iwan Fals menggambarkan sosok guru lewat lagu “Umar Bakri”. Gajinya kecil. Ditambah harus menjadi penopang partai berkuasa waktu itu, golkar. Mendapat beras jatah busuk dan berkutu. Bahkan menjadi sangat luar biasa perjuangan hidup seorang guru agar mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Barangkali sebuah profesi yang pernah merasakan arti kemiskinan sesungguhnya adalah profesi guru. Bahkan sampai hari ini, masih ada guru-guru yang masih terpinggirkan dan menjalani hidup dalam kemiskinan, yaitu guru-guru tidak tetap (GTT) disekolah-sekolah negeri khususnya yang tidak diakui dalam proses sertifikasi guru. Saya tahu makna kemiskinan sesungguhnya, Sri Mulyani tidak. Ia hanya bergerak diangka-angka dan aturan-aturan yang justru membingungkan ditingkat bawah.
Ketika Tunjangan sertifikasi dihentikan, maka banyak guru, yang awalnya memiliki semangat baru dalam menjalankan profesinya, tiba-tiba menjadi loyo, tak berdaya dan pada akhirnya dunia pendidikan itu sendiri yang akan mengalami akibatnya. Sebab sebagus apapun kurikulum, sebesar apapun anggaran yang disediakan untuk pendidikan, sebagus apapun sarana disediakan oleh Pemerintah, jika guru, sebagai garda terdepan pendidikan, tidak mau memaksimalkan potensi yang dimilikinya, maka jangan pernah berharap dunia pendidikan dinegeri ini bisa maju. Guru bisa saja menafikkan semua sarana yang disediakan, meletakkan dimeja usang buku-buku kurikulum, dan membiarkan proses pendidikan berjalan ala kadarnya. Yang penting masuk kerja, mengajar tepat waktu, beres.
Padahal kualitas pendidikan tidak diukur dari itu. Kualitas baru akan muncul manakala guru dapat memberdayakan semua potensi akademik, sosial dan kepribadian yang dimiliki untuk merangsang peserta didik, mendorong, membimbing dan melatih mereka menguasai bidang-bidang yang diajarkan guru. Ini tidak mungkin dicapai jika guru berada didalam lingkup kemiskinan, dalam posisi yang sulit.
Pertanyaannya, maukah negeri ini mengejar ketinggalan dari negara lain tetangga kita ?. Bila jawabnya, Ya. Openono guru sing sak temen-temene. Perhatikan guru dengan sungguh-sungguh.

