TNI DAN POLISI HARUS BERSATU MELAWAN TERORISME

TNI DAN POLISI HARUS BERSATU MELAWAN TERORISME


Melalui proses heroic seperti di film-film, Densus 88 POLRI akhirnya melumpuhkan dan menembak mati seorang teroris di temanggung Jawa Tengah, yang hari ini diumumkan oleh Mabes Polri sebagai IBROHIM, penata bunga di Hotel JW Marriot. Meskipun saat penyergapan yang dilakukan Densus 88 beredar kabar bahwa yang disergap adalah Noordin M. Top. Keberhasilan lain adalah operasi di Jati Asih Bekasi Jawa Barat dalam waktu yang bersamaan dengan menembak mati 2 orang teroris.
Sebuah prestasi yang perlu mendapat apresiasi dari masyarakat umum, meskipun gembong teroris, Noordin M. Top belum juga tertangkap. Perang melawan terorisme adalah perang yang panjang. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memburu Osama Bin Laden di Afganistan, dengan waktu yang panjang dan biaya yang super besar, toh hasilnya sampai hari ini belum juga tertangkap. Osama Bin Laden masih juga mampu mengendalikan seluruh jaringan Al Qaidah di seluruh dunia. Malah yang banyak terbunuh adalah rakyat biasa, anak-anak dan wanita.
Prestasi dari pasukan densus 88 sebenarnya akan lebih optimal jika mampu berkolaborasi dengan TNI khususnya angkatan Darat. TNI angkatan Darat memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam memburu dan mengejar teroris. Mulai dari pembajakan WOYLA, operasi intelejen di malaysia pada saat konflik dengan malaysia, pengemboman gereja di Malang, Pengeboman Borobudur sampai perlawanan Nursidi di Lampung. Hanya mungkin aturan-aturan yang berubah sejak reformasi membuat TNI terpinggirkan dan tidak memiliki peran yang berarti dalam pengamanan dalam negeri. Reformasi telah membuat TNI kembali ke Barak dan tidak memiliki kekuatan dalam masyarakat. Sedangkan Densus 88 merupakan sebuah organisasi yang relatif baru dan sedang mencari bentuk. Akibatnya, potensi yang luar biasa yang dimiliki TNI tidak dipakai. Seluruh pengamanan dalam negeri menjadi tanggung jawab Polisi. Sehingga polisi memiliki overload tanggung jawab. Dari nangkap maling sampai ngurusi terorisme.
TNI memiliki jaringan intelejen sampai tingkat kecamatan dan desa, bahkan diera Soeharto, TNI mampu menyusup kehampir semua organisasi kemasyarakatan. Contoh operasi intelejen yang sukses adalah Operasi penumpasan G 30 S PKI seperti yang terjadi di Kediri, dilakukan oleh Ansor/banser – sebuah organisasi kepemudaan milik NU berhadap-hadapan langsung dengan orang-orang PKI. TNI tidak terlibat secara fisik tapi mampu mengkondisikan perlawanan rakyat melalui organisasi tersebut.
Disamping itu TNI angkatan Darat memiliki kemampuan intelejen yang tidak diragukan lagi di jaman Orde Baru. Meskipun terkadang mencederai kebebasan berpendapat, toh operasi intelejen yang dilakukan TNI waktu itu, paling tidak, memberikan rasa aman yang luar biasa bagi rakyat.
Karena itu, Presiden SBY telah mengintruksikan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Namun, itu akan menjadi kendala jika TNI tidak mendapat dukungan yang kuat di Parlemen dalam kerangka memperluas tugas dan tanggung jawab TNI. Persoalannya, apakah penggabungan densus 88 dan TNI akan berhasil efektif. Ini sangat tergantung pada konsensus rakyat dan parlemen. Pengalaman pahit TNI di era Reformasi, barangkali membuat TNI lebih banyak menunggu ketimbang aktif melawan terorisme.
Sekarang, saatnya pemerintah, Parlemen dan dukungan rakyat diperlukan untuk menggabungkan dua kekuatan besar dalam mengamankan negeri yang kita cintai ini. TNI memiliki sejarah yang panjang melawan terorisme bila digabungkan dengan Densus 88 akan menjadikan organisasi itu sangat kuat, berwibawa dan akan ditakuti oleh para teroris yang masih berkeliaran di Indonesia.

