TUNJANGAN GURU MACET : SRI MULYANI VS GURU

TUNJANGAN PROFESI GURU MACET : SRI MULYANI VERSUS GURU

Setelah dinistakan sejak Indonesia merdeka hingga awal era reformasi, profesi guru tiba-tiba menjadi sebuah profesi yang menjanjikan. Itupun berjalan sangat lamban. Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen sangat tertatih-tatih. Tugas sertifikasi guru dengan segala intrik didalamnya, juga

MENISTAKAN GURU
Diakhir bulan desember 2008, adalah era baru bagi guru-guru yang telah memiliki sertifikat profesi guru. Pasalnya, dibulan itu, pencairan mulai dilakukan oleh pemerintah. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, merapel sampai 6 bulan, ada yang 9 bulan bahkan ada yang lebih sesuai periode kelulusan sertifikasi guru. Sebuah nominal yang tidak tanggung-tanggung. –barangkali membuat ngiler PNS lain.
Tapi itu tidak lama dipertengahan maret Menkeu, Sri Mulyani, membuat surat edaran yang memberhentikan pembayaran tunjangan profesi guru. Sebuah hantaman yang menyakitkan bagi guru.
Negeri ini benar-benar tidak pernah rela, bila guru-gurunya hidup sejahtera. Seolah-olah menjadi kelaziman bangsa ini jika guru hidup susah. Guru harus identik dengan pencari nafkah sampingan. Dari yang paling nista – untuk ukuran kualifikasi guru yg berpendidikan tinggi - seperti pemulung, tukang ojek, kernet angkot. Kalau ingin hidup layak guru harus memiliki usaha sampingan. Saya termasuk sedikit guru yang beruntung, karena memiliki sedikit keahlian lain sehingga saya bisa merintis usaha kecil-kecilan bergerak dibidang jasa shooting dan editing video. Bahkan kru shooting saya adalah guru-guru. Banyak teman-teman guru lain tidak seberuntung itu, ada yang ngarit, penjual asongan, tukang ojek, kernet angkot.
Betapa sakitnya, dulu, ketika seorang teman disapa tetangganya “Pak guru aku ngojek”.
Diera Orde baru, guru paling dinistakan. Begitu nistanya sehingga Iwan Fals menggambarkan sosok guru lewat lagu “Umar Bakri”. Gajinya kecil. Ditambah harus menjadi penopang partai berkuasa waktu itu, golkar. Mendapat beras jatah busuk dan berkutu. Bahkan menjadi sangat luar biasa perjuangan hidup seorang guru agar mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Barangkali sebuah profesi yang pernah merasakan arti kemiskinan sesungguhnya adalah profesi guru. Bahkan sampai hari ini, masih ada guru-guru yang masih terpinggirkan dan menjalani hidup dalam kemiskinan, yaitu guru-guru tidak tetap (GTT) disekolah-sekolah negeri khususnya yang tidak diakui dalam proses sertifikasi guru. Saya tahu makna kemiskinan sesungguhnya, Sri Mulyani tidak. Ia hanya bergerak diangka-angka dan aturan-aturan yang justru membingungkan ditingkat bawah.
Ketika Tunjangan sertifikasi dihentikan, maka banyak guru, yang awalnya memiliki semangat baru dalam menjalankan profesinya, tiba-tiba menjadi loyo, tak berdaya dan pada akhirnya dunia pendidikan itu sendiri yang akan mengalami akibatnya. Sebab sebagus apapun kurikulum, sebesar apapun anggaran yang disediakan untuk pendidikan, sebagus apapun sarana disediakan oleh Pemerintah, jika guru, sebagai garda terdepan pendidikan, tidak mau memaksimalkan potensi yang dimilikinya, maka jangan pernah berharap dunia pendidikan dinegeri ini bisa maju. Guru bisa saja menafikkan semua sarana yang disediakan, meletakkan dimeja usang buku-buku kurikulum, dan membiarkan proses pendidikan berjalan ala kadarnya. Yang penting masuk kerja, mengajar tepat waktu, beres.
Padahal kualitas pendidikan tidak diukur dari itu. Kualitas baru akan muncul manakala guru dapat memberdayakan semua potensi akademik, sosial dan kepribadian yang dimiliki untuk merangsang peserta didik, mendorong, membimbing dan melatih mereka menguasai bidang-bidang yang diajarkan guru. Ini tidak mungkin dicapai jika guru berada didalam lingkup kemiskinan, dalam posisi yang sulit.
Pertanyaannya, maukah negeri ini mengejar ketinggalan dari negara lain tetangga kita ?. Bila jawabnya, Ya. Openono guru sing sak temen-temene. Perhatikan guru dengan sungguh-sungguh.

