Kediri (19/08/2011) : Ketika pemilu 2009 lalu, saya meski gamang dengan partai politik yang ada, karena kebanyakan partai politik itu busuk, jahat dan pembohong, toh tetap saja seperti kebanyakan rakyat Indonesia, harus memilih diantara banyak partai politik yang ada waktu itu. Terlebih sebagai PPS (Panitia Pemungutan Suara) di desa, saya jelas tidak mungkin untuk "golput".
Maka dibalik kesibukan dan keruwetan pemilu 2009 (baca artikel saya tentang keruwetan pilkada dan pemilu 2009 di jawa timur), saya sebagai pribadi harus memilih. Berbagai kampanye politik lewat televisi saya ikuti. Saya juga mencari-cari caleg didapil saya yang minimal saya ketahui track recordnya. Maka ada dua kandidat yang saya ingat untuk Caleg DPR RI dari Dapil (Daerah Pemilihan) 6 Jawa Timur yang menggelitik hati saya ; ada Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat dan ada Pramono Anung dari PDIP (Saya sampai hari ini masih menaruh simpati pada Pramono Anung). Anas setahu saya dulu adalah anggota KPU yang tidak ikut masuk bui akibat korupsi ditubuh KPU tahun 2004 dan lama saya mengetahuinya ketika masih kuliah di Surabaya, ketika Anas masih menjadi ketua HMI. Pramono Anung, lebih banyak saya ketahui lewat televisi saat mendampingi Megawati di PDIP. Pramono anung dan Anas Urbaningrum bagi saya adalah sosok yang setia, santun dalam berbicara dan matang. Bagi saya tidak penting apa latar belakang partai politiknya. Karena dipemilu kali ini saya dapat memilih orang.
Keduanya menjadi menarik saya karena mereka sama-sama masih muda, dan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin masa depan dari dua partai besar. Kalau toh akhirnya saya memilih Anas Urbaningrum karena kampanye partai Demokrat yang tegas mengusung anti korupsi dinegeri ini (yel-yel yang masih saya ingat adalah KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI). Korupsi yang telah menggila dan merasuk dalam sendi-sendi bernegara dan berbangsa. Korupsi yang saya rasakan setiap hari dilingkungan kerja saya, upeti ke orang-orang dinas Pendidikan kabupaten saat saya menerima tunjangan sertifikasi guru maupun saat pengajuan pencairan tunjangan tersebut, korupsi dan pungli yang saya rasakan ketika dijalan para polisi menjadi preman jalanan. Meski saya tahu, janji partai politik kebanyakan adalah sampah, minimal inilah rasionalisasi saya kenapa saya pada akhirnya memilih Anas Urbaningrum ketimbang Pramono Anung dari PDIP.
Dan pilihan saya tidaklah sendirian, di desa saya, Anas Urbaningrum dari Demokrat memperoleh suara terbanyak disusul Pramono Anung dari PDIP dan Vena Malinda dari Demokrat. Saya sudah lupa berapa perolehan suara Anas karena hard disk komputer saya yang berisi data pemilu 2009 telah rusak. Seingat saya kurang lebih 3000 (tiga ribu) orang memilih Anas Urbaningrum dari sekitar 6.900 pemilih.
Dan ketika partai demokrat dalam konggres tahun 2010 mempercayakan kepemimpinan pada Anas Urbaningrum, maka saya pikir inilah calon pemimpin masa depan. Saya pikir inilah calon presiden pengganti SBY. Asumsi saya salah. ketika badai partai Demokrat menghujam dan menghabisi kepercayaan saya pada partai ini akibat ulah Nazarudin, saya sampai pada kesimpulan, semua partai politik sama saja, memberi sampah pada rakyatnya.
KASUS NAZARUDIN MENGHILANGKAN KEPERCAYAAN SAYA PADA DEMOKRAT
Awalnya ketika Mahfud MD, ketua Mahkamah Konstitusi melaporkan ke pak BeYe tentang perilaku upaya suap Nazarudin ke sekjen MK, saya baru tahu kalau di partai Demokrat itu ada orang yang bernama Nazarudin; masih muda, kaya raya, pemilik beberapa perusahaan, memiliki isteri yang cantik, rumah yang megah dan memiliki jabatan strategis di partai yang saya pilih yaitu sebagai bendahara partai Demokrat. Dan ketika nazarudin pergi ke Singapura untuk berobat, saya dan kebanyakan orang lain tahu bahwa modus sakit dan berobat keluar negeri adalah cara paling ampuh bagi para koruptor untuk melarikan diri dari penangkapan KPK maupun kepolisian. Benar juga, Nazarudin kabur dan mulai membuka borok dirinya sendiri dan teman-temannya melalui tv dan media sosial lainnya dari tempat persembunyiannya. Pada akhirnya saya dengar ketika Nazarudin ketangkap, puluhan kasus korupsi siap untuk memenjarakannya dalam waktu yang lama.