MENGENANG MBAH SURIP DAN WS RENDRA

DUNIA KESENIAN ; KEMISKINAN, GLAMOUR DAN KEPOPULERAN

“Sekali berarti sesudah itu mati” (Chairil Anwar : Deru campur Debu). Barangkali puisi Chairil Anwar itu mampu menggambarkan perjuangan hidup sejati dari seorang mbah Surip. Tidak ada seorang biasa, rakyat jelata, yang mampu menarik simpati begitu banyak masyarakat indonesia, selain mbah Surip. Daya pikatnya justru terletak pada kesederhanaan, ketawanya dan kepolosannya dalam menyikapi kehidupan. Mbah Surip sebagai gambaran seniman sejati, yang hidup diantara himpitan raksasa ekonomi yang siap menelan dan menelanjangi siapa-pun yang tak sanggup bertahan di ibukota. Hasil yang ia capai selama 2 bulan terakhir adalah proses perjalanan panjang selama lebih dari 20 tahun.
Saya mengikuti prosesi pemakaman Mbah Surip melalui siaran televisi. Dari awal hingga akhir. Saya sempat bertanya dalam hati, Lho mana WS Rendra ?, Ia tuan rumah. Prosesi pemakaman Mbah Surip di bengkel Theater miliknya WS Rendra, tapi ia tidak muncul. Apa beliau sakit lagi ?. Sebab sebelumnya di TV juga pernah dikabarkan WS Rendra terserang penyakit Jantung, itupun sekitar bulan Juni yang lalu.
Ternyata Malam ini, saat saya menulis artikel tentang Mbah Surip, Ditelevisi rumah terdengar Breaking News. WS Rendra meninggal dunia menyusul Mbah Surip. Beliau meninggal dunia pukul 21.30 WIB tanggal 6 Agustus 2009. Innalilahi wa innailaihi rojiun.

DUNIA KESENIAN SAYA SEMASA MAHASISWA

Saat saya menjadi mahasiswa di IKIP Surabaya, dunia sastra saya coba geluti. Entah kenapa saya tertarik pada sastra khususnya puisi. Padahal saya tidak sedang kuliah di bidang sastra. Saya berjuang mati-matian membuat puisi mungkin karena kemiskinan yang mendera hidup saya. Bahkan sampai pernah saya tidak tidur 2 hari 2 malam untuk melahirkan sebuah puisi. Ketika puisi jadi, saya jual ke koran, ternyata nggak laku juga. Waktu itu, sastra memiliki ruang yang cukup disetiap koran baik terbitan surabaya maupun Jakarta. Paling banter dimuat di koran lokal dan itupun gratis, tidak ada bayarannya. Saya ingat hanya sekali saya mendapat bayaran puisi di Harian Suara Karya, itupun tidak seberapa. Yang paling menjadi langganan puisi saya hanyalah koran kampus “Gema”. Justru tulisan-tulisan yang lain yang terkadang laku dijual di koran. Di IKIP Surabaya, bertebaran penyair dan sastrawan muda yang bergelut mencari identitas diri. Mungkin karena pengaruh dari beberapa dosen IKIP Surabaya waktu itu adalah sastrawan seperti Prof. Budi Darma, Wawan Setiawan, Alm. Prof. Suripan Sadi Hutomo.
Saat saya banyak belajar puisi secara otodidak, saya mengenal karya-karya WS Rendra. Nama yang cukup disegani dikalangan penyair di akhir tahun 1980-an. Disamping waktu itu, nama-nama lain yang menguasai dunia kepenyairan di Indonesia seperti Sutardji Calsum Bahri, Subagyo Sastro Wardoyo, MH. Ainun Najib dll. Bacaan wajib yang ingin mengenal sastra adalah majalah HORISON, majalah kalangan sastrawan pimpinan HB Jasin. Saya biasanya membaca diperpustakaan, karena tidak mampu membelinya. Semua penyair pasti mengenal WS Rendra, karya-karyanya cenderung kritik sosial sering dianggap penganut paham sosialisme. Sebuah kata yang paling ditabukan diera Soeharto. Biasanya dihubung-hubungkan dengan LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) diera tahun 1960-an yang berafiliasi ke PKI. Sehingga WS Rendra barangkali penyair yang paling sering berurusan dengan pihak berwajib.
Dunia kepenyairan adalah dunia kemiskinan. Tidak ada penyair di Indonesia yang akan mapan secara ekonomi. Kalau kita pelajari sejarah hidup Chairil Anwar, penyair yang mati muda dengan karya yang luar biasa, maka kebesaran nama dan karyanya tidak sebanding dengan kondisi ekonominya yang sampai meninggal dunia, miskin dalam arti sesungguhnya. Tidak seperti kesenian musik maupun seni rupa dan sekarang dunia seni peran, sastrawan khususnya penyair tidak memiliki ruang yang cukup untuk hidup dari berkesenian. Paling sering diminta bantuan teman membuatkan puisi untuk memikat hati pacar yang ditaksirnya. Biasanya bayarannya adalah sebungkus rokok. Dengan berkembangnya teknologi digital, sekarang banyak komunitas pencinta puisi bertebaran di internet. Dikomunitas kembang mawar, dengan ikon, membuat puisi itu mudah, anda dapat bergabung dan menjadi bagian dari mereka.
Sehingga ketika saya lulus kuliah dan mulai bekerja menjadi guru, dunia sastra saya tinggalkan dan tenggelam dalam kesibukan administratif sebagai guru. Sekarang kalau saya diminta menulis puisi, susahnya setengah mati. Maka blog ini sebenarnya adalah proyeksi kerinduan pada dunia tulis menulis. Disamping alasan lain, saya menemukan kesenangan lain yaitu berupa puisi visual melalui video. Kalau anda berkunjung ke Youtube maka disana anda akan menemukan sebagian kecil dari alasan lain saya meninggalkan sastra. Yang pasti, saya teringat perkataan Prof. Budi Darma, banyak penyair kampus, yang akhirnya kehabisan nafas dan meninggalkan dunia sastra. Saya adalah salah satunya.
Karena kesukaan pada dunia puisi, biasanya, dalam video-video saya (kegiatan lembaga, sekolah, organisasi) sering saya insert-kan puisi-puisi yang biasanya saya ambil dari TV. Dari karyanya WS Rendra, KH. Mustofa Bisri, Winarno Suratman, bahkan puisinya SBY di HUT RI tahun lalu maupun Sutrisno Bachir sering saya bajak untuk diinsert-kan di video editan saya. Yang terakhir saya gunakan karya WS Rendra untuk insert closing video “Masa Orientasi Siswa Baru SMA Kandangan” bulan Juli lalu.