PEMILU : POLITISI SENAYAN DAN KPPS

PEMILU : POLITISI SENAYAN DAN KPPS

Bukan Indonesia, kalau urusan politik tidak ramai. Barangkali takdir bangsa ini, sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, setiap pemilu selalu memunculkan masalah-masalah baru. Maklum, adanya masalah baru sangat berarti bagi politisi yaitu sebagai ladang kepentingan untuk saling menyerang dan saling menyalahkan – terutama bagi partai-partai yang memperoleh suara yang mengecewakan
Ketika masalah DPT mencuat dipermukaan justru saat-saat menjelang pemilu, banyak politisi menjadikannya sebagai komoditas politik yang empuk untuk menyerang KPU , Pemerintah atau siapa saja yang berada dibalik kisruh DPT. Padahal aturan-aturan tentang DPT terdapat dalam Undang-Undang Pemilu, justru yang membikin adalah para Politisi sendiri. DPT dibuat melalui rangkaian panjang dari DPS (Daftar Pemilih Sementara), DPSHP (Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan) sampai menjadi DPT.
Pemungutan Suara sudah usai, persoalan baru muncul yaitu kisruh penghitungan suara. Orang-orang seperti Megawati, Prabowo, Wiranto, dan kelompok pendukung pertemuan Teuku Umar jilid I lainnya, menganggap adanya penggelembungan suara di dalam pemilu kali ini. Saya tidak bisa membayangkan upamanya saja mereka (Prabowo, Wiranto dan Megawati cs) dijadikan anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), saya yakin mereka akan merasakan kesulitan yang luar biasa dalam penghitungan dan rekapitulasi perolehan suara dimasing-masing TPS. Sayangnya, mereka adalah orang-orang yang tidak pernah merasakan menjadi anggota KPPS. Akar persoalannya justru berangkat dari Senayan, dari mereka sendiri, dari para politisi yang tidak memiliki konsistensi dalam berpolitik.
Era Reformasi diawali dengan kemunculan ratusan partai Politik. Tahun 1999 adalah tahun awal pemilu multi partai. Konsep electoral trashold digagas. Bagi partai yang tidak mencapai 2,5 % suara harus ganti nama atau tidak ikut pemilu. Pemilu tahun 2004 hasilnya terjadi pengurangan partai menjadi hanya 24 partai politik peserta pemilu. Tapi anehnya, electoral trashold tidak berlalu dipemilu 2009. Partai politik yang tidak layak jual masih saja bermunculan dan menjadi biang banyak persoalan ditingkat bawah. Ini karena UU Pemilu yang dibikin politisi senayan, dengan kelihaian mereka mampu mengubah segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.Sudah 3 pemilu, harusnya partai yang tidak layak jual sudah tidak boleh ikut pemilu.
Peserta pemilu begitu banyak, sementara pola administrasi manual menimbulkan banyak kesalahan-kesalahan. Sementara model pemilu seperti India di bulan April ini yang menggunakan teknologi digital pada tingkatan TPS, bahkan tanpa perlu banyak berfikir tentang logistik – dinegara kita logistik tahun ini berantakan, di PPS wilayah kerja saya ada salah satu TPS saat pemungutan suara sampai kekurangan 100 kartu suara untuk DPD.
Mungkin kita perlu belajar dari India dengan jumlah pemilih yang mencapai 700 juta pemilih mampu melaksanakan pemilu dengan lebih baik ketimbang dinegara kita. Barangkali dengan belajar dari India kita akan mampu menyelesaikan persoalan kerumitan sistem administrasi manual. Tapi siapkah negeri ini ?. Teknologi ICR yang dipakai oleh KPU untuk rekapitulasi secara digital berjalan sangat lamban, mahal dan penuh dengan kesalahan sedangkan SDM ditingkat KPU Kabupaten/kota banyak yang buta teknologi tanpa mau mencari bantuan pada komunitas TI yang saat ini bertebaran di seluruh pelosok negeri ini, paling tidak di Jawa. Sungguh ironi, model administrasi manual, lemah dalam sosialisasi, dan KPPS diribeti dengan partai-partai yang tak laku jual.


