TUMBANGNYA DOMINASI SEKOLAH NEGERI

BSNP melansir tingkat kelulusan ujian Nasional yang mencengangkan. SMA Swasta memiliki tingkat kelulusan 97 % sedangkan SMA Negeri 91 %. Sebuah penjungkirbalikan fakta yang selama ini diyakini dan memang telah teruji bahwa sekolah-sekolah negeri selalu unggul dalam berbagai hal termasuk kelulusannya. Tahun ini fakta tersebut ditumbangkan. Sekolah-sekolah Swasta dengan segala keterbatasan personalia, sarana dan prasarana, mampu melesat meninggalkan sekolah negeri yang masih dibuai oleh kebesaran masa lampau. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
WARISAN MASA LAMPAU
Sekolah-sekolah negeri baik SD, SMP maupun SMA diera sebelum reformasi merupakan sekolah anak emas negara. Seluruh pembiayaan, personalia dan manajemen pendidikan dibawah pembinaan dan kendali ketat pemerintah. Sementara sekolah Swasta harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Meski ada satu dua sekolah swasta waktu itu cukup mapan, namun jumlahnya tidak imbang dengan banyaknya sekolah swasta yang hidupnya kembang kempis. Pengalaman saya waktu itu, untuk dapat bertahan hidup, sekolah swasta harus memiliki kemampuan survive. Jangankan mengaji guru dengan layak, membeli kapur tulis saja memerlukan perjuangan yang luar biasa. Jangan ditanya tentang fasilitas pendukung pendidikan. Tidak ada bantuan pembiayaan dari pemerintah, tidak ada pengawasan yang ketat dan kontrol dari pemerintah. Sekolah swasta harus berjalan sendiri dengan pembiayaan murni dari masyarakat dan yayasan. Hal ini sangat kontradiktif dengan sekolah negeri yang mendapat suntikan pembiayaan dari pemerintah.
Era itu telah berlalu, Reformasi memberi berkah tersendiri bagi sekolah swasta. Pemerintah, ditingkat SD/MI dan SMP/MTs, memberi bantuan yang sama baik negeri maupun swasta. Bantuan BOS, Dana Grant pengembangan sekolah, buku-buku dan tunjangan khusus bagi guru swasta. Yang terakhir dengan pengakuan swasta untuk mengikuti sertifikasi guru, merupakan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh guru swasta ditahun 90-an.
Perlakuan yang sama, memberi motivasi yang luar biasa bagi sekolah swasta untuk menumbangkan fakta selama ini bahwa sekolah swasta kalah unggul dengan sekolah negeri.
Sementara sekolah-sekolah negeri, masih terobsesi dengan kebesaran masa lampau yang itu tidak ada artinya sama sekali. Gaji PNS yang besar, fasilitas sekolah yang paling modern, yang sayangnya tanpa didukung dengan motivasi internal yang kuat untuk terus berkembang dan tumbuh.
Ada banyak faktor kenapa tahun ini baik SD/MI, SMP/MTs maupun SMA/MA, sekolah swasta lebih unggul dalam hal kelulusannya dibandingkan dengan sekolah negeri. diantaranya ;
1. Motivasi kerja guru
2. manajemen pendidikan
3. Perlakuan yang adil swasta - negeri
MANAJEMEN PENDIDIKAN : KORUPSI DAN KINERJA SEKOLAH
Harus diakui sebenarnya, sekolah swasta memiliki latar belakang yang sangat beragam. Sementara sekolah negeri, memiliki manajerial yang lebih bagus baik dari sudut rekrutmen guru, Kepala Sekolah maupun staf administasinya. Banyak sekolah swasta yang asal comot guru karena tidak mampu menggaji seperti PNS disekolah negeri. Sementara untuk promosi kepala sekolah ala kadarnya tidak seperti di sekolah negeri yang memiliki prosedur standar dalam promosi kepala sekolah. Pendek kata tidak ada yang istimewa dari sekolah swasta.
