UJIAN NASIONAL DAN KECURANGAN

Akhir bulan April, saya harus mengawasi Ujian Nasional. Karena pola kepengawasan silang antar sekolah, saya bersama teman-teman guru lain, bertugas disekolah swasta. Sebagai koordinator pengawas, diawal sebelum melaksanakan tugas kepengawasan, saya membekali kembali teman-teman tentang prosedur kepengawasan dan sistem adiministrasi yang harus dijalankan. Saya katakan “Ujian Nasional harus diperlakukan sama dengan Ujian Sekolah. Dari sudut kepengawasan, maka mohon untuk tidak membuat situasi anak didik takut pada panjenengan. Berlakulah ramah pada anak didik dengan tetap memegang teguh prosedur kepengawasan Ujian. Tidak ada contek mencontek.semua sisa soal akan dibawa pengawas dengan disegel oleh koordinator pengawas agar tidak dibaca oleh siapapun”. Memang hari itu, 27 s.d 30 April 2009 merupakan saat pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP serentak se Indonesia. Tidak ada kecurangan dari sekolah penyelenggara, ada pengawas Independent yang bekerja dengan sangat baik dari Unibraw. Dan hasilnya masih kita tunggu.
Tapi hari ini, kita dikagetkan dengan adanya kecurangan Ujian Nasional di 33 SMA di Indonesia. Sungguh memprihatinkan. Ketika dunia pendidikan mulai berbenah untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dari dalam. Ternyata kecurangan itu tetap ada. Sebagai seorang guru, saya ikut prihatin dengan kondisi pendidikan yang dipahami secara sempit.

Saya mencoba untuk berpikir kembali tentang hakekat Ujian Nasional. Banyak kalangan yang menolak Ujian Nasional. Tetapi saya berpendapat sebaliknya. Ujian Nasional masih diperlukan dalam kerangka standarisasi penilaian pendidikan. Sebagai salah satu alat evaluasi keberhasilan sekolah.
Sejak diberlakukannya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), setiap sekolah memiliki kebebasan untuk menentukan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) sesuai dengan kondisi sekolah, sarana prasarana yang tersedia, intake siswa. KKM sekolah memiliki kisaran 6.00 sampai dengan 7,5. Artinya anak didik dikatakan lulus jika mampu memperoleh nilai minimal KKM. Bila tidak maka guru melaksanakan tindak lanjut berupa perbaikan/remedial.
KKM menjadi standar minimal sekolah. Ujian Nasional memiliki standar minimal juga. Tahun ini rata-rata menjadi 5,5. sebuah angka yang masih jauh dari KKM yang ditetapkan masing-masing sekolah. Dengan mengabaikan faktor-faktor lain, idealnya KKM yang dimiliki sekolah equevalen dengan KKM yang ditetapkan dalam Ujian Nasional. Artinya bila hanya untuk mendapatkan angka rata-rata 5,5 seharusnya bukanlah pekerjaan yang sulit.
Banyak sekolah ketakutan tidak mampu mencapai angka-angka itu. Berbagai upaya dilakukan seperti pemberian pelajaran tambahan. Bahkan ada sekolah yang gila-gilaan dengan menghapus seluruh mata pelajaran non ujian nasional selama kelas 9 khususnya semester genap dan diganti hanya mata pelajaran Nasional. Orang tua banyak berharap anaknya lulus ujian nasional. Jarang yang berpikir, bila ujian sekolah tidak lulus bagaimana ?.
Ketakutan tidak lulus Ujian Nasional menjadi wabah pendidikan yang menghantui para kepala sekolah dan guru mata pelajaran Ujian Nasional. Sebenarnya, Kelulusan ujian nasional harus dipahami hanya sebagai salah satu alat evaluasi pendidikan. Tapi karena sakralisasi UN, membuat kepala sekolah banyak yang takut dan menghalalkan segala cara untuk mengatasi ketakutan akan ketidaklulusan siswanya.
Tapi kepala sekolah tidak berdiri sendiri. Ada kepala Dinas Pendidikan, Ada Bupati, Gubernur, yang menekan kep.sek untuk meluluskan 100 % siswanya. Seolah-olah, kualitas pendidikan diukur dari prosentase kelulusan. Kalau hasil Ujian Nasional dijadikan ukuran untuk kualitas pendidikan seharusnya prestasi sekolah diukur dari peningkatan rata-rata hasil Ujian Nasional dari tahun ke tahun. Bukan dari prosentase kelulusannya.
Kesalahan fatal dalam menyikapi ujian nasional membuat, Ujian Nasional sering kehilangan esensi dari sebuah sistem penilaian.
Tragisnya, dari tahun ke tahun kasus, kecurangan Ujian Nasional selalu ada. Sedangkan tidak pernah terdengar kabar, kecurangan Ujian Sekolah. Mengapa ?. Karena sistem penilaian pendidikan kita masih diskriminatif. Men-Tuhan-kan Ujian Nasional dan menyepelekan Ujian Sekolah.


