KEBENCIAN RAKYAT INDONESIA PADA MALAYSIA :PERANG ATAU DIPLOMASI ?

Dalam lima belas tahun terakhir, Malaysia telah menjadi sebuah negara tetangga yang sering menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia. Kemarahan begitu hebat, setelah rakyat Indonesia dicengangkan dengan diambilnya pulau Ligitan dan Sipadan, berbagai produk kebudayaan dicuri dan diklaim sebagai milik Malaysia, Ambalat terus di incar untuk dicaplok. Belum lagi kasus-kasus penganiayaan TKI di Malaysia yang terus bermunculan tiap waktu di Televisi. Ini adalah bom waktu, yang cepat atau lambat akan menimbulkan gerakan yang kuat dari rakyat untuk melawan Malaysia. Lihatlah di situs http://www.malingsia.com/ daftar kebencian orang-orang Indonesia terhadap Malaysia.
Logo Malingsia dikutip dari www.malingsia.com


Sumber kebencian rakyat Indonesia terhadap Malaysia dapat ditelusuri sejak Malaysia menyatakan merdeka. Presiden Soekarno, melihat bahwa Malaysia merupakan ancaman yang serius terhadap kedaulatan Indonesia. Maka slogan “ganyang Malaysia” menjadi sangat populer bagi rakyat Indonesia bahkan sampai hari ini. Setiap muncul permasalahan dengan Malaysia, slogan “ganyang Malaysia” selalu menjadi ikon dalam setiap gerakan rakyat.
Di Era Kepemimpinan Presiden Soeharto, dimana hubungan Indonesia – Malaysia begitu mesra, persoalan dengan Malaysia hampir tidak muncul. Pertama karena kuatnya pengaruh Soeharto di wilayah ASEAN. Kedua secara pribadi Soeharto, Mahathir Muhammad (Malaysia), Ferdinand Marcos (Philipina) serta Lee Kuan Yu (Singapura), memiliki kedekatan hubungan pribadi. Ketiga, secara ekonomi, Indonesia sebelum reformasi, merupakan macan Asia dengan tingkat pertumbuhan diatas 7 % tiap tahunnya. Kekuatan ekonomi Indonesia membuat siapapun berpikir dua kali untuk bermasalah dengan Indonesia. Dengan kekuatan ekonomi, dominasi kekuatan militer dan militansi rakyat terhadap negaranya, maka tidak ada negara-negara tetangga yang berani usil.
Sayangnya, ketika hantaman krisis ekonomi tahun 1996 menghajar Indonesia dan hampir semua negara di Asia, hanya Malaysia, China dan Thailand yang bertahan dari hantaman krisis ekonomi. Indonesia terjun bebas ketitik nadir. Krisis itu berakibat fatal yaitu kehancuran ekonomi – diperparah dengan pengaruh IMF- sekaligus porak porandanya kondisi politik didalam negeri. Pergulatan politik era reformasi di dalam negeri, membuat Indonesia semakin lemah dimata internasional. Kekuatan diplomasinya rendah. Pemerintahan produk reformasi mulai dari BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono, sangat lemah dalam diplomasi internasional. Indonesia tidak memiliki lagi diplomat – seperti diera Soeharto - sekelas Muchtar Kusuma Atmaja atau Ali Alatas yang mampu meredam gejolak internasional di forum PBB berkaitan dengan masalah timor timur misalnya.
Pengusiran besar-besar TKI Indonesia dari Malaysia dan direbutnya Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia diera kepemimpinan Megawati mengingatkan kembali sejarah tentang “ganyang Malaysia”. Sejak saat itu, berbagai kasus penganiayaan TKI, blok ambalat, kasus Manohara, pencurian kebudayaan Indonesia seperti batik, wayang, lagu, angklung, reog ponorogo dan yang terakhir tari Pendet dari Bali serta plesetan lagu Indonesia Raya. Munculnya silih berganti dan terus menerus memancing emosi rakyat Indonesia.

PERANG ATAU DIPLOMASI ?