Kasus Nazarudin ini adalah titik awal dimana saya tidak lagi percaya pada partai yang saya pilih dan termasuk pada Anas Urbaningrum, orang yang saya kagumi dan saya pilih dalam pemilu 2009. Awalnya ketika Nazarudin dalam pelarian menuduh teman-teman partainya sebagai maling, saya seperti kebanyakan orang lain, menganggap sebagai sampah, menganggapnya sebagai ocehan orang yang kalut dan kebingungan saja karena diburu polisi dan KPK (saya lebih suka menyebut sebagai igauan paranoid).
Tetapi sebodoh apapun saya, akhirnya takluk pada kenyataan bahwa tidak mungkin seorang bendahara bekerja sendirian, mencuri sendirian, menikmati hasil curiannya sendirian. Tidak mungkin. Logika paling sederhana dibenak saya adalah organisasi selalu dibawah kendali ketua. Bendahara apapun dalam organisasi hanyalah tangan kanan ketua untuk menghimpun dana, mengelola dana demi kelangsungan hidup organisasi tersebut. Artinya, tidak ada kegiatan penghimpunan dana organisasi oleh bendahara yang tidak diketahui oleh ketuanya. Jadi, kalau Nazarudin merampok uang negara dengan nilai trilyunan rupiah, entah untuk kebutuhan partai dan tentu untuk memperkaya dirinya sendiri, maka idealnya Anas Urbaningrum sebagai ketua partai Demokrat tahu betul seluk beluk sumber dana dari Nazarudin. Anas tahu kalau Nazarudin sesungguhnya adalah maling, lebih lama ketimbang KPK maupun rakyat kebanyakan seperti saya. Kalau Anas tidak tahu, maka tak layak seorang Anas Urbaningrum, menjadi ketua Partai besar itu. Karena terlalu bodoh untuk dikibuli anak buahnya.
Seandainya moral menjadi acuan setiap politisi, seharusnya Anas Urbaningrum sudah menyatakan mundur baik sebagai anggota DPR maupun sebagai ketua Umum Partai Demokrat. Sebagai bentuk tanggung jawab moral atas kejadian yang memalukan di partai yang memuja kejujuran dan anti korupsi. Bukan soal apakah secara hukum terlibat atau tidak. Hari gini, siapa sih yang percaya pada hukum di Indonesia ?............Sebab hukum itu sendiri dapat dikadali. Hanya saja, tradisi semacam ini tidaklah lazim dikalangan politisi kita. Tradisi tanggung jawab moral belum (tidak) dikenal dalam sistem perpolitikan Indonesia. Kebanyakan mereka menggunakan segala upaya untuk berlindung dibalik penegakan hukum di Indonesia. Sedangkan hukum di Indonesia masihlah seperti mudah diputar balikkan.
Benar juga kata Syafii Ma'arif bahwa dinegeri kita kebanyakan pemimpin telah pecah kongsi antara hati dan ucapan. Ketika Nazarudin melarikan diri ke Singapura, orang-orang Demokrat yang datang membujuk Nazarudin mengatakan kalau Nazarudin sakit dan berat badannya turun 18 kg. nyatanya ketika ketangkap, Nazarudin sehat secara fisik tapi sangat mungkin sakit secara kejiwaan saja dan itu wajar. Kebohongan semacam inilah yang membuat saya tak lagi nyaman dengan pilihan saya pada partai demokrat. Meskipun dalam pidato-pidato pak SBY sebagai pembina partai Demokrat, selalu mengungkapkan tentang pemberantasan korupsi, toh itu dianggap lalu oleh orang-orang partainya sendiri. Dan tragisnya, saya yakin, Anas Urbaningrum tahu betul pusaran kebusukan itu….
Sayangnya, kontrak telah dibuat untuk 5 tahun saat saya memilih mencontreng Anas Urbaningrum ditahun 2009. suka tidak suka mereka adalah orang yang saya pilih sendiri. Saya tidak dapat menuntut orang seperti Anas lebih dari sekedar tulisan ini. Paling tidak sekarang saya dapat mengatakan selamat tinggal Anas Urbaningrum, Selamat tinggal Partai Demokrat………………!!!!!!
