UJIAN NASIONAL OH UJIAN NASIONAL.....

Ketika anda menjadi guru di kelas 9 SMP atau kelas 12 SMA, maka anda bukan lagi seorang guru, anda hanyalah tukang mengajar. Sebagai seorang tukang, tugas anda hanyalah menyelesaikan bangunan materi pelajaran, tugas menilai apakah pekerjaan yang anda lakukan itu berhasil atau tidak itu tergantung mandornya yaitu pemerintah. Sebagian besar kewenangan anda telah dirampas oleh negara. Kewenangan menilai, kewenangan menentukan kelulusan siswa dan kewenangan menilai kepribadian siswa.
Melalui Ujian Nasional, kewenangan itu telah menjadi milik negara. Kita tidak lagi memiliki hak apapun terhadap kewenangan penilaian. Tentu saja penilaian model begini masih perlu diperdebatkan. Pertama, karena asumsi dasar yang dipakai pemerintah untuk menjalankan kurikulum 2006 adalah penilaian berbasis kelas. Sebuah sistem penilaian pendidikan yang tidak memperbolehkan penggunaan hukum distribusi kurve normal untuk mengukur keberhasilan belajar apalagi membandingkan anak dalam satu kelas sebab setiap anak adalah unik dan memiliki kecepatan belajar yang berbeda-beda. Alih-alih menggunakan hukum kurve normal, penilaian didasarkan pada kemampuan dan kecepatan masing masing siswa menyelesaikan suatu materi pelajaran.
Hukum kurve normal adalah hukum dimana setiap penilaian yang benar adalah penilaian yang mendekati bentuk gunung (baca : distribusi normal) dimana ada minimal tiga sisi yang harus ada. Sisi satu berisi anak-anak bodoh, rendah dan sampah sisi ekstremnya adalah anak-anak cerdas dan sisi tengahnya adalah anak-anak normal. Pengelompokan ini mampu mendistribusikan anak kedalam 2 katagori, lulus dan tidak lulus. Konstruksi soal ujian akan dianggap valid jika selalu ada anak yang tidak lulus dalam setiap ujian, ada anak yang lulus dan ada anak yang mencapai nilai tertinggi (nilai sempurna). Pembandingnya bisa satu kabupaten, satu propinsi atau satu pulau, satu negara sesuai dengan persyaratan-persyaratan ilmu psikometri. Inilah aplikasi hukum kurve normal yang dipakai dalam Ujian Nasional selama ini.
Kedua, Ujian Nasional telah bergeser fungsi dari sekedar alat ukur keberhasilan belajar siswa, menjadi satu-satunya alat penentu kelulusan siswa, alat ukur keberhasilan pendidikan suatu daerah, alat ukur kinerja guru dan kepala sekolah. Meskipun validitas dan reliabilitas alat ukurnya (baca; soal ujian nasional) masih mengundang banyak tanya. Toh, setiap daerah yang memiliki kelulusan rendah akan dianggap sebagai daerah yang pendidikannya tidak maju, rendah dan kurang berkualitas. Sedangkan daerah yang memiliki kelulusan tinggi dianggap sebagai daerah yang tingkat pendidikannya bagus, berkualitas dan maju.
Makanya tidak heran, jika dibulan-bulan seperti ini, mulai Gubernur, Bupati sampai walikota sibuk bergandengan tangan dengan kepala dinas pendidikannya untuk membujuk bahkan kalau perlu memaksa sekolah-sekolah mencapai kelulusan 100%. Kejadian tahun kemarin di kabupaten di Jawa Timur dimana ada kepala sekolah sampai tega mencuri naskah soal ujian nasional merupakan bentuk keterpaksaan karena hebatnya tekanan yang dialami oleh mereka (sebuah kontradiksi dari naluri dasar seorang pendidik yang mengutamakan kejujuran dan usaha yang rasional). Gengsi daerah ditentukan oleh kelulusan ujian nasionalnya. Tentu saja ini sudah keterlaluan. Pendidikan telah disederhanakan hanya pada tataran nilai yang dicapai dalam ujian nasional.
Ketiga, dampak psikologis ujian nasional sedemikian hebatnya, sehingga mulai orang tua, siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas, Bupati, walikota, gubernur dan seterusnya, mampu melahirkan kecemasan luar biasa terhadap apakah akan berhasil atau tidak dalam ujian nasional nanti. Setiap sekolah selalu menghabiskan energi, biaya yang besar, untuk mensukseskan ujian nasional. Mulai melaksanakan pelajaran tambahan untuk Ujian Nasional jauh-jauh hari, melaksanakan istighosah, doa bersama, bagi sekolah mapan; mendatangkan tokoh-tokoh motivator untuk membangkitkan semangat belajar anak. Sampai pada tindakan yang irasional dan bertentangan dengan dunia pendidikan seperti ada yang mencari dukun, atau kyai memberi jampi-jampi pada anak didiknya agar lulus semuanya.
Sementara pelajaran yang bukan diujikan secara nasional, tidak dipikirkan, dianggap angin lalu, asal jalan okelah kalau begitu.... Tidak ada hingar bingar seperti pelajaran ujian nasional.

Kelulusan siswa adalah sebuah proses penilaian yang panjang
Kelulusan siswa dalam sebuah mata pelajaran adalah melalui proses penilaian panjang dan beragam bentuknya. Dalam kurikulum 2006 ada banyak model-model penilaian yang dipakai ; penilaian unjuk kerja, penilaian proyek, penilaian tes tulis, portofolio, penilaian diri dsb. Model-model penilaian ini diakumulasikan oleh guru, diramu diolah dan dijadikan dasar untuk menentukan kelulusan siswa dalam semester itu. Proses yang panjang itu memberikan kesempatan pada peserta didik untuk terus menerus mengulang-ulang materi yang belum tuntas agar dapat dinyatakan lulus. Model penilaian ini dipakai pada siswa kelas 7,8 di SMP atau 10,11 di SMA. Pada akhir tahun pelajaran, maka hasil penilaian akademik dan non akademik (penilaian sikap dan kepribadian) akan dijadikan dasar menentukan kenaikan kelas. Ada siswa naik kelas dan ada yang harus tertinggal jika tidak sesuai kriteria kenaikan kelas. Adalah hal yang wajar................(maaf tulisannya disambung nanti.......)

0 comments:

Post a Comment