KETIKA KEJUJURAN MENJADI KEMEWAHAN DIDUNIA PENDIDIKAN


Kejujuran masih merupakan kemewahan didunia pendidikan. Sebagai seorang guru lebih dari 15 tahun, saya tahu betul, bahwa kejujuran selalu berbenturan dengan tembok raksasa. Tembok itu justru kebanyakan berasal dari para Kepala Sekolah, kepala Dinas Pendidikan , pengawas pendidikan, guru-guru dan paling tragis adalah dari orang tua siswa. Kasus keluarga Siami yang melaporkan model sindikat kebohongan yang lazim dilakukan sekolah-sekolah saat ujian nasional, justru mendapat perlakukan tidak manusiawi, tragisnya dari orang tua siswa lain. Gerakan bawah tanah disekolah-sekolah baik swasta maupun negeri ketika menghadapi ujian nasional ya seperti yang dikeluhkan oleh Alif, siswa SD Gedel Surabaya. Adalah Ibu Siami yang melaporkan sebuah SD Negeri di Surabaya karena telah mendorong contek missal saat ujian nasional tingkat Sekolah Dasar. Tragisnya, Siami, yang merupakan wali siswa dari anak yang disuruh oleh guru dan kepala sekolah untuk berbuat curang tersebut, malah mendapat perlakuan yang sangat memilukan justru dari para wali siswa lainnya. Sampai sampai malah hendak dihakimi sendiri.

Meskipun tidak semua guru brengsek dan busuk, ada sebagian guru yang melakukan itu entah karena kepentingan karirnya, mencari selamat dari kemarahan kepala dinas jika anak didiknya tidak lulus. Dan itu sudah lazim disemua strata sekolah, dan yang paling parah biasanya pada sekolah-sekolah yang masih menumbuh kembangkan dirinya, sekolah yang sangat takut kehilangan harga dirinya hanya karena ada siswa tidak lulus. Bukan soal apakah kelulusan diperoleh melalui jalan yang benar atau kotor dan busuk. Persoalan mendasar adalah, birokrasi kita dibangun dari para birokrat korups dan kotor. Reformasi hanya mampu menyebarkan kebusukan dan kekotoran para birokrat kita pada semua level dari pusat sampai daerah.

Sebenarnya mengajarkan dan melatihkan kejujuran pada siswa sangatlah mudah. Yang paling sederhana buat saja tata tertib sekolah dimana kebohongan tidak dapat ditoleransi, maka yakinlah bahwa kejujuran akan tumbuh dilingkungan siswa. Ini pengalaman saya ketika membuat tata tertib siswa, pelanggaran-pelanggaran lain diskor dengan nilai tidak terlalu tinggi, tetapi ketika anak berbohong, menyontek, mencuri, memalsukan tanda tangan orang tua, guru dll, saya beri skor penilaian yang tinggi, sehingga hanya dengan sekali menyontek maka nilai perilaku siswa menjadi K dan bisa berakibat tidak naik kelas. Didalam proses belajar mengajar, kejujuran seharusnya menjadi ukuran penilaian sikap. Ini penting disaat bangsa ini sedang sakit dan yang lebih parah, justru para pemimpin kita lebih sakit jiwanya dari pada rakyatnya. Lihatlah kasus Nunun, bagaimana seorang Adang Dorojatun, tanpa rasa bersalah, membela mati-matian istrinya yang korup. Padahal Adang adalah mantan Wakapolri. Bagaimana para koruptor tidak merasa malu sama sekali dan selalu mencari rasionalisasi agar rakyat percaya akal busuknya. Kearifan lokal bawaan nenek moyang seperti nilai-nilai kejujuran telah terpinggirkan dan menjadi sesuatu yang aneh di era sekarang ini.

Kalau anda yang saat ini masih kuliah di perguruan tinggi keguruan dan ingin sekali menjadi guru yang idealis, saya sarankan, jangan menjadi guru karena tidak ada tempat bagi idealisme disini. Sekali anda terjebak dikubangan penuh lumpur, percayalah anda tidak akan pernah bisa keluar. Karena anda akan diajarkan banyak kebohongan dan kepalsuan didalamnya. Kalau anda guru biasa dan tidak pernah menjabat apapun di manajemen sekolah, maka paling kecil adalah anda akan "dipaksa" untuk memberi nilai pelajaran diluar kemampuan anak. Terlebih jika anda adalah bagian dari manajemen sekolah dan menjadi orang penting disekolah, maka anda akan tahu betul wajah bopeng dunia pendidikan kita.

Dunia pendidikan sedang dalam kondisi terkapar dan hampir mati rasa. Inilah potret paling nyata dunia pendidikan kita. Gagasan dasar dunia pendidikan untuk membangun karakter manusia yang mulia melalui sekolah seringkali berhenti pada tataran konsep dan omong kosong para pejabat publik. Yang paling aktual adalah gagasan tentang pendidikan karakter dan budaya bangsa yang telah disosialisasikan melalui berbagai kegiatan workshop, pelatihan-pelatihan pada para guru dan kepala sekolah dan tentu saja memakan anggaran kemendiknas yang luar biasa besarnya, kebanyakan berakhir dilaci-laci meja guru.