Yang membedakan sekolah swasta dan negeri adalah pengelolaan sekolah yang lebih efisien disekolah swasta ketimbang disekolah negeri. Sekolah-sekolah negeri, seperti yang kita tahu, lebih banyak korupsi didalamnya ketimbang disekolah swasta. Korupsi disekolah negeri sudah sedemikian akut dan membahayakan bagi masa depan pendidikan. Tapi, nampaknya sampai saat ini masih adem ayem saja. Banyak kepala sekolah menjadi koruptor (dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada sebagian kecil Kepala sekolah yang jujur), mempermainkan dana BOS, 'dakon anggaran sekolah', dana BOS buku, dana grant pengembangan sekolah, belum lagi tarikan dari wali siswa dengan berbagai alasan yang terkadang, orang paling bodoh sekalipun, mengerti bahwa itu hanyalah akal-akalan sekolah.
Tapi kepala sekolah tidak berdiri sendiri, dibelakang itu, ada dinas pendidikan kabupaten/kota yang menjadi raja-raja kecil, menuntut upeti dari setiap dana grant khususnya. Pendek kata, seperti kata ICW (Indonesian Corruption Wacth) kebocoran anggaran negara disekolah negeri mencapai angka 30 %. Padahal saat ini sekolah negeri setingkat SMP/MTs yang telah masuk katagori SSN saja, APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) telah mencapai angka 1 milyar lebih. Sebuah angka yang fantastis untuk ukuran unit kerja. Manajemen pendidikan tidak efektif karena banyak kebocoran anggaran. Pembiayaan pendidikan yang overload dan mengada-ada.
Sementara sekolah swasta yang tidak memiliki link sekuat sekolah negeri ditingkat dinas pendidikan mampu mengelola lebih efisien pembiayaan yang diberikan pemerintah maupun dari wali siswa. Saya memiliki teman, kepala sekolah swasta, yang harus dibui karena ngakali dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Padahal trik-trik ngakali seperti itu banyak terjadi disekolah negeri. Tapi seolah tidak terjamah dan didiamkan saja.
Akibat kondisi yang demikian, mempengaruhi kinerja sekolah. Banyak guru yang tahu korupsi disekolahnya, lebih memilih diam. Tapi diamnya guru, berarti melemahkan motivasi kerja dalam memacu prestasi anak didik. "Buat apa ngoyo, lha wong uangnya banyak dikorup kepala sekolah kok". Padahal inti pendidikan terletak pada guru, kemampuan untuk membangun motivasi anak didik memaksimalkan potensi yang dimiliki, sangat tergantung dari bagaimana guru mengelola kelasnya. Tidak ada yang lebih kuat meningkatkan prestasi belajar siswa, selain dari motivasi internal siswa itu sendiri untuk berubah dan mencapai perkembangan diri yang optimal.
MOTIVASI GURU : KESEJAHTERAAN VS KEBANGGAAN SEKOLAH
Hal lain yang membedakan swasta dan negeri adalah motivasi guru dalam menjalankan profesinya. Guru negeri yang mayoritas PNS, masih terfokus pada peningkatan kesejahteraan hidupnya yang memotivasi kerja mereka. Semakin baik sekolah memberikan kesejahteraan, akan semakin termotivasi guru tersebut menjalankan profesinya. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah kesejahteraan yang diterima guru semakin rendah motivasi kerjanya. Guru berubah menjadi pedagang. "Seberapa anda memberi saya, maka saya beri sesuai harga yang anda berikan kepada saya". Ketika pemerintah memberikan tunjangan profesi guru, maka mereka yang mendapatkan tunjangan tersebut, memiliki kinerja yang luar biasa, sedangkan yang belum, lebih santai. dalam bahasa mereka "yang penting datang tepat waktu. mengajar. Pulang". Jangan ditanya tentang kualitas proses yang dijalankannya.
Guru disekolah swasta nampaknya memiliki motivasi lain, pertama karena gaji yang diterima tidak sebanding dengan rekan mereka yang di sekolah negeri, jumlah guru swasta yang tersertifikasi jauh lebih sedikit ketimbang guru negeri. Pendek kata, mereka tidak mungkin dapat bermimpi memiliki kesejahteraan yang setara dengan guru negeri. Saya melihat, bahwa guru swasta perlu memaksimalkan potensinya karena mereka memerlukan itu. Kelangsungan hidup sekolah swasta sangat tergantung dari prestasi mereka. Kalau sekolah tersebut tidak berprestasi, maka habislah sekolah mereka. berarti juga habis masa depan dan kehidupan guru tersebut. Mereka butuh mempertahankan sekolah, karena tanpa mereka sekolah akan ambruk dan bangkrut karena kehabisan siswa. Interaksi manajemen sekolah dengan guru khususnya jauh lebih informal dari pada disekolah negeri. Guru swasta lebih mudah berdiskusi dengan kepala sekolah untuk peningkatan kualitas sekolah mereka. Meskipun fasilitas yang disediakan sekolah lebih terbatas, namun, saya pikir inilah yang menjadikan mereka pekerja luar biasa dan hasil perjuangan mereka, dirasakan sekarang. Sekolah swasta menghabisi sekolah negeri.