PEMILU : POLITISI SENAYAN DAN KPPS

PEMILU : POLITISI SENAYAN DAN KPPS

Bukan Indonesia, kalau urusan politik tidak ramai. Barangkali takdir bangsa ini, sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, setiap pemilu selalu memunculkan masalah-masalah baru. Maklum, adanya masalah baru sangat berarti bagi politisi yaitu sebagai ladang kepentingan untuk saling menyerang dan saling menyalahkan – terutama bagi partai-partai yang memperoleh suara yang mengecewakan
Ketika masalah DPT mencuat dipermukaan justru saat-saat menjelang pemilu, banyak politisi menjadikannya sebagai komoditas politik yang empuk untuk menyerang KPU , Pemerintah atau siapa saja yang berada dibalik kisruh DPT. Padahal aturan-aturan tentang DPT terdapat dalam Undang-Undang Pemilu, justru yang membikin adalah para Politisi sendiri. DPT dibuat melalui rangkaian panjang dari DPS (Daftar Pemilih Sementara), DPSHP (Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan) sampai menjadi DPT.
Pemungutan Suara sudah usai, persoalan baru muncul yaitu kisruh penghitungan suara. Orang-orang seperti Megawati, Prabowo, Wiranto, dan kelompok pendukung pertemuan Teuku Umar jilid I lainnya, menganggap adanya penggelembungan suara di dalam pemilu kali ini. Saya tidak bisa membayangkan upamanya saja mereka (Prabowo, Wiranto dan Megawati cs) dijadikan anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), saya yakin mereka akan merasakan kesulitan yang luar biasa dalam penghitungan dan rekapitulasi perolehan suara dimasing-masing TPS. Sayangnya, mereka adalah orang-orang yang tidak pernah merasakan menjadi anggota KPPS. Akar persoalannya justru berangkat dari Senayan, dari mereka sendiri, dari para politisi yang tidak memiliki konsistensi dalam berpolitik.
Era Reformasi diawali dengan kemunculan ratusan partai Politik. Tahun 1999 adalah tahun awal pemilu multi partai. Konsep electoral trashold digagas. Bagi partai yang tidak mencapai 2,5 % suara harus ganti nama atau tidak ikut pemilu. Pemilu tahun 2004 hasilnya terjadi pengurangan partai menjadi hanya 24 partai politik peserta pemilu. Tapi anehnya, electoral trashold tidak berlalu dipemilu 2009. Partai politik yang tidak layak jual masih saja bermunculan dan menjadi biang banyak persoalan ditingkat bawah. Ini karena UU Pemilu yang dibikin politisi senayan, dengan kelihaian mereka mampu mengubah segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.Sudah 3 pemilu, harusnya partai yang tidak layak jual sudah tidak boleh ikut pemilu.
Peserta pemilu begitu banyak, sementara pola administrasi manual menimbulkan banyak kesalahan-kesalahan. Sementara model pemilu seperti India di bulan April ini yang menggunakan teknologi digital pada tingkatan TPS, bahkan tanpa perlu banyak berfikir tentang logistik – dinegara kita logistik tahun ini berantakan, di PPS wilayah kerja saya ada salah satu TPS saat pemungutan suara sampai kekurangan 100 kartu suara untuk DPD.
Mungkin kita perlu belajar dari India dengan jumlah pemilih yang mencapai 700 juta pemilih mampu melaksanakan pemilu dengan lebih baik ketimbang dinegara kita. Barangkali dengan belajar dari India kita akan mampu menyelesaikan persoalan kerumitan sistem administrasi manual. Tapi siapkah negeri ini ?. Teknologi ICR yang dipakai oleh KPU untuk rekapitulasi secara digital berjalan sangat lamban, mahal dan penuh dengan kesalahan sedangkan SDM ditingkat KPU Kabupaten/kota banyak yang buta teknologi tanpa mau mencari bantuan pada komunitas TI yang saat ini bertebaran di seluruh pelosok negeri ini, paling tidak di Jawa. Sungguh ironi, model administrasi manual, lemah dalam sosialisasi, dan KPPS diribeti dengan partai-partai yang tak laku jual.


