MEWAHNYA DAGING QURBAN




Sangat kontras dalam pembagian daging qurban antara masyarakat disekitar desa saya dengan orang-orang perkotaan. Orang-orang kota berebut, berdesak-desakan, saling injak, saling himpit hanya untuk mendapatkan jatah daging qurban. Bahkan masjid Istiqlal, Jakarta, sebagai simbol Islam di Indonesia tidak lepas dari perilaku itu. Anehnya, Istiqlal yang berkali-kali bermasalah dalam pembagian daging Qurban tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu. Tetap saja pola-pola lama; pengumpulan massa disatu tempat, lalu tak terkendali, liar dan tidak mencerminkan nilai-nilai islami sama sekali. Atau mungkin, pengelola masjid Istiqlal, hendak mengirim pesan kepada orang islam di Indonesia, bahwa inilah umat islam, yang masih miskin, rela bertaruh nyawa untuk daging qurban ½ kg. atau mungkin saja pengelolanya yang konyol. Takmirnya yang konyol !.......


Hal itu tidak akan anda temui jika anda berjalan-jalan didesa saya atau dikebanyakan desa lain. masyarakat desa memiliki kearifan lokal dalam hal pembagian daging qurban. Orang desa hanya menunggu dirumahnya, apakah oleh panitia penyembelihan hewan qurban memberi jatah daging qurban atau tidak, sangat tergantung pada penilaian terhadap tingkat sosial ekonomi seseorang. Mereka tidak mengenal data base orang miskin. Karena kemiskinan sangat mudah nyata diukur dari penglihatan dan pola hidup sehari-hari. Meski dimasjid sekitar saya sudah tradisi menjadi tempat penyembelihan hewan qurban, orang-orang desa lainnya memilih menyembelih sendiri hewan kurbannya atau di mushola-mushola sekitar rumah, sehingga distribusi daging kurban lebih merata. Pembagian daging kurban tidak mengenal istilah penggunaan kupon. Bahkan untuk zakatpun, penggunaan kupon menimbulkan banyak masalah. Alih-alih menggunakan kupon, panitia mengedarkan sendiri dari rumah kerumah daging kurban tersebut. Ini telah berjalan puluhan tahun. Sejak sebelum saya lahir hingga kini. Ini lebih manusiawi dan menghormati orang yang diberi daging. Memanusiakan orang miskin adalah esensi pemahaman saya terhadap islam.


Bagi saya dan kebanyakan orang desa, yang membedakan manusia satu dengan yang lain hanyalah baju sosial. Baju sosial tidak memiliki makna apapun dimata keyakinan keagamaan saya bila sudah berinteraksi dengan Tuhan. Status seseorang hanya diukur dari ketaqwaan bukan dari baju sosial. Disamping itu Orang desa masih memegang teguh nilai moralitas, bahwa meminta adalah sesuatu tindakan yang sangat hina dan rendah. Dalam hal qurban maupun zakat, orang desa lebih santun ketimbang orang-orang perkotaan. Semiskin apapun anda, bila anda hidup di desa maka akan sangat malu dan hina jika meminta jatah daging kurban maupun zakat, meskipun itu merupakan hak anda sebagai orang miskin.


Meskipun demikian, antara orang desa dan kota memiliki kesamaan bahwa daging sapi atau daging kambing adalah sebuah kemewahan. Hanya orang kaya raya minimal kelompok menengah saja yang mampu mengkonsumsi daging sapi untuk kebutuhan sehari-hari. Barangkali, konsumsi daging orang desa paling rendah ketimbang orang perkotaan. Mereka makan daging sapi atau kambing kalau hari raya idul adha atau ketika ada hajatan tetangganya; pernikahan, kithanan atau kenduri. Atau jika keinginan terhadap daging sapi dan kambing tak tertahankan, mereka membeli sesekali di penjual kaki lima ; soto, rawon atau sate kambing. Itupun jarang sekali. Kebanyakan hanya menunggu saat hari raya idul adha atau saat kenduri / hajatan saja. Memasak daging sapi juga merupakan kemewahan tersendiri bagi orang kebanyakan. Ini juga berlaku daerah-daerah sentra peternakan. Para peternak, hanyalah kuli untuk membesarkan sapi atau kambing, ketika sudah besar dijual dan yang mengkonsumsi adalah orang kaya atau kalau orang biasa, para penjual makanan kaki lima. Peternaknya hanya makan tahu tempe atau ayam potong atau ayam peliharaan, jika sangat menginginkan daging.


