MENDIKNAS BARU : BEBAN MUH. NUH DIDUNIA PENDIDIKAN



Selalu ada ungkapan yang sudah akrab didunia pendidikan ; “ganti menteri ganti kurikulum…!”. Apakah ini akan terjadi diera Muh. Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional yang baru ?. Jawabannya tergantung dari apa yang akan dirancang oleh Muh. Nuh didunia pendidikan kita. Idealnya kurikulum pendidikan dijalankan selama 10 tahun. Kalau kurikulum 2004 yang kemudian disempurnakan menjadi kurikulum 2006 dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka baru ditahun 2014 kurikulum tersebut berganti.
Tapi saya kira, Muh Nuh sebagai orang yang memiliki pengalaman yang panjang didunia pendidikan tentu akan berpikir panjang implikasi dari penggantian atau revisi sebuah kurikulum. Justru menurut saya, beban utama Muh. Nuh selama lima tahun kedepan adalah reformasi birokrasi didunia pendidikan. Sebab diera kepemimpinan Bambang Sudibyo, reformasi birokrasi berjalan tertatih tatih, kalau tidak disebut jalan ditempat.
Harus diakui sejak Indonesia merdeka, baru diera kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dunia pendidikan menjadi primadona. Ini karena besarnya anggaran pendidikan yang mencapai angka 20 % dari APBN kita. Perjuangan panjang mengoal-kan anggaran 20 % APBN untuk dunia pendidikan berujung dikepemimpinan SBY. Dengan anggaran pendidikan yang besar tersebut, seharusnya dunia pendidikan mulai bergeliat menata dirinya.
Memang upaya kearah itu sedang dilakukan yaitu diantaranya program sertifikasi guru dan pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk SD dan SMP. Program sertifikasi guru memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih layak bagi guru sebagai lokomotif dunia pendidikan. Sebab, pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa pergantian kurikulum seolah-olah berhenti dilaci meja guru tanpa disertai dengan kualitas guru yang profesional. Meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi awal babak baru dunia pendidikan kita yang akan dirasakan paling tidak sepuluh tahun kedepan.

KORUPSI DUNIA PENDIDIKAN MASIH AKUT

Persoalan yang paling serius didunia pendidikan saat ini adalah masih akutnya korupsi didunia pendidikan. Paling tidak 20 % dari anggaran yang dikucurkan bocor. Ini diperparah dengan sistem manajemen berbasis sekolah yang diterapkan setengah-setengah tanpa pengawasan yang ketat. Dengan sistem manajemen berbasis sekolah misalnya, proyek-proyek pengadaan barang dan jasa dikelola penuh oleh sekolah sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. Karena pejabat setingkat sekolah merupakan unsur terlemah dari birokrasi didunia pendidikan maka, sekolah menjadi sapi perah bagi birokrat-birokrat diatasnya. Contohnya, ketika sekolah mendapat dana grant untuk membangun Laboratorium Bahasa disekolah, maka otomatis para pejabat ditingkat diknas kabupaten, propinsi dan tentu kepala sekolah meminta jatah yang akumulasinya mencapai 20 % dari anggaran yang diberikan oleh pemerintah. Sebuah angka yang sangat besar. Ungkapan jawa “wohe nek gak disinggek ora bakal ceblok (buahnya tidak akan jatuh jika tidak disogok dari bawah – bantuan tidak akan turun jika tidak diberi sogokan/pelicin) masih saja berlaku saat ini. Meskipun pemerintah pusat telah berupaya dengan mengirim dana grant tersebut langsung kerekening sekolah, justru itu sangat mempermudah pejabat atasan untuk meminta jatah upeti. Tentu saja korupsi sedikit sekali meninggalkan bekas, hanya bau busuknya yang menyengat. Dan orang-orang terdekat saja yang tahu bahwa anggaran telah bocor kemana-mana. Sulitnya mengungkap korupsi didunia pendidikan karena, adanya orang tua siswa sebagai back up anggaran yang kurang. Artinya bisa ditebak, orang tua harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk menutupi kebocoran anggaran tersebut. Itulah sebabnya, ketika KPK dan BPK mengaudit keuangan sekolah, seringkali tidak menemukan kesalahan yang berarti selain kesalahan administrasi kecil yang tidak berarti. Korupsi yang masih kuat dilevel bawah merupakan persoalan serius yang saya pesimis, Muh Nuh dapat menyelesaikannya. Mencari kepala sekolah yang jujur saja saat ini, seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Tetapi harapan itu selalu ada betapapun kecilnya harapan tersebut dan kini ditumpukan kepada Mendiknas baru, M. Nuh. Ketika KPK telah ditelanjangi dan dicabut taringnya, maka pemberantasan korupsi didepartemen sangat tergantung pada kekuatan menteri yang memimpin departemen itu untuk membersihkan dapurnya sendiri. Jarene wong Jawa Timuran : Resik ono pogone, sing akeh sawang lan anguse. Ning sing ati-ati ati aja sampek malah keblekan pogone........ *) seperti yang dialami oleh Mantan Ketua KPK yang terdahulu (Antasari, Bibit W, Chandra H).
SEKOLAH GRATIS HANYA KEBOHONGAN ?