Ketika kasus Ambalat menguat, terbentuklah berbagai laskar perlawanan rakyat di Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan, yang siap berhadap-hadapan dengan tentara diraja Malaysia. Persoalan yang terus menerus mengusik rasa nasionalisme tersebut, bisa jadi akan menjadi akar perang terbuka Indonesia – Malaysia. Bahkan Panglima TNI telah menyatakan bahwa tentaranya siap untuk perang.
Bila benar terjadi perang maka Indonesia memiliki dua kekuatan yang sulit ditandingi oleh Malaysia. Pertama, TNI kita telah memiliki sejarah panjang dalam berbagai pertempuran baik melawan Penjajahan Belanda maupun pemberontakan didalam negeri seperti DI/TII di Jawa, PRRI/Permesta di Sumatera, RMS di Sulawesi, GAM di Aceh, OPM di Irian Jaya, Operasi Seroja di Timor Timur dll. Tentara Indonesia telah ditempa oleh sejarah yang panjang dengan pahit getirnya perang. Meski dengan persenjataan yang minim, tentara Indonesia telah teruji dalam berbagai pertempuran.
Faktor kedua adalah militansi rakyat. Sejarah Indonesia dibangun oleh kekuatan rakyat. Ketika Indonesia merdeka justru belum memiliki tentara. Perlawanan dibangun dari kekuatan rakyat Laskar-laskar perlawanan rakyat akan bermunculan seperti kata Soekarno “setiap 10 tentara di raja Malaysia masuk ke Indonesia, seratus orang Indonesia akan melawannya. Seratus tentara Malaysia masuk ke Indonesia, seribu rakyat akan melawannya”. Kekuatan ini tidak dimiliki oleh Malaysia. Bahkan, 2 juta TKI Indonesia di Malaysia saat ini, bila perang terbuka terjadi, akan menjadi kekuatan penghancur terhadap Malaysia yang sangat dahsyat. Jangan anggap remeh TKI. Mereka akan menjadi kekuatan yang luar biasa dan tidak terpikirkan oleh Malaysia. Tentu dengan sedikit sentuhan operasi Intelejen, maka Malaysia akan kewalahan menghadapi mereka. Mereka bisa menjadi bara api dalam sekam yang akan membakar apa saja di Malaysia, jika pematiknya dinyalakan.
Saya memiliki keyakinan itu, karena mereka para TKI, para tetangga-tetangga saya, orang-orang Indonesia yang mengadu nasib di negeri jiran tersebut. Orang-orang yang disiksa, dianiaya, orang-orang yang tidak berdaya saat ini, akan menjadi kekuatan luar biasa sesuai dengan kesejarahan mereka. Pendek kata mereka adalah BONEK (Bondho Nekat) – berani menghadapi apapun hanya bermodal tekad yang kuat.
Belum lagi kekuatan rakyat dari dalam negeri Indonesia. Lihat saja, setiap ada masalah dengan Malaysia, orang Indonesia, para blogger baik bernada caci maki maupun hujatan mengisi situs-situs internet yang memuat tentang permasalahan tersebut. Bahkan kalangan Hacker yang selama ini identik dengan perilaku negatif di dunia internet, telah menunjukkan kebencian terhadap Malaysia. Hari ini (Rabu, 2/9/2009) saat saya menulis, 116 situs milik Malaysia, telah dihabisi oleh para Peretas Indonesia (Hacker) (sumber : TV One, Metro TV). Sebuah bukti, perang telah dimulai betapapun masih ditingkat dunia maya. Saya yakin, ini tidak akan berhenti dan akan terus berlangsung sampai Malaysia, menunjukkan itikad baik menjalin kerjasama dengan Indonesia.
Kalau saja Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, hari ini menyatakan perang terhadap Malaysia. Maka puluhan ribu orang akan secara sukarela siap perang dan mati, betapapun mereka tanpa bekal kemampuan militer sedikitpun. Ini terbukti ketika terjadi perang di Afganistan, Irak, dan terakhir di Palestina. Ribuan orang mendaftar sebagai sukarelawan yang siap berperang, meskipun mereka tidak memiliki sedikitpun ketrampilan dalam perang. BONEK – Bondho Nekad – bermodalkan tekad belaka. Adalah kata kuncinya rakyat Indonesia ...................
Kekuatan rakyat akan menjadi suport yang luar biasa bagi TNI dalam berhadap-hadapan dengan Malaysia. Meski alat pertahanan Indonesia banyak yang telah usang, semangat itulah yang akan membuat Indonesia mampu melawan Malaysia.
Tapi perang selalu menyakitkan. Saya percaya, pilihan paling sulit pemimpin negara adalah menyatakan perang terhadap negara lain. Harus ada alasan yang sangat kuat untuk menyatakan perang terhadap negara lain. Diantara masalah yang muncul dengan malaysia, masalah Ambalat adalah masalah yang paling berisiko menimbulkan perang terbuka Indonesia – Malaysia.
Maka langkah diplomasi yang seimbang merupakan langkah paling logis dan beresiko paling rendah. Diplomasi berarti ada kesejajaran kedua belah pihak untuk saling berbicara dan berdialog. Saat ini upaya diplomasi masih berat sebelah. Seolah – olah hanya Indonesia yang butuh menyelesaikan masalah sedangkan Malaysia selalu saja jual mahal. Ingat ketika kasus Ambalat memanas. Pemerintah kita, Parlemen kita mondar – mandir, Jakarta – Kuala Lumpur. Untuk apa ? Buat apa Jero Wacik – menteri Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia, harus klutusan ke Kuala Lumpur, sekedar untuk menunjukkan kemarahan bangsa Indonesia ketika tari pendet dicuri Malaysia. Penyelesaian masalah tidak akan muncul jika tidak ada itikad baik dari kedua belah pihak.
Dubes Indonesia di Malaysia, seperti Dai Bachtiar, tidak punya nyali sama sekali dalam menghadapi hantaman persoalan yang bertubi-tubi. Warning pertama Indonesia cukup dengan memanggil kembali Dai Bachtiar ke Indonesia dan mengusir Dubes Malaysia di Indonesia, menghentikan pengiriman TKI dan mengalihkan ke Timur Tengah, Australia dan Negara Asia lain selain Malaysia. Barangkali bila pemerintah tidak segera mengambil langkah yang serius, justru rakyat Indonesia yang akan mengusir Dubes Malaysia di Indonesia untuk pulang kampung.
Indonesia sendiri saat ini butuh seorang pemimpin yang mampu mengatakan pada Malaysia “kamu telah merampok kekayaan budaya kami. Kamu telah menyiksa rakyat kami. Kamu telah berusaha mengambil Ambalat. maka itu cukup bagi kami untuk menyatakan perang terhadap Malaysia..........”.

3 comments:

Anonymous said...

bukankah malaysia asal dari indonesia, jadi mengapa harus dibakar lagi hubungan ini, kita serumpun bersaudara,

Anonymous said...

malaysia kalau awak tahu, sentiasa memberi ruang kepada negara lain, tidak dinafikan ada sesetengah yang agak ekstremis, tetapi baik kita memikirkan jalan untuk menyelesaikan permasalahan ini.Indonesia majoriti penduduk islam, mmengapa harus saling memprovokasi, tanya rakyat indonesia yang tinggal dimalaysia, bagimana keadaan malaysia.. tolongla, bersatu kita yang serumpun

Unknown said...

Gue Gk Mengakui Kalo Malaysia Itu Saudara Kita

Post a Comment