PENDERITAN DAN PENGHINAAN PADA KPPS, PPS DAN PPK

Ujung terdepan pelaksanaan Pemilu terletak pada KPPS, PPS dan PPK. Mereka yang memiliki dedikasi tinggi terhadap masa depan demokrasi dinegeri ini. Begitu bersemangatnya mereka, banyak anggota KPPS yang kelelahan, sampai pingsan bahkan ada yang meninggal dunia, hanya karena tugas mereka. Dedikasi mereka barangkali justru lebih mulia ketimbang para politisi. Mereka tidak mengeluh meski mereka, anggota KPPS, hanya dibayar 200 ribu yang setara dengan 1 kali kucuran dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk orang miskin. Sedangkan pekerjaan mereka dan tanggung jawab mereka luar biasa besarnya. Saya menaruh apresiasi yang tinggi pada KPPS, apapun kesalahan yang dilakukan secara administratif. Di Sumenep Madura bahkan ada ketua KPPS yang dibunuh terkait pemilu. Mereka adalah korban-korban dari sebuah negara yang ingin membangun demokrasi. Mereka tidak mengeluhkan pekerjaan mereka. Mereka berbuat yang terbaik – menurut ukuran mereka.
Saya sebagai orang PPS (Panitia Pemungutan Suara) pada tingkat desa, merasakan betapa beratnya sistem administrasi rekapitulasi penghitungan suara. Sistemnya manual, rentan dengan kesalahan-kesalahan, sosialisasi sangat minim. Akibatnya, saya bersama teman-teman harus menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara ditingkat desa mencapai waktu dua minggu, itupun dibantu dengan komputer. Perhitungan manual mudah salah, sehingga diminggu terakhir saya memutuskan untuk membuat desain penghitungan menggunakan bantuan komputer.
Sangat naif, justru dibalik kelelahan, usaha keras dan dedikasi yang tinggi dari anggota KPPS, PPS dan PPK, yang diterima adalah penghinaan dan cacian dari politisi yang notebene partainya kurang laku. Yang dalam pelaksanaannya, sering ngribeti KPPS, PPS dan PPK.
Tapi negeri ini memang tidak pernah belajar untuk menghargai pekerjaan orang lain. Ketika era reformasi dimulai dan masih ingat dibenak kita, BJ. Habibie, sebagai pengganti Soeharto, berjuang mati-matian menekan jatuhnya mata uang rupiah dan berhasil menekan sampai pada level 8.000 per dolar amerika. Yang dia dapatkan justru caci maki digedung senayan serta hujatan terhadapnya hanya karena Habibie merupakan perpanjangan tangan Orde Baru. Ketika Megawati dengan PDIP-nya mampu meraup suara diatas 30 % di pemilu 1999 dan seharusnya menjadi presiden justru dipecundangi oleh partai-partai politik yang mengeroyoknya dan harus puas jadi wakil presiden. Diawal, Gus Dur jadi presiden, dielu-elukan, dan selanjutnya ditelanjangi dan dicampakkan.
Inikah realita politik dinegeri kita ?. Kalau politik seperti itu, betapa kotornya dunia politik, betapa nistanya mereka para politisi. Saya tidak paham dunia politik dan tidak ingin menjadi bagian dari kubangan lumpur yang pekat dan menjijikkan. Aroma busuknya sangat menyengat. Saya berkeyakinan bahwa jumlah golput yang masih besar ditahun ini, sebagai akibat dari perilaku politisi yang menyedihkan. Didesa saya, ukuran golput mencapai 39 % dari jumlah pemilih di DPT. Artinya yang menang di desa saya adalah kelompok golput. Kalau Indonesia adalah potret desa saya, maka sungguh menyedihkan. Banyaknya partai politik bukanlah jaminan orang mau memilih kalau tanpa ada perubahan perilaku politisi itu sendiri.