PENDERITAN DAN PENGHINAAN PADA KPPS, PPS DAN PPK

Ujung terdepan pelaksanaan Pemilu terletak pada KPPS, PPS dan PPK. Mereka yang memiliki dedikasi tinggi terhadap masa depan demokrasi dinegeri ini. Begitu bersemangatnya mereka, banyak anggota KPPS yang kelelahan, sampai pingsan bahkan ada yang meninggal dunia, hanya karena tugas mereka. Dedikasi mereka barangkali justru lebih mulia ketimbang para politisi. Mereka tidak mengeluh meski mereka, anggota KPPS, hanya dibayar 200 ribu yang setara dengan 1 kali kucuran dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk orang miskin. Sedangkan pekerjaan mereka dan tanggung jawab mereka luar biasa besarnya. Saya menaruh apresiasi yang tinggi pada KPPS, apapun kesalahan yang dilakukan secara administratif. Di Sumenep Madura bahkan ada ketua KPPS yang dibunuh terkait pemilu. Mereka adalah korban-korban dari sebuah negara yang ingin membangun demokrasi. Mereka tidak mengeluhkan pekerjaan mereka. Mereka berbuat yang terbaik – menurut ukuran mereka.
Saya sebagai orang PPS (Panitia Pemungutan Suara) pada tingkat desa, merasakan betapa beratnya sistem administrasi rekapitulasi penghitungan suara. Sistemnya manual, rentan dengan kesalahan-kesalahan, sosialisasi sangat minim. Akibatnya, saya bersama teman-teman harus menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara ditingkat desa mencapai waktu dua minggu, itupun dibantu dengan komputer. Perhitungan manual mudah salah, sehingga diminggu terakhir saya memutuskan untuk membuat desain penghitungan menggunakan bantuan komputer.
Sangat naif, justru dibalik kelelahan, usaha keras dan dedikasi yang tinggi dari anggota KPPS, PPS dan PPK, yang diterima adalah penghinaan dan cacian dari politisi yang notebene partainya kurang laku. Yang dalam pelaksanaannya, sering ngribeti KPPS, PPS dan PPK.
Tapi negeri ini memang tidak pernah belajar untuk menghargai pekerjaan orang lain. Ketika era reformasi dimulai dan masih ingat dibenak kita, BJ. Habibie, sebagai pengganti Soeharto, berjuang mati-matian menekan jatuhnya mata uang rupiah dan berhasil menekan sampai pada level 8.000 per dolar amerika. Yang dia dapatkan justru caci maki digedung senayan serta hujatan terhadapnya hanya karena Habibie merupakan perpanjangan tangan Orde Baru. Ketika Megawati dengan PDIP-nya mampu meraup suara diatas 30 % di pemilu 1999 dan seharusnya menjadi presiden justru dipecundangi oleh partai-partai politik yang mengeroyoknya dan harus puas jadi wakil presiden. Diawal, Gus Dur jadi presiden, dielu-elukan, dan selanjutnya ditelanjangi dan dicampakkan.
Inikah realita politik dinegeri kita ?. Kalau politik seperti itu, betapa kotornya dunia politik, betapa nistanya mereka para politisi. Saya tidak paham dunia politik dan tidak ingin menjadi bagian dari kubangan lumpur yang pekat dan menjijikkan. Aroma busuknya sangat menyengat. Saya berkeyakinan bahwa jumlah golput yang masih besar ditahun ini, sebagai akibat dari perilaku politisi yang menyedihkan. Didesa saya, ukuran golput mencapai 39 % dari jumlah pemilih di DPT. Artinya yang menang di desa saya adalah kelompok golput. Kalau Indonesia adalah potret desa saya, maka sungguh menyedihkan. Banyaknya partai politik bukanlah jaminan orang mau memilih kalau tanpa ada perubahan perilaku politisi itu sendiri.

KISRUH DPT JATIM, MENGAPA ?

Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sempat risau dengan kisruh DPT (Daftar Pemilih Tetap) Prop. Jatim. Hal ini mungkin akan memicu persoalan yang akan mengganggu pemilihan legislatif tahun 2009. bahkan Kapolda Jatim, Irjen Pol. Herman ikut menjadi korban terhadap kisruh DPT tersebut.

Mengapa DPT Propinsi Jawa Timur kisruh ?. Sebagai seorang anggota PPS di desa di prop. Jawa Timur, saya tahu betul duduk persoalannya. Sebab paling tidak, dilevel bawah ini, PPS (Panitia Pemungutan Suara) tingkat desa/kelurahan menjadi ujung tombak persoalan DPT yang sesungguhnya. Saya tidak percaya pada teori konspirasi, paling tidak untuk desa saya, yang mengatakan bahwa ada kecurangan dengan penggelembungan DPT. Yang terjadi justru kekacauan data kependudukan yang menjadi dasar pembuatan Daftar Pemilih Sementara.

AKAR PERSOALAN : DPS YANG AMBURADUL

Sebenarnya persoalan DPT ini awalnya muncul saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur propinsi Jawa Timur tahun 2008 putaran 1. DPT yang merupakan hasil penyempurnaan Panitia Pemungutan Suara tingkat Desa/kelurahan, sumbernya berasal dari master CD dan cetak manual Daftar Pemilih Sementara KPU yang ujung-ujungnya data kependudukan tersebut dari Dinas Kependudukan Jawa Timur. Yang terjadi adalah, persoalan DPT menjadi runyam justru akarnya dari DPS (Daftar Pemilih Sementara).

Foto : Anggota PPS Desa Damarwulan melacak pemilih yang terselip ke TPS lain

Perlu diketahui bahwa, Jawa Timur dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun 2008 menggunakan 2 sumber yaitu data digital berupa program berbasis database yang diberikan kepada PPS untuk diadakan penyempurnaan sebelum ditetapkan menjadi DPT disamping cetak manual yang diberikan kepada PPS. Daftar Pemilih Sementara tersebut selanjutnya oleh PPS dipetakan berdasarkan wilayah dan didistribusikan kepada Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (P2DP) untuk diadakan pemutakhiran data.

