MENGENANG MBAH SURIP DAN WS RENDRA

DUNIA KESENIAN ; KEMISKINAN, GLAMOUR DAN KEPOPULERAN

“Sekali berarti sesudah itu mati” (Chairil Anwar : Deru campur Debu). Barangkali puisi Chairil Anwar itu mampu menggambarkan perjuangan hidup sejati dari seorang mbah Surip. Tidak ada seorang biasa, rakyat jelata, yang mampu menarik simpati begitu banyak masyarakat indonesia, selain mbah Surip. Daya pikatnya justru terletak pada kesederhanaan, ketawanya dan kepolosannya dalam menyikapi kehidupan. Mbah Surip sebagai gambaran seniman sejati, yang hidup diantara himpitan raksasa ekonomi yang siap menelan dan menelanjangi siapa-pun yang tak sanggup bertahan di ibukota. Hasil yang ia capai selama 2 bulan terakhir adalah proses perjalanan panjang selama lebih dari 20 tahun.
Saya mengikuti prosesi pemakaman Mbah Surip melalui siaran televisi. Dari awal hingga akhir. Saya sempat bertanya dalam hati, Lho mana WS Rendra ?, Ia tuan rumah. Prosesi pemakaman Mbah Surip di bengkel Theater miliknya WS Rendra, tapi ia tidak muncul. Apa beliau sakit lagi ?. Sebab sebelumnya di TV juga pernah dikabarkan WS Rendra terserang penyakit Jantung, itupun sekitar bulan Juni yang lalu.
Ternyata Malam ini, saat saya menulis artikel tentang Mbah Surip, Ditelevisi rumah terdengar Breaking News. WS Rendra meninggal dunia menyusul Mbah Surip. Beliau meninggal dunia pukul 21.30 WIB tanggal 6 Agustus 2009. Innalilahi wa innailaihi rojiun.

DUNIA KESENIAN SAYA SEMASA MAHASISWA

Saat saya menjadi mahasiswa di IKIP Surabaya, dunia sastra saya coba geluti. Entah kenapa saya tertarik pada sastra khususnya puisi. Padahal saya tidak sedang kuliah di bidang sastra. Saya berjuang mati-matian membuat puisi mungkin karena kemiskinan yang mendera hidup saya. Bahkan sampai pernah saya tidak tidur 2 hari 2 malam untuk melahirkan sebuah puisi. Ketika puisi jadi, saya jual ke koran, ternyata nggak laku juga. Waktu itu, sastra memiliki ruang yang cukup disetiap koran baik terbitan surabaya maupun Jakarta. Paling banter dimuat di koran lokal dan itupun gratis, tidak ada bayarannya. Saya ingat hanya sekali saya mendapat bayaran puisi di Harian Suara Karya, itupun tidak seberapa. Yang paling menjadi langganan puisi saya hanyalah koran kampus “Gema”. Justru tulisan-tulisan yang lain yang terkadang laku dijual di koran. Di IKIP Surabaya, bertebaran penyair dan sastrawan muda yang bergelut mencari identitas diri. Mungkin karena pengaruh dari beberapa dosen IKIP Surabaya waktu itu adalah sastrawan seperti Prof. Budi Darma, Wawan Setiawan, Alm. Prof. Suripan Sadi Hutomo.
Saat saya banyak belajar puisi secara otodidak, saya mengenal karya-karya WS Rendra. Nama yang cukup disegani dikalangan penyair di akhir tahun 1980-an. Disamping waktu itu, nama-nama lain yang menguasai dunia kepenyairan di Indonesia seperti Sutardji Calsum Bahri, Subagyo Sastro Wardoyo, MH. Ainun Najib dll. Bacaan wajib yang ingin mengenal sastra adalah majalah HORISON, majalah kalangan sastrawan pimpinan HB Jasin. Saya biasanya membaca diperpustakaan, karena tidak mampu membelinya. Semua penyair pasti mengenal WS Rendra, karya-karyanya cenderung kritik sosial sering dianggap penganut paham sosialisme. Sebuah kata yang paling ditabukan diera Soeharto. Biasanya dihubung-hubungkan dengan LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) diera tahun 1960-an yang berafiliasi ke PKI. Sehingga WS Rendra barangkali penyair yang paling sering berurusan dengan pihak berwajib.
Dunia kepenyairan adalah dunia kemiskinan. Tidak ada penyair di Indonesia yang akan mapan secara ekonomi. Kalau kita pelajari sejarah hidup Chairil Anwar, penyair yang mati muda dengan karya yang luar biasa, maka kebesaran nama dan karyanya tidak sebanding dengan kondisi ekonominya yang sampai meninggal dunia, miskin dalam arti sesungguhnya. Tidak seperti kesenian musik maupun seni rupa dan sekarang dunia seni peran, sastrawan khususnya penyair tidak memiliki ruang yang cukup untuk hidup dari berkesenian. Paling sering diminta bantuan teman membuatkan puisi untuk memikat hati pacar yang ditaksirnya. Biasanya bayarannya adalah sebungkus rokok. Dengan berkembangnya teknologi digital, sekarang banyak komunitas pencinta puisi bertebaran di internet. Dikomunitas kembang mawar, dengan ikon, membuat puisi itu mudah, anda dapat bergabung dan menjadi bagian dari mereka.
Sehingga ketika saya lulus kuliah dan mulai bekerja menjadi guru, dunia sastra saya tinggalkan dan tenggelam dalam kesibukan administratif sebagai guru. Sekarang kalau saya diminta menulis puisi, susahnya setengah mati. Maka blog ini sebenarnya adalah proyeksi kerinduan pada dunia tulis menulis. Disamping alasan lain, saya menemukan kesenangan lain yaitu berupa puisi visual melalui video. Kalau anda berkunjung ke Youtube maka disana anda akan menemukan sebagian kecil dari alasan lain saya meninggalkan sastra. Yang pasti, saya teringat perkataan Prof. Budi Darma, banyak penyair kampus, yang akhirnya kehabisan nafas dan meninggalkan dunia sastra. Saya adalah salah satunya.
Karena kesukaan pada dunia puisi, biasanya, dalam video-video saya (kegiatan lembaga, sekolah, organisasi) sering saya insert-kan puisi-puisi yang biasanya saya ambil dari TV. Dari karyanya WS Rendra, KH. Mustofa Bisri, Winarno Suratman, bahkan puisinya SBY di HUT RI tahun lalu maupun Sutrisno Bachir sering saya bajak untuk diinsert-kan di video editan saya. Yang terakhir saya gunakan karya WS Rendra untuk insert closing video “Masa Orientasi Siswa Baru SMA Kandangan” bulan Juli lalu.