Gagasan ideal tentang sekolah gratis yang dimotori oleh Bambang Sudibyo, Mendiknas yang lama, bermula dari dikucurkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk tingkat SD dan SMP sederajat. Dengan asumsi bahwa dana BOS ditambah dengan Dana Bantuan dari Pemerintah Daerah, maka sekolah setingkat pendidikan dasar dapat digratiskan. Lihatlah dibanyak sekolah, spanduk dan baliho yang menyatakan bahwa sekolah gratis hampir merata disemua sekolah-sekolah negeri. Pada kenyataannya, sekolah gratis itu tidak ada. Banyak bahasa politis yang dipakai sekolah untuk meyakinkan masyarakat bahwa yang gratis hanya ini..... sedangkan yang itu.... tetap harus ditanggung orang tua. Kenyataannya tidak ada sekolah gratis dinegeri ini. Inilah kebohongan terbesar yang dilakukan birokrat era Bambang Sudibyo kepada rakyatnya. Bahkan sampai diiklankan di televisi nasional yang tentu saja memakan anggaran yang sangat besar.
Persoalan justru muncul dilevel bawah dimana orang tua berhadap-hadapan dengan sekolah yang harus mencari rasionalisasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa sebenarnya tetap saja mereka harus membayar dengan berbagai istilah yang dipakai sekolah, apakah iuran, sumbangan sukarela yang tidak mengikat dan lain sebagainya.
Pembiayaan pendidikan sesungguhnya sangat relatif. Satu sekolah bisa menghabiskan dana milyaran rupiah untuk menjalankan manajemen sekolah selama satu tahun sedangkan sekolah lain bisa hanya menghabiskan puluhan juta saja. Ini sangat tergantung pada visi dan misi sekolah tersebut dan orientasi kemana sekolah tersebut akan dibawa. Sekolah dengan basis teknologi kekinian akan lebih banyak membutuhkan biaya pengadaan dan perawatan ketimbang sekolah yang cukup bermodalkan kapur dan papan tulis saja. Sekolah dengan fasilitas yang super lengkap akan lebih mahal pembiayaannya ketimbang sekolah yang memiliki fasilitas sangat terbatas. Kenyataan disekolah kita, disparitas antar sekolah sangat mencolok bahkan ditingkat kecamatan saja, tiap sekolah akan berbeda ukuran biaya yang dibutuhkan. Baik ditinjau dari fasilitas yang dimiliki baik software maupun hardwarenya. Karena itu, menyamaratakan dana BOS akan membuat sekolah yang memiliki cost besar akan terseok-seok perjalanannya. Sebaliknya sekolah yang cost operasionalnya relatif sedikit dapat berlenggang kangkung menikmati kucuran dana BOS tersebut. Sampai hari ini tidak ada ukuran tentang besaran biaya manajemen sekolah yang standar.
Pendidikan dasar 9 tahun harus digenjot untuk segera dituntaskan. Dana BOS sebenarnya hanya meringankan orang tua, tapi tidak sanggup untuk menggratiskan seluruh biaya-biaya pendidikan khususnya pada sekolah-sekolah yang potensial dan memerlukan pembiayaan yang besar.
Muh. Nuh sangat perlu untuk meluruskan hal tersebut. Apakah menurunkan spanduk-spanduk disekolah yang bertuliskan sekolah gratis atau mencukupi seluruh kebutuhan pendidikan suatu sekolah sehingga tidak ada alasan lain bagi sekolah selain menggratiskan.