Persoalan muncul, terutama didaerah pedesaan, karena data yang diberikan merupakan data pemilih seluruh desa/kelurahan dicampur menjadi satu. Sebagai contoh, didesa Damarwulan terdapat 34 RT. Setiap dusun didesa saya terdiri dari RT dengan nama RT 1 – 4/5. Karena setiap dusun terdapat RT 1- 4/5 maka data yang dimunculkan dalam Daftar Pemilih Sementara adalah seluruh penduduk didesa dengan RT 1 – 4/5 sementara keterangan dusun atau alamat lengkap tidak disebutkan di DPS baik yang manual maupun yang berasal dari CD program database.

Ini menimbulkan kesulitan yang luar biasa bagi PPS untuk mengadakan pemetaan penduduk. Data yang sudah hancur itu harus diseleksi satu persatu digabungkan dalam wilayah TPS masing-masing dusun. Bisa anda bayangkan bila Daftar Pemilih Sementara didesa saya sebesar 7.458 pemilih, apa yang dapat dilakukan PPS ?. Kalau saya bilang keteman-teman PPS, ibaratnya kita masuk hutan belantara tanpa tahu arah yang jelas. Mengolah DPS menjadi DPT seperti itu susahnya, tanpa tahu dimana harus memulainya.

Saya bersama teman-teman PPS memulai pekerjaan dari memilih metode pemetaan pemilih. Waktu itu dengan dua sumber tersebut (CD program dan cetak manual), kami memulai dari mengadakan pemutakhiran data awal dari CD program berbasis database sebelum data itu divalidasi oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (P2DP). Sebagian besar PPS desa lain memulai dengan cara memotong-motong DPS manual dan dikelompokkan berdasarkan pemetaan TPS. (CD program berbasis database itu sejak bulan Oktober 2008 tidak bisa dibuka dan diakses lagi meskipun dapat diakali dengan mensetting tanggal komputer mundur dikisaran bulan Mei – Juli 2008, sebelum program itu diinstalasikan).

Data pemilih ganda dengan CD program sangat mudah dideteksi dan dihilangkan. Bagi PPS yang menggunakan CD program berbasis database, maka tidak ada persoalan serius terhadap data pemilih ganda, karena softwarenya telah disiapkan untuk melacak pemilih ganda tersebut dan disediakan pula fasilitas untuk menghapuskannya. Tetapi bagi PPS yang menggunakan cara manual dengan memotong-motong DPS manual, maka pemilih ganda sangat sulit untuk dideteksi. Tapi mengklasifikasi pemilih berdasarkan wilayah TPS merupakan pekerjaan yang mustahil dilakukan dalam waktu cepat. Pasalnya, tidak ada orang yang mampu menghafal nama penduduk dalam satu desa yang sudah diacak-acak dusun dan RT/RWnya.

Untuk dapat menyelesaikan pekerjaan seperti itu, idealnya dibutuhkan waktu minimal 3 bulan. Sayang waktu yang disediakan tidak lebih hanya satu bulan saja. Sehingga saya bersama rekan-rekan PPS harus nglembur selama satu bulan dari jam 7 malam sampai jam 3 pagi. (Pak Kades bilang, mirip kerja rodi ala belanda dulu). Itupun masih berakibat, masih ada pemilih yang hilang dari DPT, pemilih yang memilih ditempat lain/dusun lain dan tidak dikenal oleh KPPS, orang meninggal dunia masih masuk dalam DPT, dan persoalan sejenis lainnya. Persoalan ini baru dapat diatasi, meskipun belum maksimal, pada pemutakhiran data untuk pemilu legislatif 2009 dan pemilu gubernur dan wakil gubernur jatim putaran 2.