MBAH SURIP DAN WS RENDRA

Tentu saja kita tidak dapat membandingkan antara Mbah Surip dengan WS Rendra. Pertama, karena Mbah Surip memulai dunia kesenian baru dipertengan tahun 80-an. Sedangkan waktu itu, Nama WS Rendra sudah sangat dikenal dikalangan seniman. WS. Rendra telah menjadi ikon penyair angkatan tahun 1960. Semasa menjadi mahasiswa WS Rendra telah melahirkan karya-karya yang diakui bahkan oleh HB Jasin, kritikus sastra yang paling berpengaruh dijamannya. Kedua, Mbah Surip memulai hidup dengan menggelandang selama dua puluh tahun lebih untuk dapat mencapai puncak perjuangan selama 2 bulan saja. WS Rendra melalui dunia seni peran dan sastra telah mampu hidup mapan di Jakarta – satu diantara ribuan sastrawan yang berhasil.
WS Rendra seperti juga alm. Hari Rusli, sangat peduli pada nasib seniman-seniman yang masih terpinggirkan dan belum dikenal dimasyarakat. Saya kira, kebanyakan seniman memiliki naluri yang sama terhadap sesamanya yang belum beruntung. Dibengkel Teater, banyak seniman numpang hidup. Apakah sekedar meminta jatah makan atau benar-benar ingin bergelut hidup didunia kesenian. Bahkan rumah MH Ainun Najib di Jakarta juga sangat terbuka terhadap seniman-seniman yang masih kere dan belum mampu menghasilkan sesuatu untuk menopang hidupnya.
Mbah Surip adalah sosok seniman sejati, yang hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat lain. Dan kebanyakan seniman memang pernah menjalani hidup seperti itu. Yang membedakan mbah surip dengan lainnya adalah kepolosan, ketulusan dan kesederhanaan. Perjuangan hidup yang luar biasa, dan tidak setiap orang mampu menjalaninya apalagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Melihat sosoknya yang penuh tawa, siapapun pasti akan betah berteman dengan mbah surip. Tentu saja, saya hanya sekedar bersimpati. Perjuangan sejati dan pergumulan hidup mbah surip selama 20 tahun sebagai seniman, tidak ada yang tahu kecuali mereka yang dekat yaitu komunitas kesenian di Jakarta yang pernah didatangi Mbah Surip.
Yang dapat saya petik dari perjalanan hidup mbah Surip adalah ketekunan dalam menjalani apa yang diyakini untuk menjadi hidup yang berarti bagi orang lain. Maka mbah surip telah memenuhi tugas sebagai manusia “Sekali berarti Sesudah Itu Mati”.
Selamat Jalan Mbah Surip Selamat Jalan WS Rendra..... Dunia berkesenian telah kehilangan seniman sejati. Yang satu penuh canda tawa, gimbal, semaunya. Yang satu serius, intelektual, berteman dengan banyak pejabat maupun mantan pejabat. Keduanya kembali kehadirat-Nya. Barangkali disana engkau dapat melepas lelahmu... tidak lagi “ampun pemerintah”.

0 comments:

Post a Comment