MBAH SURIP DAN WS RENDRA

Tentu saja kita tidak dapat membandingkan antara Mbah Surip dengan WS Rendra. Pertama, karena Mbah Surip memulai dunia kesenian baru dipertengan tahun 80-an. Sedangkan waktu itu, Nama WS Rendra sudah sangat dikenal dikalangan seniman. WS. Rendra telah menjadi ikon penyair angkatan tahun 1960. Semasa menjadi mahasiswa WS Rendra telah melahirkan karya-karya yang diakui bahkan oleh HB Jasin, kritikus sastra yang paling berpengaruh dijamannya. Kedua, Mbah Surip memulai hidup dengan menggelandang selama dua puluh tahun lebih untuk dapat mencapai puncak perjuangan selama 2 bulan saja. WS Rendra melalui dunia seni peran dan sastra telah mampu hidup mapan di Jakarta – satu diantara ribuan sastrawan yang berhasil.
WS Rendra seperti juga alm. Hari Rusli, sangat peduli pada nasib seniman-seniman yang masih terpinggirkan dan belum dikenal dimasyarakat. Saya kira, kebanyakan seniman memiliki naluri yang sama terhadap sesamanya yang belum beruntung. Dibengkel Teater, banyak seniman numpang hidup. Apakah sekedar meminta jatah makan atau benar-benar ingin bergelut hidup didunia kesenian. Bahkan rumah MH Ainun Najib di Jakarta juga sangat terbuka terhadap seniman-seniman yang masih kere dan belum mampu menghasilkan sesuatu untuk menopang hidupnya.
Mbah Surip adalah sosok seniman sejati, yang hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat lain. Dan kebanyakan seniman memang pernah menjalani hidup seperti itu. Yang membedakan mbah surip dengan lainnya adalah kepolosan, ketulusan dan kesederhanaan. Perjuangan hidup yang luar biasa, dan tidak setiap orang mampu menjalaninya apalagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Melihat sosoknya yang penuh tawa, siapapun pasti akan betah berteman dengan mbah surip. Tentu saja, saya hanya sekedar bersimpati. Perjuangan sejati dan pergumulan hidup mbah surip selama 20 tahun sebagai seniman, tidak ada yang tahu kecuali mereka yang dekat yaitu komunitas kesenian di Jakarta yang pernah didatangi Mbah Surip.
Yang dapat saya petik dari perjalanan hidup mbah Surip adalah ketekunan dalam menjalani apa yang diyakini untuk menjadi hidup yang berarti bagi orang lain. Maka mbah surip telah memenuhi tugas sebagai manusia “Sekali berarti Sesudah Itu Mati”.
Selamat Jalan Mbah Surip Selamat Jalan WS Rendra..... Dunia berkesenian telah kehilangan seniman sejati. Yang satu penuh canda tawa, gimbal, semaunya. Yang satu serius, intelektual, berteman dengan banyak pejabat maupun mantan pejabat. Keduanya kembali kehadirat-Nya. Barangkali disana engkau dapat melepas lelahmu... tidak lagi “ampun pemerintah”.