Sementara, ritual-ritual agama seperti zakat dan Qurban hewan bergeser dari penanaman nilai-nilai keikhlasan, melepas kecintaan yang berlebihan terhadap harta benda, berempati pada sesama yang kurang beruntung, dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia itu sendiri bergeser menjadi ajang entertainment televisi; perilaku orang miskin yang saling sikut, saling injak, saling tendang bahkan hanya untuk 2 ons daging qurban sekalipun. Tapi jangan salahkan rakyat miskin !. yang salah adalah mereka yang diberi amanah untuk menyembelih dan mendistribusikan daging qurban. Anehnya dikota-kota, mereka, para panitia, bukanlah orang-orang bodoh, melainkan orang-orang berpendidikan, memiliki kedalaman pengetahuan tentang Islam dan esensinya serta berkecukupan.


Ini adalah ironi sebuah negara yang saat ini dengan bangga, oleh para pengamat ekonomi, sebagai negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi berdampingan dengan China dan India. Bahkan, tak kurang Barack Obama, Presiden Amerika Serikat, kemarin, ke Indonesia dalam rangka misi dagang, menawarkan produk-produk amerika pada masyarakat kelas menengah yang tumbuh sangat cepat. Pada tataran masyarakat kecil seperti saya dan kebanyakan orang yang tinggal didesa maupun barangkali sebagian orang kota, angka-angka pertumbuhan ekonomi tidaklah dimengerti sama sekali. Bahkan juga tidak memiliki makna apapun. Apalah arti pertumbuhan ekonomi 5 %, 6 %, 7 % bagi kebanyakan orang ?. dalam pemahaman awam, ekonomi tumbuh, jika anda memiliki kemampuan membeli kebutuhan primer dan sekunder. Semakin tinggi kemampuan kita memenuhi kebutuhan sekunder maka semakin tumbuh ekonomi kita. Kalau saja urusan makan daging sapi/kambing saja masih merupakan kemewahan bagi kebanyakan orang Indonesia, apakah bisa dibilang pertumbuhan ekonomi memiliki makna bagi kita ?.


Pemerintah memiliki kewajiban pada rakyatnya untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan mereka. Bila kemampuan ini tidak dimiliki, maka keberadaan sebuah pemerintahan tidak juga bermakna, dalam kata lain, ada atau tidak ada pemerintahan, sama saja. Pemerintah kita sampai hari ini, lebih banyak "ngerepoti" rakyatnya ketimbang menyejahterakan. Sesuatu yang lazim bagi pemimpin negeri ini, untuk mengobral janji ketika kampanye presiden, gubernur, bupati. Janji yang cepat dilupakan baik oleh pejabat itu sendiri maupun oleh rakyatnya. Rakyat indonesia memang hebat, sesering apapun mereka dibohongi pemimpinnya, sesering itu pula mereka memaafkan dan melupakannya. Saya terkadang membayangkan, andai saja seluruh rakyat Indonesia sudah sedemikian membenci pemerintahannya dan tidak mau mengikuti semua proses demokrasi yang berjalan, habislah negara kita. Kalau saja 90 persen rakyat kita golput, tidak mau mencoblos dalam berbagai pemilu apakah pemilu legislatif, presiden, gubernur atau bupati/walikota. sisanya 10 persen adalah para politisi dan keluarganya, apa yang akan terjadi. Tapi percayalah, rakyat kita lebih bijaksana, jujur dan sangat toleran terhadap perilaku menyakitkan ketimbang para politisi disenayan, para calon presiden, calon gubernur, calon bupati/walikota. Kalau toh, berbeda adalah para pejabat dan politisi, lebih sering makan daging sapi ketimbang rakyatnya yang hanya menunggu satu tahun sekali. Itupun dengan harus bermandikan peluh dan air mata. Tapi rakyat kita memiliki kesabaran yang luar biasa………..