PUSAT – SEKOLAH : PEMBANGKANGAN BIROKRASI

Kasus sekolah gratis menunjukkan bahwa komunikasi birokrasi yang dilakukan berjenjang pada akhirnya terputus dan tidak dihiraukan ditingkat bawah. Betapapun menghabiskan dana milyaran rupiah hanya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat tentang sekolah gratis, pada akhirnya itu tidak dipatuhi oleh sekolah-sekolah negeri yang notebene dibawah kendali langsung Diknas. Bentuk pembangkangan birokrasi ini, bila dibiarkan akan terus menerus menggerogoti kinerja dan kewibawaan departemen. Belum lagi dana sharing untuk BOS yang diharapkan dapat membantu mencukupi kebutuhan sekolah seringkali sangat tergantung dari kemurahan hati Bupati/Wali kota. Jadi proses pembangkangan sebenarnya dimulai dari tingkat kabupaten/kota, dari Bupati atau walikotanya.
Bentuk pembangkangan lain adalah tentang buku sekolah. Adalah aneh jika sekolah tidak boleh menjual buku atau Lembar Kerja Siswa, sementara pemerintah sendiri tidak menyediakan buku yang cukup untuk proses belajar mengajar. Saat ini paling banter satu buku untuk dua anak didik, itupun untuk mata pelajaran tertentu. Karena itu, meskipun Mendiknas yang lama, melarang sekolah menjual buku dan LKS apakah lewat koperasi sekolah atau guru, tetap saja tidak dihiraukan oleh sekolah. Mau jadi apa anak didik, kalau buku saja tidak punya ?. Buku yang disediakan pemerintah masih terbatas. Tengoklah buku-buku yang ada di http://bse.depdiknas.go.id, yang dapat diunduh oleh masyarakat. Lebih dari satu tahun pemerintah pusat meluncurkan program BSE (Buku Sekolah Elektronik), yang tersedia hanya beberapa mata pelajaran saja seperti PKn, IPA, IPS, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, Matematika, sementara pelajaran lain tidak ada seperti Agama, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Ketrampilan, Pengembangan diri, Muatan Lokal. Padahal usia buku untuk kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006 hanya sampai tahun 2014 saja, artinya pemerintah harus mengejar target untuk segera melengkapi buku-buku disekolah-sekolah sehingga setiap anak mendapat satu buku. Sayangnya, belum cukup tuntas BOS Buku untuk melengkapi kebutuhan akan buku disekolah sekarang dihentikan atau diintegrasikan kedalam Bantuan Operasional Sekolah. Sehingga, saya kira tidak akan tuntas penyediaan buku-buku bagi siswa bila tidak dipercepat. Kalau buku saja tidak dimiliki siswa, jangan pernah tanya tentang kualitas pendidikannya.





*) Resik ono pogone, sing akeh sawang lan anguse. Ning sing ati-ati ati aja sampek malah keblekan pogone........ artinya bersihkan dapur/pogo (tempat menaruh alat dapur) dan berjelaga. Tapi hati-hati jangan sampai kejatuhan pogo.
Pogo adalah tempat menaruh alat-alat dapur. Orang Jawa biasanya membuat tempat alat-alat dapur seperti kukusan, Panci dll diatasnya. Terbuat dari rangkaian bambu dan berada diatas/agak tinggi dari tempat berdiri dan biasanya dekat dengan tungku api dari tanah liat. Tempatnya didapur.