ANTARA BUNG KARNO DAN SBY : BEDA DALAM MENGHADAPI KRISIS INDONESIA - MALAYSIA

Tentu saja kita tidak bisa menyejajarkan dan membandingkan antara Bung Karno dan SBY. Bung Karno adalah orator ulung, lugas dan bahasanya mudah dipahami rakyat. Sedangkan SBY adalah tentara intelektual (dengan gelar Doktor sebagai embel-embelnya) banyak menggunakan bahasa diplomatis, normatif dan berbunga-bunga. Hal ini disebabkan karena berbeda latar belakangnya. Bung Karno berada dalam posisi negara yang lagi merdeka dan sangat sensitif terhadap isu-isu kedaulatan negara. Maka ketika Malaysia mengganggu Indonesia, Soekarno membuat pernyataan "Ganyang Malaysia". Sedangkan SBY berada di jaman dimana ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi sangat penting melebihi persoalan simbol-simbol negara. Semalam ketika SBY pidato di markas TNI Cilangkap Jakarta, maka karakteristik kepribadian SBY yang muncul sama saja ; diplomatis, normatif dan berbunga-bunga.

Bung Karno, melakukan tindakan-tindakan nyata dimata rakyat dengan mengerahkan sukarelawan sebanyak 21 juta orang untuk dilatih kemiliteran. Menyatakan "ganyang Malaysia". Mengumpulkan dana dari masyarakat untuk mendukung gerakan ganyang malaysia. Dengan bahasa lugas Bung Karno menyatakan "ada seribu serdadu malaysia masuk ke Indonesia, sepuluh ribu sukarelawan akan saya tumpahkan".

SBY dimarkas TNI sebagai simbol pertahanan negara, menyampaikan pidato yang mengutamakan diplomasi dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan hubungan kesejarahan Indonesia - Malaysia. Seperti 2 juta TKI di Malaysia, 13 ribu Mahasiswa disana, perdagangan ekonomi Indonesia – Malaysia. Tentu rakyat tidak bisa mengubah kepribadian SBY untuk berubah menjadi garang, tegas dan berwibawa. SBY adalah SBY, rakyat adalah rakyat. SBY memimpin Indonesia dengan membawa kepribadiannya dalam mengambil keputusan-keputusan. Setiap isu krusial selalu diakhiri dengan karakteristik SBY yang diplomatis, normatif dan berbunga-bunga. Maka orang bertanya-tanya, kenapa SBY harus menyatakan pidato kenegaraan di Cilangkap, Markas TNI, simbol pertahanan negara, mengapa tidak di Departemen Luar Negeri. Karena apa yang disampaikan SBY hanya cocok disampaikan disana atau di Istana Negara. Atau disampaikan saat memberi arahan kepada para pejabat dibawahnya, menteri luar negeri, para pembantu menteri bukan pada tataran rakyat yang telah lama memendam rasa marah pada Malaysia sebagai akumulasi persoalan-persoalan dengan Malaysia.

Bung Karno menghadapi Malaysia dengan pernyataan perang "ganyang Malaysia". Melibatkan konsep dasar pertahanan negara kita yang menganut sistem Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta) dimana rakyat terlibat dalam setiap pembelaan dan menjaga kedaulatan negara. Kedaulatan negara bukan hanya urusan TNI tetapi juga urusan rakyat. Ini merupakan konsep dasar sistem pertahanan di Indonesia.

Sedangkan SBY menggunakan perangkat-perangkat negara untuk melakukan diplomasi diberbagai persoalan termasuk yang paling rawan, perbatasan wilayah Indonesia – Malaysia. Rakyat berada dipinggir dan hanya menjadi penonton ketika diplomasi berjalan. Maka rakyat yang marah menyalurkan energinya melalui demo-demo. Apa yang dikehendaki rakyat sebenarnya simpel "pemerintah menyatakan agar Malaysia meminta maaf atas kasus penangkapan simbol-simbol negara, 3 petugas KKP diperairan Indonesia". Sesimpel itu. Maka ketika SBY tidak menyinggung sama sekali kehendak rakyat itu dalam pidatonya, rasanya sikap tegas tidak dimiliki SBY sebagai representasi rakyat Indonesia. Tapi sekali lagi SBY tetap SBY. Beliau tidak bisa dipaksa menyatakan itu karena SBY memiliki pertimbangan lain. Bagi rakyat, perundingan oke, kalau Malaysia telah meminta maaf atas kejadian itu. It's simple problems. Soal Malaysia mau minta maaf atau tidak, itu urusan lain lagi. Suara rakyat telah disampaikan presidennya. Sayangnya, itu tidak dilakukan SBY dalam pidato di Cilangkap. Yang dilakukan adalah menegaskan persoalan perbatasan wilayah harus secepatnya dirundingkan. Hubungan Indonesia – Malaysia harus dipertahankan.

Sebenarnya, dalam urusan dengan Malaysia, SBY telah tercatat pernah melakukan tindakan yang sangat cemerlang dan dipuji rakyat yaitu ketika menyangkut masalah ambalat. Saat itu, SBY, dengan menggunakan seragam militer, berada diperbatasan, diatas sebuah tank, memandang kearah Malaysia seolah-olah hendak berkata "sekali kamu masuk diwilayahku. Aku berada digaris depan". Meski kunjungan SBY di Ambalat tidak menyatakan perang, tetapi tindakan itu, memberi dampak yang kuat dirakyat dan juga Malaysia. Ketegangan urusan ambalat menurun. Meski bukan berarti selesai. SBY sangat cakap dengan urusan bahasa tubuh (gesture) tetapi ketika menggunakan kata-kata dalam pidato, selalu saja kesimpulannya sama "diplomatis, normatif dan berbunga-bunga".

Maka banyak orang kecewa setelah menunggu-nunggu reaksi presiden SBY terhadap penangkapan 3 petugas KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) minimal reaksi balasan atas pernyataan Najib, perdana menteri Malaysia. Apa yang disampaikan SBY tidak lebih dari mengulang apa yang dikatakan Marti Nata Legawa, menteri Luar Negeri. Sikap tegas yang diharapkan rakyat tidak muncul dalam pidato presiden SBY. Rakyat rindu Sikap tegas seorang pemimpin di Indonesia. Sayangnya, sikap itu telah hilang sejak setelah Soekarno lengser. Tegas bukan disederhanakan dengan "ancaman perang". Tegas berarti, menyatakan sungguh-sungguh kemarahan rakyat Indonesia.

Pak SBY hanya berputar-putar diurusan diplomasi yang sebenarnya, sangat lemah. Diplomasi hanya berjalan jika, kedua belah pihak berada diposisi yang sama. Saat ini diplomasi indonesia berada diposisi bawah dibanding Malaysia. Kita tidak bisa meminta SBY menjadi seperti Soekarno. SBY adalah SBY yang diplomatis, normatif dan berbunga-bunga…….


0 comments:

Post a Comment