UJIAN NASIONAL DAN KECURANGAN

Akhir bulan April, saya harus mengawasi Ujian Nasional. Karena pola kepengawasan silang antar sekolah, saya bersama teman-teman guru lain, bertugas disekolah swasta. Sebagai koordinator pengawas, diawal sebelum melaksanakan tugas kepengawasan, saya membekali kembali teman-teman tentang prosedur kepengawasan dan sistem adiministrasi yang harus dijalankan. Saya katakan “Ujian Nasional harus diperlakukan sama dengan Ujian Sekolah. Dari sudut kepengawasan, maka mohon untuk tidak membuat situasi anak didik takut pada panjenengan. Berlakulah ramah pada anak didik dengan tetap memegang teguh prosedur kepengawasan Ujian. Tidak ada contek mencontek.semua sisa soal akan dibawa pengawas dengan disegel oleh koordinator pengawas agar tidak dibaca oleh siapapun”. Memang hari itu, 27 s.d 30 April 2009 merupakan saat pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP serentak se Indonesia. Tidak ada kecurangan dari sekolah penyelenggara, ada pengawas Independent yang bekerja dengan sangat baik dari Unibraw. Dan hasilnya masih kita tunggu.
Tapi hari ini, kita dikagetkan dengan adanya kecurangan Ujian Nasional di 33 SMA di Indonesia. Sungguh memprihatinkan. Ketika dunia pendidikan mulai berbenah untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dari dalam. Ternyata kecurangan itu tetap ada. Sebagai seorang guru, saya ikut prihatin dengan kondisi pendidikan yang dipahami secara sempit.

Saya mencoba untuk berpikir kembali tentang hakekat Ujian Nasional. Banyak kalangan yang menolak Ujian Nasional. Tetapi saya berpendapat sebaliknya. Ujian Nasional masih diperlukan dalam kerangka standarisasi penilaian pendidikan. Sebagai salah satu alat evaluasi keberhasilan sekolah.
Sejak diberlakukannya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), setiap sekolah memiliki kebebasan untuk menentukan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) sesuai dengan kondisi sekolah, sarana prasarana yang tersedia, intake siswa. KKM sekolah memiliki kisaran 6.00 sampai dengan 7,5. Artinya anak didik dikatakan lulus jika mampu memperoleh nilai minimal KKM. Bila tidak maka guru melaksanakan tindak lanjut berupa perbaikan/remedial.
KKM menjadi standar minimal sekolah. Ujian Nasional memiliki standar minimal juga. Tahun ini rata-rata menjadi 5,5. sebuah angka yang masih jauh dari KKM yang ditetapkan masing-masing sekolah. Dengan mengabaikan faktor-faktor lain, idealnya KKM yang dimiliki sekolah equevalen dengan KKM yang ditetapkan dalam Ujian Nasional. Artinya bila hanya untuk mendapatkan angka rata-rata 5,5 seharusnya bukanlah pekerjaan yang sulit.
Banyak sekolah ketakutan tidak mampu mencapai angka-angka itu. Berbagai upaya dilakukan seperti pemberian pelajaran tambahan. Bahkan ada sekolah yang gila-gilaan dengan menghapus seluruh mata pelajaran non ujian nasional selama kelas 9 khususnya semester genap dan diganti hanya mata pelajaran Nasional. Orang tua banyak berharap anaknya lulus ujian nasional. Jarang yang berpikir, bila ujian sekolah tidak lulus bagaimana ?.
