SRI MULYANI : SATU LAGI MUTIARA INDONESIA YANG DIAMBIL ORANG LAIN


 

    Ketidakmampuan menghargai jasa orang lain adalah ciri bangsa ini. Ketika kita dikagetkan dengan keputusan Sri Mulyani untuk hengkang dari pengabdiannya di Indonesia sebagai menteri keuangan dan memilih Bank Dunia. Ini mengingatkan saya pada nasib tragis orang seperti BJ Habibie. Setelah BJ. Habibie hengkang ke Jerman karena di 'kuyo-kuyo' DPR dan MPR, kini giliran Sri Mulyani yang diambil Bank Dunia dan hengkang ke Amerika Serikat. Meski sedikit berbeda, keduanya sama-sama dikecewakan oleh DPR. kecewa bahwa negeri ini tidak pernah mau menghargai prestasi dan kecerdasan seseorang.

Ketika Negara-negara lain berjatuhan dan tumbang karena gempuran krisis ditahun 2008 -2009, Sri Mulyani bersama Boediono mati matian menahan gempuran itu dan mampu menjadikan Indonesia sebagai sedikit negara yang masih memiliki angka pertumbuhan positif. Sebuah prestasi luar biasa disaat fondasi ekonomi Indonesia masih rapuh dan gampang ambruk. Maka tak heran ketika Sri Mulyani mengundurkan diri dari jabatan menteri keuangan, pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergolak dan nyungsep turun sampai 3 %. Keputusan politik DPR tentang Skandal Bank Century saja tidak mampu menggoyahkan IHSG kita.

Saya kira, banyak rakyat kecil seperti saya yang merasa eman dengan hengkangnya Sri Mulyani. Rakyat yang pernah merasakan dampak krisis sesungguhnya ditahun 1998. Ketika membeli makanan dan pakaian saja susahnya setengah mati. Satu lagi mutiara Indonesia yang diambil orang lain. Diambil orang lain karena kita tidak mampu ngopeni dengan benar. Karena kita malah memandang mutiara itu sebagai lumpur pekat yang tidak bernilai. Sebuah penilaian yang berseberangan dengan orang lain, dengan Bank Dunia, yang memandang mutiara itu layak untuk dikagumi dan dihargai.

Saya jadi teringat talk shownya Oprah yang pernah mengungkap dampak krisis 2008 dimata rakyat amerika. Betapa banyak orang jatuh miskin, sehingga rumah saja sampai tidak punya. Betapa menyedihkan ketika mereka harus hidup ditenda-tenda karena rumahnya disita Bank akibat tidak sanggup membayar uang perumahan. Bahkan ada yang terpaksa mengais-ngais sisa makanan restoran karena saking melaratnya, sebuah kemiskinan yang tidak pernah terbayangkan bagi negara yang kaya raya itu. Sampai-sampai para pakar ekonomi keluarga di amerika menyarankan untuk life with a half "hidup dengan separuh". Kita bersyukur tidak mengalami kehancuran ekonomi seperti yang dirasakan mereka. Cukup pengalaman 1998 yang menyakitkan itu. Diakui atau tidak, ini adalah salah satu maha karya Sri Mulyani dan Boediono.

Tetapi kelakuan DPR kita yang memang sudah keterlaluan, dalam memandang kasus Bank Century menjadikan orang-orang jujur, integritasnya tidak diragukan lagi dan tulus seperti Sri Mulyani dan Boediono, menjadi bulan-bulanan di Gedung DPR. Hanya karena mereka berdua bukanlah politisi tetapi seorang teknokrat yang mumpuni dibidangnya, berdedikasi tinggi dan jujur. Persoalan perampokan bank (meminjam istilah Yusuf Kalla) bergeser menjadi persoalan politik (dan sekarang dipaksakan diseret ke ranah hukum) yang semua orang tahu, tidak ada kebenaran didunia politik, yang ada adalah kepentingan dan ambisi masing-masing anggota DPR atau partainya. Maka ketika Bank Dunia melamar Sri Mulyani untuk menjadi pejabat penting disana, tentu setiap orang yang mendapat perlakuan DPR seperti itu pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sri Mulyani. Buat apa capek-capek mikir Negara kalau toh hasilnya hanya ditelanjangi dan dituding sebagai maling. Dengan pembuktian yang sangat lemah. Pembuktian politik. Sebuah tudingan yang sangat menyakitkan bagi orang yang sungguh-sungguh mengabdikan diri pada bangsa ini. Yang akan dirugikan adalah bangsa Indonesia karena kehilangan arsitek ekonomi yang brilian sedangkan yang diuntungkan adalah bank dunia karena mampu membajak Sri Mulyani sebagai aset yang tak ternilai.

Nasionalis sejati sesungguhnya adalah ketika anda menjadi orang yang sangat dicari dan dibutuhkan dunia, anda akan memilih mengabdi pada bangsanya sendiri yang masih membutuhkan sentuhan tangan kemampuan anda. Nasionalis sejati
bukanlah
mereka yang dijalanan membakar-bakar foto-foto pejabat atau orang yang dibencinya, nasionalis sejati bukanlah orang yang bisanya talkshow di TV-TV mengkritik habis-habisan sebuah kebijakan tetapi ketika dipercaya mengelola negara nggak ada hasilnya (seperti Kwik Kian Gie, Fuad Bawazir, Rizal Ramli), nasionalis sejati bukanlah orang sekelas Susno Duaji yang membongkar aibnya sendiri justru bukan ketika berada dilingkaran kepolisian, bukan ketika menjadi orang yang memiliki kewenangan membongkar aib itu tetapi ketika kewenangan itu telah dirampas kembali oleh kepolisian. Nasionalis sejati selalu didasari pada keyakinan bahwa ketika bangsanya sendiri dapat tumbuh dan menjadi terhormat dimata dunia, anda menjadi bagian penting yang mewujudkan impian itu. Betapapun secara financial, anda tidak mendapat penghasilan yang layak sesuai kemampuan anda. Betapapun Negara lain atau dunia memberi gaji yang sangat menggiurkan. Saya kira itulah nasionalisme yang paling tinggi derajatnya. Persoalannya menjadi lain ketika anda dikecewakan oleh negeri yang anda besarkan dengan kesungguhan dan penuh resiko. Persoalan menjadi sangat personal ketika anda sebagai aset bangsa yang tak ternilai sangat ingin disingkirkan dan dibuang kekeranjang sampah oleh bangsanya sendiri, oleh DPR-nya sendiri.

Menghargai aset bangsa yang tidak ternilai itu dimulai dari menghargai semua orang yang memiliki jasa bagi tumbuh kembangnya bangsa kita. Mereka yang berprestasi haruslah mendapat tempat terhormat dinegeri kita. Para siswa yang setiap tahun memenangkan olimpiade ilmu Eksakta ditingkat dunia, para mahasiswa teknik yang memenangkan berbagai lomba internasional, para guru yang mampu mengembangkan model-model pembelajaran yang kreatif, para teknokrat yang berjasa membuat terobosan bagi bangsa ini, bahkan para pahlawan maupun janda pahlawan yang ikut berjasa mendirikan bangsa ini, haruslah dihargai dan bukan malah di "kuyo-kuyo"…………………….


 


 

    .