Bagi saya justru membuat DPT pemilihan Kepala Desa (yang dilaksanakan didesa saya pada akhir tahun 2007) dengan dimulai pendataan dari bawah (door to door) jauh lebih mudah ketimbang mengolah data dari KPU yang hancur dan acak-acakan. Ditambah dengan sistem pemberian NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang membuat ruang gerak PPS sangat terbatas. Kita semua harus maklum bahwa sistem kependudukan dinegeri ini masih kacau balau, yang sayangnya dipaksakan digunakan dalam pemilu kali ini.
Sebenarnya, pemilihan gubernur dan wakil gubernur prop. Jatim putaran 1 justru masalah DPT paling banyak muncul, tapi entah kenapa, justru yang diramaikan adalah DPT putaran 2 yang telah mengalami banyak penyempurnaan dibandingkan dengan Pemilu gubernur dan wakil gubernur putaran 1. Kalau mau menggugat seharusnya adalah pembuat database Daftar pemilih sementara. Mereka yang membuat database Daftar Pemilih Sementara yang paling pertama harus dimintai pertanggung jawabannya.

Saya percaya pada rekan-rekan PPS diseluruh propinsi Jawa Timur, tidak memiliki kepentingan apapun terhadap penyelenggaraan Pemilu. Kalau toh ada kepentingan sebatas, bagaimana mensukseskan Pemilu dengan seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya. Bagi saya pribadi, dan barangkali PPS diseluruh Indonesia, tidak ada pengaruh sama sekali siapapun yang berkuasa atau yang menang dalam pemilu legislatif tahun 2009.

Lalu bagaimana dengan DPT Pemilu Legislatif tahun 2009 ?. Sumber datanya sama hanya mendapat tambahan dari pemilih pemula yang sudah memiliki hak memilih terhitung tanggal 9 April 2009. Maka bisa dipastikan, Daftar Pemilih Tetap di Propinsi Jawa Timur akan menimbulkan masalah yang besar dikemudian hari.
Karena itu, solusi untuk jawa timur harus diadakan pemutakhiran data kembali. Bila KPU pusat tetap ngotot tidak mau, maka akan banyak penduduk yang tidak terdaftar dan masih banyak juga pemilih ganda. Dilevel bawah, PPS hanya menunggu payung hukum untuk mengadakan pemutakhiran kembali. Bila payung hukum disediakan, berikan waktu 1 minggu saja, maka PPS akan dapat dengan cepat menyelesaikan itu. Pertanyaannya, maukah KPU diribeti dengan persoalan DPT atau biarkan saja pemilih ganda ada di DPT atau rakyat kehilangan hak pilihnya, hanya gara-gara tidak tercantum dalam DPT ?. Sebuah dosa negara terhadap rakyatnya, yaitu mencabut hak pilih seseorang hanya karena kesalahan administrasi belaka. Fatalnya, sistem administrasi kependudukan yang dibangun masih amburadul.

FENOMENA PONARI

FENOMENA PONARI :
DUKUN TIBAN DAN IRASIONALITAS MASYARAKAT KITA

Ketika itu pukul 01.30 dini hari (Sabtu, 14-02-2009), saat saya masih harus menyelesaikan editing video sebuah acara, (maklum sebagai guru, saya harus mencari cara lain untuk bertahan hidup yang lebih layak), 6 orang datang kerumah dengan diantar seorang
Sumber ANTV : Ponari di gendong

tetangga saya. Mereka adalah rombongan dari Palembang, Sumatera. (Nampaknya tetangga saya paham betul bahwa dijam itu saya belum tidur sebab masih mengerjakan editing video, yang tidak mungkin saya lakukan di jam-jam kerja). Mereka berombongan membawa mobil sendiri menurut mereka, mereka adalah kelompok transmigrasi asal Jawa diperkebunan kelapa sawit, yang sempat booming harga CPO ditahun 2008. Intinya, mereka meminta bantuan saya untuk mencetak foto dari HP. Ketika saya lihat merek Hp dan tipenya, yang saya perkirakan harganya diatas 6 jutaan, serta mobil yang dipakainya, saya berpikir mereka adalah sebagian kecil cerita kesuksesan transmigran asal Jawa yang memperoleh keberuntungan dengan kenaikan harga CPO dunia yang gila-gilaan di pertengahan tahun 2008. Yang jelas mereka bukanlah orang miskin !.
Saya tanya kepada mereka, untuk apa foto HP ?. Jawabnya sederhana ; berobat ke Ponari. Foto itu nanti dimasukkan dalam gelas kemudian diberi air dan dicelupi batu “ajaib” Ponari, kata mereka. Bukankah pengobatan Ponari ditutup oleh pihak berwenang ?. tanya saya lagi. Mereka menjawab bahwa besuk hari sabtu (14-02-2009) pengobatan akan dibuka kembali. Hari ini harus antre sebab menurut informasi keponakan yang sedang ada di Jombang bahwa akan ada rombongan sekitar 4 ribu orang dari Malaysia yang akan berobat. Jadi sebelum jam 3 pagi sudah harus antre.
Sambil melakukan proses transfer bluethooth HP ke laptop sampai pada cetak selesai, saya berdialog dengan mer