Ketakutan tidak lulus Ujian Nasional menjadi wabah pendidikan yang menghantui para kepala sekolah dan guru mata pelajaran Ujian Nasional. Sebenarnya, Kelulusan ujian nasional harus dipahami hanya sebagai salah satu alat evaluasi pendidikan. Tapi karena sakralisasi UN, membuat kepala sekolah banyak yang takut dan menghalalkan segala cara untuk mengatasi ketakutan akan ketidaklulusan siswanya.
Tapi kepala sekolah tidak berdiri sendiri. Ada kepala Dinas Pendidikan, Ada Bupati, Gubernur, yang menekan kep.sek untuk meluluskan 100 % siswanya. Seolah-olah, kualitas pendidikan diukur dari prosentase kelulusan. Kalau hasil Ujian Nasional dijadikan ukuran untuk kualitas pendidikan seharusnya prestasi sekolah diukur dari peningkatan rata-rata hasil Ujian Nasional dari tahun ke tahun. Bukan dari prosentase kelulusannya.
Kesalahan fatal dalam menyikapi ujian nasional membuat, Ujian Nasional sering kehilangan esensi dari sebuah sistem penilaian.
Tragisnya, dari tahun ke tahun kasus, kecurangan Ujian Nasional selalu ada. Sedangkan tidak pernah terdengar kabar, kecurangan Ujian Sekolah. Mengapa ?. Karena sistem penilaian pendidikan kita masih diskriminatif. Men-Tuhan-kan Ujian Nasional dan menyepelekan Ujian Sekolah.


DISKRIMINASI PENDIDIKAN
Perlakuan diskriminatif terhadap mata pelajaran Nasional dan mata pelajaran Non Nasional seolah-olah menjadi kelaziman. Diskriminasi ini bukan saja pada tataran tingkat sekolah melainkan pada tingkatan kebijakan menteri pendidikan. Dari mulai pembuatan kisi-kisi ujian sampai pada pelaksanaan ujian sungguh jauh berbeda.
Ujian nasional digarap oleh BNSP dengan dikelilingi oleh ahli-ahli dibidangnya, guru senior, ahli psikometri, ahli-ahli pendidikan. Ketika soal jadi, mulai proses pencetakan sampai distribusi, negara mengerahkan seluruh potensinya untuk mengawal dan mengamankan soal tersebut. Jadi, kalau anda Kapolres atau Kapolsek, bila terjadi kesalahan dalam pengamanan soal ujian Nasional berarti karir anda TAMAT. Tentu saja berarti seluruh pembiayaan Ujian Nasional dari kisi-kisi sampai soal dibuat, didistribusikan menjadi tanggungan APBN.
Sebaliknya, Ujian Sekolah dengan segala keterbatasan yang dimiliki masing-masing sekolah harus dilaksanakan. Pemerintah memberi kewenangan penuh pada sekolah untuk menyusun kisi-kisi sampai pelaksanaannya. Memberi kewenangan berarti, melimpahkan seluruhnya termasuk pembiayaan kepada sekolah masing-masing. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, sekolah harus menyusun kisi-kisi, membuat soal, mencetak dan melaksanakan ujian sekolah. Tidak ada pengawalan Polisi, tidak ada ketakutan kepala Sekolah/Kepala Dinas, Bupati dan Gubernur terhadap kegagalan Ujian Sekolah. Tidak ada kepengawasan silang lagi. Bahkan tidak ada rasa khawatir sedikitpun dari orang tua jika anaknya gagal diujian sekolah.
Mengapa demikian ?. karena ujian dilaksanakan sekolah, soalnya dibuat guru maka guru –dengan segala kesederhanaan dan kepolosan yang dimiliki- mudah untuk di bujuk jika siswanya ada yang tidak lulus ujian sekolah. Guru itu manusia mudah untuk disentuh baik secara psikologis maupun dalam arti sesungguhnya. Guru kelas akhir menjadi tidak berdaya manakala siswanya lulus Ujian Nasional, maka mau tidak mau harus meluluskan ujian sekolah. Prosedur penilaian guru yang dilakukan tahap demi tahap dapat dimentahkan oleh kenyataan bahwa siswa tersebut harus lulus karena telah lulus ujian nasional. Diperlukan keberanian yang luar biasa –dan ini tidak dimiliki guru – untuk melawan desakan dan bujukan kepala sekolah atau kepala dinasnya.
Kondisi semacam ini membuat dunia pendidikan kita jalan ditempat.