KEJIWAAN NAZARUDIN : KETAKUTAN DAN KEBOHONGAN
Sebelum Nazarudin tertangkap oleh polisi Kolombia, Nazarudin layaknya anak muda usia 30-an; lantang, penuh percaya diri, berani menyeret teman-temannya yang ikut menikmati hasil korupsinya seolah tak pernah takut terhadap apapun sebagai konsekuensi dari perilakunya. Meskipun upaya mengungkap berbagai kebusukan partai Demokrat dan kalangan politisi di senayan ia lakukan tak lebih sebagai bentuk "defance mecanisme" (mekanisme pertahanan diri) psikologis akibat ketakutan atau kecemasan terhadap persoalan yang dihadapinya. Defance mechanisme merupakan reaksi psikologis jika seseorang merasa terancam baik secara psikologis maupun secara fisik eksistensi dirinya. Apapun akan dilakukan seseorang jika terancam dirinya. Berbohong, menyalahkan orang lain atas kasus yang terjadi pada dirinya, bila harus tenggelam, maka itu akan dilakukan dengan tidak sendirian. Sifat-sifat mekanisme pertahanan diantaranya; pertama, Selalu menolak, memalsukan atau mengganggu kenyataan kedua, Bekerja dengan tidak disadari sehingga orang yang bersangkutan tak menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sedangkan bentuk dari mekanisme pertahanan diri yaitu ; penekanan (represi), proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi, isolasi, introyeksi, membalik pada diri sendiri, justifikasi (rasionalisasi, kausalisasi, trankulpasi) ( penjelasan tentang bentuk-bentuk mekanisme pertahanan dapat dibaca dibuku: Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta; 1988 hal. 167-172).
Maka jika beranjak dari pemahaman psikoanalisa sebenarnya perubahan sikap selama pelarian, selama tertangkap di Kolombia sampai dibawa ke Jakarta yang terjadi pada Nazarudin dapat dijelaskan dengan menggunakan teorinya Sigmound Freud tersebut. Perubahan sikap dari lantang, menyerang kesana kemari, membuat rasionalisasi atas argumen-argumen dari perilaku korup-nya saat masih buronan (hal itu dapat dilihat dari wawancara Nazarudin dengan Jurnalis Iwan Piliang ditempat persembunyiannya). Kemudian menjadi shock, tak berdaya ketika ditelanjangi harga dirinya oleh kepolisian Kolombia saat ditangkap, diborgol dan puncaknya saat konferensi pers kepolisian Kolombia dimana Nazarudin ditunjukkan ke media TV dengan wajah lusuh, menunduk, terborgol layaknya kriminal lainnya (seharusnya KPK saat menangkap koruptor juga memperlakukan mereka seperti Nazarudin diperlakukan kepolisian Kolombia karena akan memiliki dampak sangat drastis bagi penelanjangan harga diri seseorang sebagai hukuman moral seorang koruptor, jangan seperti sekarang,koruptor kalau ketangkap basah KPK bukanya malu malah menjadi selebriti dadakan yang membuat rasionalisasi seolah mereka tak bersalah sama sekali). Terakhir saat awal di periksa KPK, Nazarudin mengaku lupa semuanya. Ada upaya psikologis Nazarudin untuk mengingkari kenyataan akibat ketakutan-ketakutan irasional yang dialaminya.
Saya kira KPK tidaklah mudah dikelabuhi oleh orang seperti Nazarudin. Perubahan kejiwaan ini sebenarnya sangat mudah dikenali bagi para terapis maupun konselor. Ada beberapa teknik seperti penggunaan teknik psikoterapi psikoanalisa dengan "asosiasi bebas" dan "teknik interpretasi mimpi" psikologi analitik Carl Gustav Jung. Teknik ini diyakini akan mampu mengungkapkan keadaan Nazarudin yang sesungguhnya. Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik dimasa lampau yang dikenal dengan sebutan katarsis. Teknik asosiasi bebas dilakukan terapis dengan meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pemikiran-pemikiran dan renungan-renungan sehari-hari dan sebisa mungkin mengatakan apa saya yang melintas dalam pikirannya, betapapun menyakitkan, tolol, remeh dan tidak relevan kedengarannya.. Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas terapis adalah mengenali bahan-bahan yang direpresi dan dikurung di dalam alam ketaksadaran (baca : Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, 1988 hal. 41).
Dengan demikian, KPK akan dapat mengungkap lebih jauh jaringan korupsi Nazarudin, apakah ia korupsi sendirian atau korupsi berjamaah……..tak lagi terpaku pada ungkapan Nazarudin "Saya lupa semuanya…..!!!!".