Foto : "Antrian di rumah Ponari" (sumber : ANTV)

eka. Tentang alasan mereka berobat, dan saya mencoba memahami jalan pikiran mereka. Saya tetap pada sebuah sisi gelap yang sulit saya pahami ; bagaimana mungkin, orang mau menempuh perjalanan lebih dari 1.000 kilometer hanya untuk berobat pada sesuatu yang tidak logis dan masuk akal, sebuah batu, yang asal usulnya pun masih menyisakan pertanyaan ?. Apakah ini bentuk keputusasaan, kebodohan, atau irasionalitas masyarakat kita yang masih kuat ?.


PONARI : DUKUN TIBAN
Dukun “tiban” merupakan fenomena yang sering ditemui di masyarakat Jawa Timur dari jaman dulu hingga sekarang. Biasanya, dukun tiban kemunculannya tiba-tiba dan berlangsung tidak lama, ketika orang mulai menyadari bahwa kemampuan sebagai dukun diperoleh secara mendadak dan cerita kesuksesannya menyebar secepat pola penyebaran virus dan tak lama kemudian kemampuan itu menghilang seiring dengan perjalanan waktu. Maka saat itu, dukun tiban akan kehilangan daya magisnya dan ia menjadi masyarakat biasa tanpa kemampuan lebih.
Berbeda dengan dukun pada umumnya, dimana untuk mendapat status dukun harus menjalani berbagai ritual mistik atau persekutuan dengan alam gaib. Dukun tiban hanya membutuhkan sebuah keajaiban tanpa perlu “nglakoni” ritual apapun. Kata “tiban” berarti tiba-tiba menjadi sesuatu. Dukun tiban berarti seorang menjadi dukun secara tiba-tiba oleh sebuah kejadian.


Dalam pengertian orang jawa, Ponari adalah dukun tiban. Maka pada waktu yang tidak terlalu lama ia akan kembali seperti sedia kala. Seorang anak desa tanpa kemampuan supranatural lagi. Seorang anak desa yang ingin sekolah, bermain hujan-hujanan, layangan, mencari ikan disungai. Seorang anak desa yang memiliki impian-impian. Seorang anak keluarga miskin yang berjuang hidup dengan kemuliaan dan semangat yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka yang belum pernah merasakan arti kemiskinan sesungguhnya. Barangkali ini adalah takdir yang harus dijalani oleh siapapun yang menjadi “dukun tiban”.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan praktek perdukunan masih kuat dimasyarakat Jawa tradisional diantaranya ;
kemiskinan dan kebodohan
irasionalitas masyarakat jawa yang masih kuat
palayanan kesehatan yang masih mahal dan tidak terjangkau masyarakat miskin
Salah pemahaman terhadap konsep agama
Institusi pemerintah yang mempertahankan praktek perdukunan


Foto : Media penyembuhan PONARI (Sumber ANTV)