DISKRIMINASI PENDIDIKAN
Perlakuan diskriminatif terhadap mata pelajaran Nasional dan mata pelajaran Non Nasional seolah-olah menjadi kelaziman. Diskriminasi ini bukan saja pada tataran tingkat sekolah melainkan pada tingkatan kebijakan menteri pendidikan. Dari mulai pembuatan kisi-kisi ujian sampai pada pelaksanaan ujian sungguh jauh berbeda.
Ujian nasional digarap oleh BNSP dengan dikelilingi oleh ahli-ahli dibidangnya, guru senior, ahli psikometri, ahli-ahli pendidikan. Ketika soal jadi, mulai proses pencetakan sampai distribusi, negara mengerahkan seluruh potensinya untuk mengawal dan mengamankan soal tersebut. Jadi, kalau anda Kapolres atau Kapolsek, bila terjadi kesalahan dalam pengamanan soal ujian Nasional berarti karir anda TAMAT. Tentu saja berarti seluruh pembiayaan Ujian Nasional dari kisi-kisi sampai soal dibuat, didistribusikan menjadi tanggungan APBN.
Sebaliknya, Ujian Sekolah dengan segala keterbatasan yang dimiliki masing-masing sekolah harus dilaksanakan. Pemerintah memberi kewenangan penuh pada sekolah untuk menyusun kisi-kisi sampai pelaksanaannya. Memberi kewenangan berarti, melimpahkan seluruhnya termasuk pembiayaan kepada sekolah masing-masing. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, sekolah harus menyusun kisi-kisi, membuat soal, mencetak dan melaksanakan ujian sekolah. Tidak ada pengawalan Polisi, tidak ada ketakutan kepala Sekolah/Kepala Dinas, Bupati dan Gubernur terhadap kegagalan Ujian Sekolah. Tidak ada kepengawasan silang lagi. Bahkan tidak ada rasa khawatir sedikitpun dari orang tua jika anaknya gagal diujian sekolah.
Mengapa demikian ?. karena ujian dilaksanakan sekolah, soalnya dibuat guru maka guru –dengan segala kesederhanaan dan kepolosan yang dimiliki- mudah untuk di bujuk jika siswanya ada yang tidak lulus ujian sekolah. Guru itu manusia mudah untuk disentuh baik secara psikologis maupun dalam arti sesungguhnya. Guru kelas akhir menjadi tidak berdaya manakala siswanya lulus Ujian Nasional, maka mau tidak mau harus meluluskan ujian sekolah. Prosedur penilaian guru yang dilakukan tahap demi tahap dapat dimentahkan oleh kenyataan bahwa siswa tersebut harus lulus karena telah lulus ujian nasional. Diperlukan keberanian yang luar biasa –dan ini tidak dimiliki guru – untuk melawan desakan dan bujukan kepala sekolah atau kepala dinasnya.
Kondisi semacam ini membuat dunia pendidikan kita jalan ditempat.


0 comments:

Post a Comment