KEMISKINAN
Karena jarak desa saya dengan Megaluh Jombang, tempat tinggal Ponari tidak lebih berjarak 25 km maka beberapa orang yang sakit mencoba berobat kesana. Ada tiga orang tetangga dekat saya yang sakit dan berobat kesana, ketiganya telah meninggal dunia 3-5 hari yang lalu saat saya menulis artikel ini (Selasa, 17 Februari 2009). Mereka adalah pasien Ponari yang tidak mendapat akses perawatan kesehatan dirumah sakit karena miskin. Mereka telah meninggal dunia. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan Ponari. Ponari adalah sebuah fenomena yang mewakili keberadaan orang miskin.
Masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia umumnya berada dalam kondisi ekonomi piramida. Pada lapisan bawah, yang paling banyak adalah kelompok masyarakat miskin. Sedangkan pada posisi ekstrem, hanya sebagian kecil yang berada dipuncak piramida adalah kelompok elit yang secara ekonomi mapan. Kelompok terakhir ini terdiri dari pengusaha, para politisi (tentu saja para koruptor masuk dalam kelompok ini), artis, pejabat pemerintah.
Ironisnya, kelompok masyarakat miskin paling banyak berada didesa. Program pemerintah seperti BLT / Bantuan Langsung Tunai, proyek padat karya, PNPM Mandiri, Bantuan Operasional Sekolah, pemberian Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) dan berbagai program pedesaan lainnya, belum mampu mengubah struktur ekonomi piramida ini. Idealnya adalah struktur ekonomi piramida terbalik. Dimana masyarakat miskin jumlahnya lebih sedikit dari masyarakat kelompok yang mapan. Apa yang salah dengan pembangunan di negeri ini ?. Ada tiga pilar sebuah bangsa yang ingin melepaskan dari lingkaran kemiskinan yaitu kesehatan masyarakat yang terjamin, akses pendidikan bagi semua orang kejenjang yang lebih tinggi, adanya jaminan keamanan dari pemerintah. Sejauh mana pemerintah memperhatikan secara sangat serius terhadap ketiga pilar itu ?.
Ketika akses kesehatan tidak mudah diperoleh oleh orang miskin. Ada ungkapan sinis, “jangan sakit bila jadi orang miskin”. Meskipun tidak semua orang yang berobat ke Ponari adalah orang miskin, paling tidak mereka yang miskin jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang secara ekonomi mampu.
Sementara disisi lain, Pemerintah Jawa Timur, misalnya ditahun 2008 sampai awal 2009, telah menghabiskan anggaran lebih dari 1 trilyun rupiah hanya untuk sebuah item pembangunan yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Hermawan Sulistyo bahkan menyebut angka sekitar 2 trilyun rupiah lebih, uang dihambur-hamburkan untuk proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang melalui 3 tahapan pemilihan. Sedangkan PAD Jawa Timur hanya 5 trilyun. Jadi hampir separoh anggaran dibuang untuk sebuah demokrasi yang belum matang. Yang kalah tetap saja ngotot tidak mau mengakui kekalahannya. Untungnya, masyarakat Jawa Timur jauh lebih matang dalam berdemokrasi ketimbang para politisinya itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah pergulatan segelintir politisi yang memperebutkan kursi orang nomor satu di jawa timur, tidak sampai ke akar rumput. Kata orang-orang didesa saya yang mengomentari pergulatan Pilgub Jatim 2008. “Mosok rek, kalah karo wong ndeso Damarwulan. Neng kene pilihan lurah sing calone 8 ora ono sing ngotot njaluk menang. Sing kalah sakolo sumeleh. La kok, Cabug jatim kok eker-ekeran njaluk menang. Padahal wonge lak pinter-pinter, sugih bondo, Sarjana pisan. Duwit sing gae pilihan gubernur iku lak duwite rakyat. Ora duwite mbahmu !”.


Dok. PPS Damarwulan "Pilkada Jatim 1" Dok. PPS Damarwulan Pilkada 1 Jatim

Bisa dibayangkan seandainya separoh uang yang dipakai pemilihan gubernur digunakan untuk memelihara dan membiayai kesehatan masyarakat, barangkali tidak ada cerita ; orang sakit tidak mampu berobat kerumah sakit. Barangkali praktek-praktek dukun tiban akan berhenti karena kehilangan daya magnetnya.
Disebabkan yang masih menyuburkan praktek perdukunan adalah masyarakat miskin, maka upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan melalui perencanaan pembangunan yang matang dengan disertai visi dan misi bangsa yang kuat, kemana arah bangsa ini mau dibawa ?. Sayangnya, negeri ini tidak mempunyai pemimpin yang memiliki visi dan misi yang kuat terhadap arah masa depan bangsa ini. Dalam jangka panjang, salah satu yang dapat mencabut kemiskinan dari belenggu masyarakat adalah dengan memberi kesempatan pendidikan yang tinggi pada semua lapisan masyarakat. Pendidikan yang tinggi akan mampu melepaskan dari jeratan kemiskinan. Inilah sebabnya, India, negara yang notebene memiliki kesamaan dalam kompleksitas permasalahan dengan negara kita, mampu menjadi “macan Asia” dengan tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 9 %. Sebuah angka yang sangat fantastis bagi negara yang berkembang. Dari Presiden sampai lembaga peradilan di Negeri itu memiliki visi yang kuat untuk membawa masyarakatnya kearah pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat putus sekolah harus ditekan serendah mungkin khususnya ditingkat pendidikan dasar. Menurut Profesor Jamia Millia Islamia Ny Kum Kum Dewan dari India : Bila anak putus sekolah di kelas empat atau lima , apa yang bisa diperbuat untuk masa depannya?”.



IRASIONALITAS MASYARAKAT
Bawaan dasar masyarakat tradisional adalah konsep hidup yang dilingkupi irasionalitas. Kebalikannya dengan masyarakat modern yang menjunjung tinggi rasionalitas dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan, masyarakat tradisional menggunakan cara-cara yang tidak masuk akal. Ketika mereka mengalami kesulitan hidup atau masalah, mereka lebih suka menggunakan media dukun, kyai, pendeta, jimat, batu-batu, menyembah kuburan dll, untuk memecahkan masalahnya.
Ingat sebuah iklan di Televisi “anda tidak cocok kerja di air, anda cocoknya kerja jadi pedagang !”. Iklan premium call ini laris manis. Larisnya iklan premium call di Televisi yang menawarkan berbagai metode perdukunan untuk membantu seseorang menunjukkan bahwa masih kuat sekali pengaruh perdukunan dimasyarakat.
Masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua sisi yang tidak berimbang. Sisi terbesar adalah masyarakat irasional yang diwakili oleh kelompok miskin, berpendidikan rendah atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan, akses ke birokrasi sangat lemah.
Sisi terkecil masyarakat rasional diwakili kelompok masyarakat berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan yang layak. Kelompok terakhir inilah yang selama ini mampu menikmati semua hasil pembangunan dinegeri kita. Bisa menggunakan mobil pribadi dengan bahan bakar yang masih disubsidi pemerintah. Menikmati penghasilan dari pajak yang dipungut bahkan sampai pada rakyat kecil. Sekalipun mereka tidak pantas mendapat subsidi, toh, kelompok ini mampu menekan pemerintah yang berkuasa untuk tetap memberi mereka fasilitas subsidi bahan bakar. Meskipun mereka jumlahnya tidak besar, merekalah yang mengatur negeri ini. Ketika harga beras melonjak tinggi dipasaran internasional, mereka menuntut untuk diturunkan. Padahal harga beras yang tinggi, meningkatkan daya beli masyarakat pedesaan yang mayoritas petani miskin. Tapi ketika harga beras sangat rendah, mereka diam saja. Ketika bensin naik, kelompok yang paling lantang menyuarakan penurunan harga BBM adalah mereka. Kelompok kecil ini, memang menguasai hampir seluruh denyut nadi kehidupan Indonesia. Sayangnya, mereka hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Contohnya, ketika masyarakat miskin mendapat BLT yang jumlahnya cuman 200 ribu sebulan, maka berbagai hujatan ditimpakan kepada masyarakat miskin. Yang menjadikan masyarakat pemalas, peminta-minta, tidak mendidik dan berbagai hujatan lain ditimpakan kepada kelompok miskin. Tapi inilah Indonesia. Negeri yang kita cintai. Negeri dimana koruptor masih dapat enak menikmati hasilnya dan membuat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Indonesia dibuat kewalahan. Jarene wong jowo “ndase ditugel, buntute isih nggolek urip dhewe-dhewe”.